Oleh: Davy Byanca
Saya barangkali termasuk manusia yang jarang senyum. Bisa jadi, pengalaman hidup sejak muda di belantara beton ibukota yang membuatku nampak kaku. Atau kerana masa remajaku yang “kering” kasih-sayang dari orang tua –maklum ayah wafat saat usiaku 18 tahun dan ibunda wafat saat berusia 22 tahun. -padahal saya berusaha keras untuk mengisi hari-hari dengan senyuman. Ya sudahlah, soal wajah ‘keras’ ini nampaknya sudah menjadi suratan nasib.
Sekarang saya ingin mengajak Anda memperhatikan suasana di gurun. Bagi yang pernah melaksanakan ibadah haji atau umrah akan melihat dan merasakan teriknya gurun saat perjalanan dari Medinah ke Makkah. Sepanjang mata memandang hanyalah pasir, pasir dan pasir, termasuk teriknya yang luar biasa. Batin Anda pasti bergumam, “alangkah ganasnya kehidupan di sana, pantas kalau tak ada senyum di sana.” Ternyata dugaan Anda salah, Rasulullah saw yang hidupnya dihabiskan pada teriknya siang dan dinginnya malam, malah tak pernah meninggalkan senyum di wajahnya.
Senyum sesungguhnya sebuah fitrah bagi alam semesta ini, ia bukan hanya milik manusia semata. Benar bahwa mata kita tidak dapat melihat senyumnya alam semesta sebagaimana senyuman sang kekasih, tetapi sesungguhnya bunga-bungaan dan pepohonan semuanya tersenyum! Begitu pula hutan, lautan, sungai, langit, bintang, dan burung-burung, semuanya tersenyum. Senyum mereka diimplementasikan dalam bentuk keramahan mereka dalam menyiapkan diri mereka untuk dieksploitasi oleh manusia.
Maka seyogyanya, manusia dengan wataknya yang paling alami adalah mahluk yang tersenyum. Jika tidak kerana hal-hal yang bertentangan dengan watak alaminya, seperti kerakusan dan rasa ego, maka kejahatanlah yang akan menambah dia bermuka masam, seolah-olah dia adalah asing dan bertentangan dengan kebiasaan alami yang ada di sekelilingnya.
Kerana itu, sambutlah pagi dengan senyuman. Untuk memulai hari dengan baik, hendaknya kita menyapa keluarga, kekasih, sahabat dan rekan seraya tersenyum. Senyum juga merupakan sebuah pengantar kesepakatan dan kompromi. DR. ‘Aidh bin Abdullah al-Qarni, MA berkata bahwa, “Sesungguhnya senyum di wajahmu adalah shadaqah.”
Jiwa yang tersenyum biasanya dapat dengan mudah mengatasi setiap kesulitan. Ketika ada masalah, ia tersenyum, dan senang mendapat kesempatan untuk memecahkannya. Jiwa yang merengut ketika berhadapan dengan masalah, membesar-besarkannya dan mengecilkan kemampuan untuk menangani masalah tersebut sambil menghabiskan waktu untuk mencari justifikasi. Ia mencintai kesuksesan dalam hidup, tapi tidak mau membayar harganya. Di setiap jalan ia hanya melihat singa yang menyeringai, dan hanya menunggu emas yang akan disiramkan kepadanya, atau berharap menemukan harta karun di bawah tanahnya.
Mengapa tersenyum? Karena sesungguhnya diri kita bisa menarik simpati dari orang lain dengan senyuman, wajah yang bersahabat, sifat yang tenang, jantan, dan jiwa yang dermawan. Dan bukankah setiap orang biasanya melihat dunia ini melalui dirinya sendiri, melalui tindakan, pemikiran, dan motivasinya. Maka, kalau tindakan kita mulia, pemikiran kita jernih, dan motivasi kita terhormat, maka kaca mata yang kita pakai untuk melihat dunia pun akan bening dan dunia akan terlihat oleh kita sebagaimana adanya, yakni sebuah penciptaan yang indah. Jika kaca matanya kotor, maka segala sesuatu akan nampak hitam dan mengerikan.
Tersenyumlah duhai kekasih heningku, kerana alam semesta ini senaniasa menyambut dirimu dengan senyumnya yang ramah!