Oleh: Davy Byanca
Dikisahkan bahwa ada tetangga mengetuk pintu Nasruddin Hoja, dan meminta izin untuk meminjam keledainya. Hoja merasa enggan dan membuat alasan. ”Sebenarnya aku tidak keberatan, tapi sudah ada orang lain yang sudah lebih dulu meminjam hewan bodoh itu.” Sayangnya, pada saat yang bersamaan, keledai itu melenguh. ”Tapi aku mendengar suara keledai itu barusan,” ujar sang tetangga. Merasa tersinggung dan terpojok, Hoja meninggikan suaranya. ”Memangnya, siapa yang kamu percaya, aku atau keledaiku? Tapi sudahlah. Aku senang ini terjadi. Dalam keadaan apapun, aku sesungguhnya takkan pernah mau meminjamkan keledaiku kepada seseorang yang berperangai seperti kamu!”
Bisa jadi kita pernah mengalami situasi seperti ini, dalam versi yang lain. Misalnya saat malas terima telepon, kalimat saktinya. ”Maaf saya sedang rapat, nanti telepon kembali.” Saat asisten rumah tangga menerima telepon tagihan kartu kredit, kalimat konyolnya, ”Kata ibu, ibu sedang tidak ada di rumah.” Atau saat baru bangun tidur dan ditunggu rapat, kalimat bijaknya, ”sorry bro agak telat, otw nih.”
Lantas, bagaimana jika ketangkap basah saat tengah berdusta? Seorang peselingkuh akan bersumpah atas nama Tuhan bahwa hubungan mereka sebatas teman saja, di hadapan suami atau istrinya. Seorang pencopet kambuhan akan bersumpah baru pertama kali mencopet saat ditangkap polisi. Sejuta jurus diungkapkan, berbagai dalil dikerahkan untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak sedang berdusta.
Jika mau jujur, mungkin kita akan terkejut bahwa, jerih-payah menutupi kebohongan itu malah akan melahirkan bangunan yang makin rumit dan melelahkan. Kecenderungan untuk menyalahkan situasi dan orang lain, bahkan akan menciptakan ketidakseimbangan kepribadian kita. Begitulah manusia, selalu mengobral sejuta alasan jika terjepit.
Mengapa itu terjadi? Tak lain karena ketidakmampuan melepaskan diri dari ego atau hawa nafsu. Ya, hawa nafsu kerap memiliki opini yang berlebihan terhadap dirinya sendiri sehingga tak mampu lagi melihat kebenaran. Allah swt berfirman, ”Terangkan kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tak lain, hanyalah seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari hewan ternak itu).” QS. al-Furqaan [25]: 43-44.
Maka, diperlukan kesadaran untuk mengakui kesalahan sendiri. Kesediaan untuk mengakui kesalahan diri sendiri akan menciptakan kelapangan dalam pikiran untuk menyimpan kebenaran yang lebih dalam. Kalau tidak, kita akan sibuk memaksa segala sesuatu untuk sesuai dengan kebenaran versi kita, atau sibuk menyusun sejuta alasan untuk pembenaran diri.
Yaa Rabb, bukalah hati ‘tuan-tuan’ yang dalam situasi seperti ini, masih saja doyan mengobral sejuta alasan bahwa ‘kita sedang baik-baik saja’.