Oleh: Salim A. Fillah
De Kock duduk dengan mata menerawang di kursi kerjanya di dalam Ruang Perpustakaan Wisma Residen. Kedua sikunya diletakkan di atas meja, telapak tangannya ditangkupkan dengan jari telunjuk diketak-ketukkan satu sama lain. Laporan-laporan yang disampaikan De Stuers hanya dia tanggapi dengan anggukan malas bahkan kadang tanpa menoleh. Jam di dinding ruangan terasa begitu lamban jarumnya.
“Onedel en oneerlijk! Tidak ksatria dan licik!”, sering dia bergumam merutuki dirinya sendiri, bahkan sejak kedatangan Sang Pangeran di Magelang 3 pekan lalu. Dia melihat betapa besarnya kepercayaan Diponegoro kepadanya. Betapa pemimpin perang Jawa itu telah datang dengan niat baik, dari wajahnya terpancar ketulusan tanpa rasa curiga.
“Saya sepenuhnya yakin”, tulisnya dalam laporan kepada Van Den Bosch tempo hari, “dia sendiri sama sekali tidak memiliki rencana jahat karena dia tak tahu-menahu apa yang akan dia hadapi di Magelang.”
Dalam pertemuan penyambutan begitu Sang Pangeran tiba, De Kock memang telah menyampaikan dia menghormati cara berfikir yang berbeda dan kepercayaan agama lain. Hal itu telah dia penuhi dengan tidak mengganggu Diponegoro selama bulan Puasa. Inilah satu-satunya hal yang membuat De Kock sedikit lebih tenang, bahwa dia telah memenuhi sebagian janji. Kini bulan suci telah berlalu. Saatnya untuk bertindak. Tapi sungguh dia benar-benar gugup.
Ramai riuh rendah suara terdengar di luar tapi De Kock kian berkeringat dingin membayangkan apa saja yang harus dia katakan. Jam jelang menunjuk angka 9. Tampaknya rombongan tamu sudah tiba dan Residen Valck sedang berbasa-basi dengan mereka. Dilapnya keringat yang terasa mencekam kulit kepalanya. Sang Jenderal merasa mual. Dia pergi ke peturasan sejenak dan di sana dia merasa perlu untuk betul-betul muntah. Tapi tak ada yang keluar. De Kock tahu, mual itu bukan karena perutnya bermasalah. Hatinyalah yang sedang berontak menolak yang direncanakan otak.