Breaking News
(Foto : Istimewa/Davy Byanca)

Mengetuk Pintu Tuhan

(Refleksi Akhir Ramadhan)

Oleh: Davy Byanca

(Foto : Istimewa/Davy Byanca)

Suatu hari saya mengunjungi penjara dan bertemu dengan seorang terpidana mati yang dihukum karena telah membantai istri dan keluarga istrinya. Ia bercerita, bahwa pada suatu hari ketika sedang berbaring di lapangan rumput di penjara, ia menatap langit. Tiba-tiba ia tersadar dan merasa sangat tersentuh dengan birunya langit. Ia belum pernah melihat langit seindah itu. Baginya, itu adalah pertama kali dalam hidupnya ia benar-benar merasa tersentuh oleh langit dan menyadari betapa indahnya langit itu.

Ia merasa bahwa di usianya yang senja, ia tak memiliki kesadaran untuk memperhatikan kejadian-kejadian indah di sekitarnya. Selama ini, pikirannya terkungkung dengan perasaan curiga, waspada, benci, dan merasa terkucilkan. Sejak saat itu, ia percaya bahwa birunya langit adalah satu-satunya energi yang dapat membuatnya merasa hidup.

Menjelang eksekusi, ia berkirim surat kepada saya, yang petikannya sebagai berikut, ”Apa kabar bang? Saya ingin mengucapkan terima kasih, karena abang mau mendengarkan kisah saya tentang langit. Semua orang di penjara berpikir saya gila saat merasakan langit telah memberikan energi bagi kehidupan saya berikutnya. Sejak saat itu, saya bersumpah akan menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Ternyata Tuhan telah memberikan jalan kepada saya untuk mengetuk pintu-Nya. Berulang kali ustadz, pastor dan pendeta datang kepada saya namun saya tolak, karena saya lihat mereka itu hidup seperti orang mati. Saya tidak melihat adanya kesadaran dalam diri mereka, melainkan sekadar menjalankan tugas keagamaan mereka.”

Teman kita ini mengaku tak punya agama tapi percaya adanya Tuhan. Saya dengar, di hari-hari terakhirnya ia berikrar syahadat. Yang menarik dipetik dari pernyataannya adalah, jika kita hidup tanpa adanya kesadaran, sama saja dengan mati. Benar sekali. Banyak dari kita yang hidup seperti orang mati, karena kita hidup tanpa kesadaran. Kita membawa tubuh kita berjalan di atas bumi, kita tarik ke masa lalu, dan membawanya ke masa depan, tetapi tetap saja kita teperangkap dalam keputusasaan dan keamarahan.

Saya kagum dengan teman ini, karena di akhir hayatnya ia berhasil menemukan makna hidup. Suratnya singkat tapi filosofis sekali, padahal sekolah menengah atas pun tak tamat. Kesadarannya, membawa dirinya untuk berdiri di pintu dan mengetuk pintu-Nya. Saya teringat dengan kisah seorang pembunuh yang ingin bertaubat setelah menghabisi 100 nyawa. Kesadarannya, telah membawa dirinya untuk mengakui adanya Tuhan, yang memberikan energi pada sisa hidupnya.

Imam Ibnu al-Jauzi berkata, ”Wajib bagi orang yang cerdas untuk selalu berdiri di muka pintu Tuhannya dan terus mengharapkan curahan keutamaan-Nya, baik ketika ia berbuat maksiat kepada-Nya ataupun ketika berada dalam jalur ketaatan.”

Dalam bahasanya Bahlul adalah selalu berbicara dengan Tuhan, ”Hamba mengatakan bahwa Dia tahu benar hamba mencintai-Nya dan apa pun yang Dia perbuat tidak akan mengubah cinta hamba kepada-Nya, kecuali Dia menghendakinya. Jika Dia memilih memberi hamba racun yang sangat pahit, hamba akan memandangnya sebagai gula yang manis, dan sebagai sebuah karunia.”

Sobatku, jika Anda ingin termasuk golongan orang yang cerdas, bercerminlah setiap hari. Tataplah wajah yang ada di dalam cermin itu, tanyakan kepadanya, ”wahai wajah yang dalam cermin, adakah saat ini hati Anda sedang condong kepada dunia?” Jika jiwa Anda menjawab ya, jangan tunggu waktu untuk menarik diri. Namun jika jiwa Anda mengatakan ia sedang condong ke akhirat, bermohonlah agar diberikan taufik-Nya, agar selalu bisa mengerjakan amal-amal yang akan membawa diri Anda ke sana. Begitulah cara sederhana untuk mengetuk pintu Tuhan!

Aku –

yang mesedih di akhir Ramadhan

About Redaksi Thayyibah

Redaktur