Oleh: Ayah Dedy
Medio 2010, Dr. Rajmohan Ghandi, presiden Initiatives of Change International datang mengunjungi pesantren Darunnajah. Kunjungan tersebut bagian dari perjalanan program Inisiative of Change ke 14 negara. Dalam kunjungannya, dalam dialog dengan Kyai dan para pengasuh pondok, ia terkesan. Ia nampak familiar dengan pola pendidikan yang ditanamkan oleh pondok ini kepada santrinya. Bahkan ia merasa berada di rumah sendiri. Begitulah memang seharusnya generasi muda dibentuk, membangun kekuatan diri dengan apa yang juga dilakukan oleh Mahatma Ghandi, kakeknya, dengan berpuasa.
Mahatma Ghandi bukanlah seorang Muslim dan ia tak menjalani puasa Ramadhan. Tapi sepertinya ia tahu benar kekuatan puasa. Ghandi hanya hidup dengan segelas susu setiap harinya saat berjuang melawan penjajahan Britania. Ia melatih kaumnya untuk puasa terhadap produksi Britania, memakai tenunan kasar, makan tanpa garam dan puasa terhadap kendaraan-kendaraan produksi penjajah. Jutaan rakyat India mengikuti langkahnya.
Dampaknya luar biasa. Nilai konsumsi dan permintaan dari masyarakat jajahan mereka- India terhadap barang produksi Inggris pun anjlok. Pabrik pabrik Britania pun berhenti berproduksi. Ekonomi Inggris terancam. Para pemimpin negeri itu pun terpaksa menyerah dan dipaksa bernegoisasi kepada strategi perjuangan pamungkas bapak India modern itu.
Mungkin Ghandi mengikuti strategi Ali bin Abi Thalib “Bersikaplah tidak membutuhkan kepada orang yang kau kehendaki, niscaya kamu bisa menyamainya, dan bersikap butuhlah kepada orang yang kamu kehendaki, niscaya akan menjadi tawanannya.” Begitu rupanya rahasia kemenangan Ghandi.
Puasa tidak identik dengan kelemahan. Atau alasan untuk berlemah diri. Justru ia adalah simbol dari kekuatan dan bisa menjadi senjata atau perisai yang terkuat. Layaknya perisai berbintang seorang tokoh hero hasil imajinasi film Hollywood yang tak tertembus senjata lawan. Kekuatan itu adalah kekuatan melawan keinginan hawa nafsu diri yang tak pernah berhenti menuntut. Jihad akbar. Peperangan yang sesungguhnya menurut Baginda Rasulullah Muhammad sesaat setelah menang perang Badar.
Itulah rupanya kenapa banyak kisah kemenangan kaum Muslimin terjadi di bulan suci ini. Perang Badar, fathu Makkah, perang Tabuk, penaklukan Syam, Mesir dan penaklukan Eropa Andalusia adalah beberapa diantara yang terjadi di bulan Ramadhan. Saat lawan bergantung kepada makanan logistik mewah yang melimpah, kaum muslimin hanya mengantongi sebutir korma. Siap menyongsong kematian karena rindu akan Tuhannya.
Dunia pondok pesantren nampaknya faham benar filosofi puasa ini dan menerapkannya dalam pola hidup santri. Ketika santri menuntut ilmu di pesantren pada hakikatnya mereka sedang hidup berpuasa.
Di pondok, santri dididik hidup sederhana. Sederhana dalam makan, apa yang dimakan, cara tidur, berpakaian, bersikap dan bahkan sederhana dalam bertindak dan berfikir. Santri difahamkan bahwa lauk yang paling enak adalah lapar, kasur yang paling empuk adalah lelah. Sederhana dalam segala aspek kehidupan.
Bukan karena pondok tidak mampu menyediakan lauk yang enak dan penuh gizi. Bukan pula tak mampu membeli AC untuk kamar tidur santri.
Zaman sekarang tidak sedikit dari santri yang datang dari keluarga ekonomi atas. Anak pejabat, jendral, pengusaha. Mereka bisa memilih hidup nyaman dan enak di rumah bersama orangtua mereka. Jika mereka mau.
Tetapi santri memilih untuk menunda kesenangan, kenikmatan dan kenyamanan yang sebenarnya mereka bisa dapatkan jika mereka bersekolah di luar pesantren. Santri sedang berpuasa. Tidak hanya untuk sehari, seminggu atau sebulan, tetapi sampai hitungan tahun. Sehingga diharapkan pada akhirnya puasa melekat menjadi karakter yang membentuk jiwa seorang santri.
Cidokom, Ramadhan 1448 H