Islam Melarang Menggiring Orang Bersedekah dengan Janji Keduniaan
Pengantar
Semua kita tentu kenal dengan Yusuf Mansur. Orang yang digelari ‘ustad’ oleh sebagian orang ini selalu tampil dalam berbagai media dengan menggiatkan ‘sedekah ajaib’. Sedekah yang diserukan Yusuf Mansur bukan dalam rangka bersyukur, bukan dalam rangka berbagi rejeki dan kebahagiaan, melainkan untuk ‘mencari rejeki’. Yusuf Mansur mengajarkan orang yang bersedekah untuk mengharapkan kembalian berlipat-lipat dari yang disedekah. Sedekah adalah sebuah gerakan dagang.
Yusuf Mansur juga mendorong masyarakat untuk bersedekah untuk dirinya. Dia mengambil semua dana dan harta sedekah dari mimbar-mimbar ceramahnya. Dia menjaring dana sedekah masyarakat dari spanduk, baliho, poster, iklan dan media sosial. Dia tidak hanya menerima sedekah berupa uang tapi juga berupa perhiasan emas, tanah, kendaraan dan harta benda lainnya.
Sampai saat ini belum ada informasi tentang penggunaan dana dan harta sedekah yang dihimpun Yusuf Mansur. Belum ada informasi uang dan harta yang dihimpunnya itu diaudit lembaga audit independen. Namun yang pasti, Yusuf Mansur saat ini telah menjadi seorang milyarder, dia punya harta dan asset yang tidak sedikit serta punya jenis usaha yang berbilang.
Redaksi Thayyibah.com, mulai edisi ini berencana meminta pendapat para ustad, kiyai, ulama, pejabat juga para tokoh tentang sepak terjang dan eksistensi Yusuf Mansur ini.
Untuk kali pertama, redaksi meminta pendapat dari Dr. Daud Rasyid, MA, seorang ahli hadis jebolan Universitas Al Azhar, Kairo. Berikut pendapat ustad asal Sumatera Barat ini yang dikirim vie email ke redaksi. Selamat mengikuti.
Harta adalah instrument yang berfungsi mendukung kehidupan manusia. Allah Subhanah Wata’ala karena kemurahanNya, menganugerahkan harta kepada manusia, baik yang percaya maupun yang ingkar kepadaNya. Bahkan menitipkan di dalam hati manusia rasa cinta kepada harta. Tidak ada manusia yang tidak menyukai harta. Di dalam al-Qur’an, Allah berfirman : “Dan (manusia) terhadap harta, sangat kuat kecintaannya” (al-‘Adiyat : 8).
Namun demikian Allah Ta’ala mengarahkan manusia dalam menggunakan harta, mulai dari proses pencarian atau pengumpulannya, hingga pada penggunaan dan pemanfaatannya. Demikian pula keberadaan hadits-hadits Nabi –Shallallahu ‘alaihi wasallam- sebagai penjelasan dan penjabaran terhadap al-Qur’an, penuh dengan arahan dan ketentuan mengenai harta. Di dalamnya ada motifasi dan ada peringatan. Tujuannya agar manusia, khususnya kaum Muslimin tidak jatuh terperangkap dalam jebakan harta dan dunia.
Di dalam al-Qur’an misalnya, Allah menerangkan nasib para penghuni neraka (ashabu asy- syimal) di akhirat kelak. Mereka, dahulunya di dunia adalah orang-orang yang hidup bergelimang harta. Firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya mereka sebelumnya (di dunia) bermewah-mewah”. (al-Waqi’ah : 45)
Adalah benar, bila dikatakan bahwa Islam, dengan sumber-sumber ajarannya, tidak melarang umatnya untuk menjadi kaya atau bekerja mencari dunia. Dengan ungkapan lain, Syari’at Islam tidak menyuruh umat Islam menjadi miskin, sebagaimana anggapan kebanyakan kaum Muslimin. Seolah-olah, kalau ingin masuk surga harus siap hidup miskin, dan jangan sekali-kali menjadi orang berharta. Pemahaman ini jelas tidak benar adanya. Kesimpulan itu adalah salah bila dikaitkan dengan al-Qur’an dan Hadits.
Sebenarnya, baik ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi cukup berimbang dalam memposisikan harta. Di sana ada gambaran tentang orang yang masuk surga karena hartanya, dan juga ada gambaran orang yang akan disiksa karena hartanya. Jadi manusia yang membaca keterangan itu dapat menimbang dan berhati-hati dalam menyikapi harta, tidak terlalu berani hingga melampaui batas, dan tidak juga ketakutan sehingga dapat merugikan kepentingan umat secara umum.
Jadi al-Qur’an tidak melulu memaparkan bahaya dan sisi negatif harta sehingga membuat manusia salah paham dan beranggapan bahwa pintu surga tertutup bagi orang kaya. Juga tidak terlalu mendorong orang untuk mencari harta habis-habisan dalam hidupnya hingga mereka terlena dan dipermainkan oleh dunia. Inilah yang disebut dengan prinsip keseimbangan (at-tawazun).
Adapun peringatan-peringatan Allah dan RasulNya akan sisi negative harta di dalam al-Qur’an dan Hadits, adalah wajar, karena jumlah orang yang tergoda dengan harta jauh lebih banyak dari orang yang selamat. Di samping watak manusia yang aslinya senang dengan harta, sehingga tanpa didorong untuk mencari harta, ia dengan sendirinya sudah menyimpan kecenderungan senang pada harta.
Dalam mengumpulkan harta, Islam memberi arahan dan rambu-rambu kepada umatnya, agar mereka tidak jatuh dalam kesalahan yang dialami umat sebelumnya yang karena cinta harta, menghalalkan segala cara untuk mengejar kesenangan dunia.
Islam membuka pintu untuk mencari harta dengan perdagangan. Di dalam Kitab Hadits, terdapat bab dengan judul “Kitab al-Buyu’” (jual-beli) yang berisi keterangan dan aturan dalam berdagang. Demikian pula penjelasan jenis-jenis jual-beli yang dilarang di dalam syari’at. Di dalam kitab-kitab fiqh, hal itu diperluas lagi oleh para Fuqaha’ penjelasannya hingga sedetail-detailnya. Prinsipnya, ada jenis bisnis yang dihalalkan dan ada yang diharamkan. Setiap Muslim diharuskan tunduk pada aturan-aturan itu, sebagaimana ia tunduk pada aturan dalam beribadah.
Islam mewajibkan umatnya untuk jujur dalam ucapan dan perbuatan. Mengharamkan berdusta dan memanipulasi data. Bahkan diharamkan menjual ayat-ayat Allah untuk memperkaya diri sendiri, atau menggunakan ayat-ayat al-Qur’an untuk kepentingan bisnis semata.
Belakangan ini muncul keresahan dari umat Islam tentang fenomena mengkomersilkan konsep sadaqah dan infaq. Ayat dan hadits yang memotifasi setiap Muslim untuk berinfaq di jalan Allah seakan dieksploitasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sadaqah (sedekah) boleh diberikan secara bebas kepada yang berhak menerimanya, seperti kaum dhu’afa atau di jalan Allah (fi Sabilillah) dengan tidak mengkhususkannya kepada orang dan lembaga tertentu.
Demikian pula Sadaqah (sedekah) tidak boleh difahami dengan pendekatan bisnis. Umpamanya orang yang berinfaq 1 juta, akan mendapatkan penggantinya uang 10 juta. Cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh ulama kita, baik Sahabat atau generasi sesudahnya.
Rasul Saw pun tidak pernah melakukan cara-cara itu. Manusia diarahkan untuk mencari kebahagiaan akhirat, bukan dengan hitung-hitungan uang yang didapat setelah berinfak. Ini jelas tidak sejalan dengan konsep sadaqah di dalam Islam. Seseorang juga tidak boleh digiring untuk menyerahkan kekayaannya dengan janji-janji yang bersifat duniawi yang hal itu hanya diketahui Allah semata. Siapakah yang bisa menjamin orang yang berinfaq 1 juta, akan mendapatkan penggantian 10 juta walaupun dikatakan atas nama Allah Ta’ala? Tidak ada ajaran yang menerangkan dengan tegas seperti itu. Benar Allah melipatkan hasil harta yang diinfaqkan sepuluh kali lipat, tetapi itu bukan dipahami secara matematis. Akan tetapi pahala yang akan didapatkan oleh orang yang berinfaq. Cara seperti ini tidaklah mendidik umat.
Semoga Allah Ta’ala menjaga umat ini dari berbagai upaya untuk membelokkan ajarannya dan membimbing para Da’i agar meningkatkan ketaqwaan mereka kepada Allah Ta’ala. (darso/thayyibah)