Hari Thalassemia Sedunia
Oleh : Pipiet Senja
Anno 8 Mei 2020
Hari ini adalah Hari Thallasemia Sedunia. Aku ingin mengenang masa kecil saat pertama kali dokter mendiagnosaku penyakit kelainan darah bawaan ini.
Kali ini parah sekali, harus diopname di RSPAD. Pelbagai macam tes dilakukan. Peralatan kedokteran sudah lebih canggih. Saat itulah baru diketahui penyakitku yang sebenarnya. Bukan cacingan, bukan malaria, dan sama sekali bukan penyakit kuning.
“Putri Bapak mengidap penyakit kelainan darah bawaan, Thallasemia,” vonis dokter Qomariah.
“Apa artinya, dokter?”
“Penyakit kelainan darah bawaan, genetik.
Penderitanya tak bisa memproduksi darah secara normal…”
“Bisa disembuhkan, dokter?”
“Ini penyakit seumur hidup. Artinya, anak Bapak harus ditransfusi secara berkala seumur hidupnya!”
Aku bisa merasakan. Bagaimana hancur hati Bapak mengetahui kenyataan itu. Sepasang tangannya yang kukuh, aku lihat gemetar hebat. Kurasa, saat itulah untuk pertama kalinya ayahku menyadari betul, bagaimana tak berdayanya putri sulungnya. Wajahku sangat pucat bak mayat. Perut buncit mirip orang hamil dan peralatan transfusi tergantung di samping ranjang.
“Takaran darah atau HB kamu hanya empat setengah persen gram,” kata Suster Patty, kepala ruangan, seorang perempuan Ambon.
“Apa artinya, Bu Suster?” tanyaku takut-takut.
“Jadi kamu harus ditransfusi sebanyak mungkin. Biar takaran darahmu normal kembali. Kamu juga cacingan dan kekurangan gizi. Kelihatannya kamu harus tinggal lama di sini!”
Hiiiy, serasa berada dalam cengkeraman si Samber Nyawa!
Aku takut sekali kepadanya. Di mataku, perawat Ambon itu galaknya minta ampun. Umurnya sudah tua, rambutnya keriting gimbal, perawakannya tinggi kekar. Sikapnya judes, kalau berjalan tampak seperti orang sedang baris.
Ngomongnya keras, suaranya lantang dan ia memang senang berteriak-teriak, main perintah. Konon, dia mantan seorang prajurit. Kalau menginjeksi, jeees, jeees, jeees. Huh! Mana dalam seharinya bisa dua kali lagi diinjeksi.
“Gustiii… suuuaaakiiit buangeeett!” aku hanya bisa mengeluh dalam hati, air mataku berlinangan, tak ada yang menghiburku.
Saat itu mencari donor darah sangat sulit. Harus donor langsung, bisa dicari dari keluarga, kerabat atau teman. Bapak beruntung dihormati dan disayangi oleh anak buahnya. Tanpa banyak kesulitan Bapak berhasil membawa pasukan kecilnya ke RSPAD.
Para prajurit itu menyumbangkan darah untukku. Kalau sudah diambil darah di PMI, mereka pun rame-rame mampir ke ruang rawatku.
Di sini masih juga mereka memberikan sumbangan yang lain. Ada yang berupa makanan ringan, susu, penganan, dan buku-buku bacaan. Yang terakhir itulah yang paling aku sukai. Subhanallah, betapa mulia hati para prajurit itu. Hanya Allah Swt. yang bisa membalas budi baik mereka. Terima kasih, semoga bapak-bapak prajurit itu mendapat balasan pahala berlipat-lipat dari Allah Swt.
Ada pengalaman yang tak terlupakan saat pertama kali diopname. Hari kedua aku harus menjalani tindak medis yang biasa disebut BMP, entah singkatan apa, intinya diambil cairan sumsum dari dadaku.
Aku menjerit-jerit kesakitan sambil menyeru asma-Nya.
“Allaaahu Akbaaar! Allahu Akbaaar!”
Esoknya aku mulai menjalani transfusi, sungguh, aku ingat sekali tak ada yang menemani. Perawat mulai memasang selang transfusi sekitar pukul sepuluh pagi. Tangan yang sedang menerima aliran darah ditutupi perban. Dari ujung jari sampai sebatas pangkal lengan. Diletakkan di atas sebilah papan kecil. Persis orang yang sedang patah tangannya!
Aku menangis ditahan dan merasa sangat ketakutan. Belum ada yang datang membesuk, Bapak harus dinas setelah semalam menungguiku. Mak terpaksa hanya sesekali membesuk, karena belum lama melahirkan. Kondisi Mak juga tak begitu baik.
Aku harus tabah menanggung rasa sakit itu seorang diri. Tak bisa aku lukiskan, bagaimana sengsaranya menangung keadaan itu. Tak boleh bergerak banyak, bahkan duduk pun dilarang. Alasannya, biar jalan darahnya lancar, tidak macet… aarrggh!
Beberapa jam aku masih bisa bertahan, nyaris tak bergerak sama sekali. Tapi lama-kelamaan terasa ada yang mencucuk-cucuk, menggerogoti di bagian pangkal lenganku. Rasanya gatal bukan main, gataaal!
“Ini gataaal…. Gataaaal!” aku menjerit tak tahan lagi.
Ibu-ibu berlarian menghampiriku dan heboh membujuk.
“Tolong…gataaal…” aku mengerang.
“Gatal, ya?”
“Coba kita intip saja…”
“Iya, ada apa sih di balik perbannya itu?” usul seorang ibu, terdengar penasaran.
Ibu itu memeriksa perban yang membalut seluruh lenganku, sehingga tampak seperti patah tulang. Perlahan-lahan dikuak sedikit dan…bruuul!
“Tumbilaaaa!”
“Bangsaaat… eeeh, kutu busuuuk!”
Ruangan itu mendadak heboh. Kurasa, bahna syok dan ngeri melihat gerombolan kutu busuk atau karena takaran darah terlalu rendah, seketika itu juga aku semaput!
Begitu siuman kutemukan diriku sudah nyaman, aroma minyak kayu putih yang segar menyeruak hidungku. Dua orang ibu masih memperhatikanku dari sebelah-menyebelah ranjangku. Keduanya langsung tersenyum begitu melihat aku memicingkan mata.
“Tenang, ya Neng… kita sudah urus kutu busuknya!” ujar ibu yang satu, aku tak ingat siapa namanya.
“Sekarang mendingan tidur saja lagi, ya…” bujuk ibu satunya lagi, entah siapa pula dia.
Kemudian kusadari bahwa ibu-ibu yang menunggui pasien di bangsal 14 itu ternyata ramah-ramah dan perhatian. Mereka sama berusaha menenangkan hatiku, meringankan penderitaanku.
Ada yang memberi buah-buahan, ada juga yang menghadiahiku kue-kue dan coklat.
Mereka pasti bisa melihat, lemari kecil di samping ranjangku hampir tak ada isinya selain termos dan gelas. Tak seperti lemari lainnya di bangsal itu. Ada banyak makanan, kue kaleng, dan buah-buahan segar. Mereka pun tentu tahu, aku satu-satunya pasien kecil di situ yang tak pernah dibesuk selain oleh Bapak dan Mak.
Sebenarnya Mak punya kaum famili lumayan banyak di Jakarta. Bahkan beberapa di antaranya termasuk orang berada. Namun, entah mengapa tak seorang pun dari mereka yang sudi membesuk aku.
Masa-masa diopname untuk pertama kalinya itu, bagiku serasa bagaikan hidup di dalam kerangkeng.
Kalau sudah pernah, barangkali seperti itulah rasanya dipenjara. Aku takkan melupakan bagaimana raut wajah ayahku saat menyampaikan kondisi kesehatanku.
“Dirawat… bagaimana, Pak?” tanyaku belum paham.
“Teteh,” demikian aku sekarang dipanggil oleh orang tua dan adik-adikku, panggilan kesayangan karena aku anak sulung.
“Diopname di sini, artinya tidak boleh pulang untuk sementara. Karena para dokter akan mengobati penyakitmu. Teteh mau sehat lagi, bukan?” ujar Bapak, entah mengapa di kupingku suaranya terdengar agak bergetar.
“Iya, Neng, mendingan juga dirawat, ya… Di rumah mah kita gak bisa apa-apa kalau melihatmu kesakitan,” sambung Emak.
“Kalau Teteh tinggal di sini… apa ada yang nungguin?” tanyaku mulai diterpa rasa cemas dan takut.
“Bapak akan menunggumu kalau malam…”
“Dan tidak sedang dinas,” ibuku menukas kalimat ayahku.
Takaran darahku hanya 4 % gram. Tak boleh tidak, aku harus segera ditransfusi.
Meskipun menangis sejadi-jadinya dan mencoba untuk berontak, tapi tenagaku memang tak seberapa. Entah dengan pertimbangan apa, mungkin juga tak ada tempat di bangsal anak, aku ditempatkan di bangsal 14 untuk pasien dewasa.
“Sekarang kamu harus mengikuti kata-kata dokter dan aturan rumah sakit, makan obat yang teratur. Biar cepat pulang, sehat dan sekolah lagi,” ujar ibuku sebelum pulang, tangannya yang lembut megusap-usap kepalaku sepenuh sayang.
“Bapak juga harus balik lagi ke kantor. Nanti malam Bapak ke sini,” janji ayahku. Maklum, seorang tentara punya kewajiban mutlak sesuai sumpah prajurit; lebih mengutamakan tugas dari apapun jua.
Aku hanya mengangguk pelan. Kasihan Bapak, pikirku, jadi bertambah beban di pundaknya. Bukan diriku saja yang dikhawatirkannya, kondisi ibuku pun sungguh memrihatinkan. Keadaan ekonomi kami morat-marit.
Sementara kedudukan Bapak di kantornya yang baru pun tentu belum ajeg benar. Bapak baru dimutasikan dari Kodam Siliwangi ke Kodam Jaya. Acapkali aku merasa, orang tuaku sudah tak mampu memberiku makanan yang sehat, karena itu lebih baik menitipkanku di rumah sakit.
Lepas dari teror gerombolan kutu busuk itu, sebagai pengalih rasa sakit dan kesedihan, aku mulai “mencari-cari urusan” dengan memperhatikan suasana sekitarku. Ruangan luas itu dihuni oleh lima belas pasien. Kecuali aku, semuanya perempuan dewasa dengan penyakit macam-macam. Ranjangku nomer dua di sebelah kiri pintu.
Di seberangku ada seorang pasien yang senang betul mengawasiku. Para pasien memanggilnya Ani, sebelah kakinya buntung, berpenyakit paru-paru. Belakangan kutahu Ani adalah tapol Gerwani, titipan polisi militer.
Melihat sorot matanya yang menyipit terkesan licik, perasaanku jadi tak nyaman setiap kali dia menghampiri.
Dalam beberapa jam saja dia bolak-balik menghampiriku. Mulutnya meruapkan bau busuk, ditambah sering mengeluarkan kalimat-kalimat tajam, meneror.
“Hei… anak kecil, bapak kamu itu komandan, ya?”
“Di mana tugas bapak kamu… pernah ke Madiun gak?”
“Madiun itu kampungku, tahu gak kamu!”
“Niiih… kakiku dibuntungi tentara-tentara keparat!”
“Ya, tentara-tentara itu bangsaaat!”
“Di sini kamu jangan manja, ya! Ada suster Pati, orang Ambon. Guaaalaaak!”
“Nanti kamu disuntik-suntik, dibius, dipotong-potong… sama dia!”
“Terus diangkut ke kamar mayat… mau kamu dibegitukan?”
Anda bisa bayangkan bagaimana takutnya diriku. Jantungku yang telah dibuat bekerja lebih keras akibat kurang darah, kurasakan semakin berdegupan kencang. Perutku pun mulai terasa mulas dan perih.
Mujurlah, ada seorang nenek di seberang ranjangku. Dia menunggui putrinya, kelihatannya ada perhatian pula terhadapku. Kadang aku sengaja mengerang kalau diomongin macam-macam oleh Ani. Nenek itu curiga agaknya.
Maka, jika dilihatnya si Gerwani itu bergerak ke arahku, ibu tua itu pun perlahan tapi pasti ikut bergerak meningkahi gerakannya.
“Ani, jangan macam-macam!” katanya mengingatkan. “Anak ini lagi sakit, kamu jangan tambah penderitaannya, ya… Awas, kulaporkan kamu sama PM di depan sana!”
Maksudnya polisi militer yang memang selalu ada di pos depan.
“Dasar nenek-nenek cerewet! Otaknya ngeres saja, nenek sihiiir!”
Ani sambil bersungut-sungut membawa kakinya yang pincang menjauhi ranjangku. Takut juga rupanya tapol itu kepada ibunya seorang Letnan.
“Terima kasih, Nek,” kataku dengan air mata berlinang.
“Kalau ada apa-apa jangan diam saja, ya Neng. Teriak saja panggil Nenek,” ujarnya terdengar tulus, kemudian ia kembali ke sisi ranjang anaknya yang telah berbulan-bulan dirawat karena kanker rahim.
Selama aku dirawat ibuku jarang menjenguk. Hanya ayahku yang setiap pagi dan sore mampir. Biasanya ayahku akan membawakanku kue-kue dan cemilan yang belakangan kutahu, semuanya itu hasil ibuku berhutang ke warung Abah.
Adik-adik pun hanya seminggu sekali, secara bergantian dibawa oleh Bapak menjengukku.
Malam itu Bapak harus giliran piket di kantor. Bapak bilang nanti ibuku akan datang menemani.
Namun, sampai menjelang sore, bahkan setelah orang-orang yang besuk pulang, ibuku tidak muncul juga. Sesungguhnya aku mengkhawatirkan pasien di sebelah kananku, usianya 19-an, siswa SMA.
Dia in-coma setelah dioperasi kepalanya. Kata Bibi yang biasa menungguinya, dokter yang akan mengoperasi lanjutan sedang mengikuti konferensi di Jerman. Jadi operasi lanjutannya menunggu dokternya pulang.
Sudah dua hari itu Bibi pulang dulu ke Cianjur. Tak ada yang menemaninya lagi, dibiarkan tergeletak tak berdaya dengan berbagai peralatan medis mengerumuni sekujur tubuhnya. Aku tak pernah melihat orang tuanya, menurut cerita Bibi, ayahnya seorang Bupati.
Kadang aku merangkai cerita sendiri (bakat sejak kecil!) bahwa pasien ini memang sudah dibuang oleh orang tuanya, karena penyakit tak tersembuhkan, kanker otak. Bagaimana dia menanggung derita nestapanya hanya ditemani pembantu? Kalau dilanjutkan bisa satu cerpen tuh. Aha!
Kalau aku seperti dia, wuaduuuh, rasanya lebih baik mati saja!
Ya Yuhan, aku masih beruntung, demikian aku berpikir. Sesibuk apapun, Bapak selalu perhatian dan punya waktu untukku. Semiskin apapun, Emak akan selalu berusaha menyenangkan hatiku, walau itu berarti harus menggadaikan nyawanya sekalipun.
Ya Allah… terima kasih, Bapak dan Emak tidak membuangku yang penyakitan begini, gumamku membatin dengan dada penuh rasa syukur.
“Jangan takut, ya Neng… Nenek akan menjagamu dari sana,” ujar Nenek menghiburku, dan ia melaksanakan janjinya, wara-wiri dari samping anaknya ke sisiku.
“Terima kasih, Nek… boleh minta tolong?”
“Mau minum? Mau makan… Nenek suapi, ya?”
“Bukan itu, Nek, aku gak lapar,” perutku serasa gembung, sekujur badanku meriang silih berganti akibat transfusi. Darah orang tentu sedang beradaptasi dengan tubuhku.
“Mau kue, ya?” ujarnya pula menawariku dengan nada tulus.
Aku menggeleng. “Nenek coba lihat, kenapa Kakak di sebelah itu bunyi ngoroknya begitu, ya?”
“Keras ya ngoroknya?” gumam Nenek tertegun, kemudian menyibak gordeng, melongok ke ranjang pasien sebelahku.
Groookkk… grooook…. Begitulah bunyinya.
“Gak apa-apa, mungkin lagi enak tidurnya setelah dikasih obat baru,” komentar Nenek menenangkanku. “Mau apalagi sekarang?”
“Hmm… terima kasih, Nek,” aku menggeleng lemah.
Benakku bercabang-cabang liar, melayang ke mana-mana. Emak, aduuuh, ke mana sih Emak? Jangan-jangan di jalan Emak… Aduh, sungguh kacau!
“Ya, sudahlah… Kamu harus berusaha tenang dan tidur, ya Neng. Baca-baca aja, banyak doa, ya?” pesannya pula sebelum kembali ke samping putrinya.
Aku mencoba memejamkan mata, menutup kepalaku dengan selendang batik milik Emak yang sengaja kuminta. Kuciumi aroma khas milik ibuku. Aroma kasih sayang yang hanya ibuku pemiliknya.
Demikianlah kelakuanku kalau sedang demam rindu kepada ibuku yang sangat kusayang, dan dia pun sangat mengasihiku.
Teng… teng… pukul delapan malam!
Mendadak terjadi kehebohan, pasien baru masuk, dan diletakkan tepat di sebelah kiriku.
Memang hanya itulah ranjang yang masih kosong di bangsal campursari, dihuni pasien dengan penyakit samakbrekalias 1001 macam penyakit.
Waktu itu, 1969, aku kurang tahu, apakah sudah ada ruangan yang disebut ICCU atau sejenisnya. Jadi, kalau bukan dilakukan di ruang perawatan tentu di tempat operasi.
Sebetulnya di zal 14 itu ada ruangan isolasi, khusus untuk pasien gawat. Tapi agaknya malam itu ruang isolasi penuh, jadi terpaksa ditaruh di bangsal.
Yang menghebohkan itu adalah suara-suara pengantarnya. Serombongan, ya, semuanya saja, mencoba ikut masuk ke bangsal.
Suara-suara keras khas orang seberang, berseliweran di sekitarku. Sungguh mengganggu dan menambah rasa sakit yang harus kutanggung.
Suster sampai memanggil provost untuk mengusir orang-orang yang tak tahu situasi dan kondisi itu. Provost atau para petugas jaga malam akhirnya berhasil menggiring mereka keluar bangsal, disertai pertengkaran, caci-maki, sumpah serapah… Halaaah!
“Dasar Batak, begitulah kelakuannya!” samar-samar kudengar suara Ani.
Otakku masih bisa berpikir dan mengukir-ukir sebab-akibat, terutama tentang kelakuan Ani. Kenapa dengan si Ani itu, ya? Judes, iri, dengki, hobi neror dan rasis. Kalau ada orang tuaku, dia akan bersikap baik, ramah, sungguh munafik. Pantaslah orang itu direkrut sebagai Gerwani!
Beberapa saat kembali tenang, maksudku tanpa kehadiran orang-orang yang tak berkepentingan dengan bangsal perawatan ini. Sementara pasien baru, ternyata seorang lansia, masih ditangani oleh para dokter.
Mereka sibuk melakukan berbagai macam tindakan. Lamat-lamat kudengar suara yang saling bersahutan.
“Ini chirosis hepatitis… sudah parah…”
“Tensi 40 per…”
“Denyut tak teraba…”
“Dokter Qom sudah dikabari?”
“Tidak bisa… lagi di Singapore…”
Kurasa kemudian mereka melakukan kejut listrik… satu, dua, yaaaak, satu dua tiga, yaaaak!
“Awaaasss… syeeet!”
“Aduh, apaan tuh?”
“Pecah… dokter Irwan… bagaimana ini?”
“Kita… sialan banget nih…”
“… hilang ya…”
Beberapa jenak tak ada suara-suara lagi.
Keheningan yang sangat merejam dada, mencekam jiwa dan raga.
Namun, beberapa jenak kemudian kulihat para koas itu beriringan. Sungguh, mereka meninggalkan pasien baru itu. Tinggal seorang perawat lelaki dan dua orang suster.
Mereka melakukan sesuatu, kurasa, membersihkan darah yang muncrat ke mana-mana. Menimbulkan bau busuk tak terkira!
Menghabiskan sisa malam itu, aku tetap seorang diri, sambil merasa-rasai kesakitan dan demam yang datang silih berganti. Aku tahu, aku sadar bahwa di sebelah kananku, pasien baru itu telah menjadi mayat.
Tengah malam terjadi kehebohan lagi, kali ini si Kakak pun telah memilih jalannya. Menghadap sang Pencipta!
Pagi sekali, Bapak muncul dan mengabari; Mak tak bisa datang bukan karena hujan besar, melainkan karena kaki-kakinya mendadak bengkak. Akibat tersandung batu cobek di kamar mandi.
Sekarang Mak ada di klinik, mungkin harus diopname, kata Bapak dengan wajah muram.
“Bagaimana perasaanmu setelah ditransfusi, Nak?”
“Teteh gak apa-apa kok, Pak, sudah ditransfusi… segar,” hiburku sekuat daya menahan rasa pedih yang menggejolak dalam dada.
“Alhamdulillah, semoga Allah Swt memanjangkan umurmu, Nak,” ujarnya sambil mengecup keningku, mulutnya komat-kamit, tentu mendoakanku.
Kulihat air bening mengembang di sudut-sudut mata prajurit kami yang perkasa. Aduuuh, hancur rasanya hatiku!
“Bapak urus Mak saja, ya Pak, kasihan Mak. Sungguh, Teteh sudah sehat,” lanjutku pula berusaha meyakinkannya.
Kurasa, sejak itulah aku tak pernah merasa takut lagi dengan mayat. Sepanjang malam di sebelah-menyebelahku ditemani mayat, ternyata tidak apa-apa. Aku malah lebih mencemaskan kelakuan si Ani Gerwani. Semakin sering menghampiriku, semakin sering dia meneror dengan kata-kata jahimnya.
Memasuki hari kelima, mereka memindahkanku ke kamar bernomer tiga. Ruang perawatan untuk keluarga perwira menengah, sesuai dengan pangkat ayahku. Di sana aku melanjutkan perawatan sampai sebulan kemudian. Aku banyak belajar tentang kemandirian, semangat, pantang menyerah.
Kurasa pula, sejak saat itulah air mata mulai jarang kutumpahkan. Maksudku, apabila itu berkaitan dengan penyakit dan segala dampak yang menyertainya. Menangis… oh, tidaaak!
Beberapa hari sebelum ujian akhir SD aku diperbolehkan pulang. Aku malah jadi juara umum di SD POMG lulusan tahun 1969. Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Umum, dan Berhitung mendapat nilai sembilan. Terima kasih, Gusti Allah!