Oleh: Dr. Tiar Anwar Bachtiar
Hijrah Rasulullah Saw. dari Mekah ke Madinah menandai awal baru sejarah dakwah Nabi Saw. Di Mekah selama 13 tahun ibarat kawah candradimuka yang menempanya bersama para sahabat dengan kegetiran dan kepahitan. Sepuluh tahun berikutnya di Madinah Rasulullah mulai menapaki kemenangan demi kemengangan dakwah hingga sampai pada kemenangan terindah Futuh Mekah pada tahun ke-8 dari hijrah.
Selain keimanan dan ketaatan pada Allah Swt yang mutlak serta keikhlasan dalam berjuang yang sulit dicari tandingnya, tentu ada anasir-anasir strategis yang dilakukan Rasulullah Saw. dalam merespon kondisi masyarakat yang dihadapinya.
Syaikh Ramadhan Al-Buthi menyebutkan tiga strategi Rasulullah Saw sebagai fondasi awal membangun Madinah, yaitu:
1. Membangun mesjid
2. Mempersaudarakan kaum Muslim
3. Melakukan perjanjian damai dengan berbagai komunitas yang ada di Madinah.
Ketiga hal ini menandakan bahwa dalam mengawali perjuangannya di Madinah, Rasulullah Saw :
1. Membangun keimanan dan mentalitas
2. Membangun ukhuwah
3. Mengamankan komunitas Muslim dari kemungkinan-kemungkinan gangguan dari pihak luar dengan cara membangun harmoni sosial dengan komunitas manapun yang ada di Madinah saat itu.
Namun, ada satu hal yang mendesak yang dihadapi Rasulullah Saw, yaitu ekonomi Madinah saat itu dikuasai oleh orang-orang Yahudi.
Penduduk asli Madinah, suku Aus dan Khazraj, walaupun lebih lama tinggal di Madinah, tapi kehidupan ekonomi mereka berada di bawah kontrol orang-orang Yahudi. Salah satu yang menyebabkan penguasaan Yahudi terhadap ekonomi Madinah adalah penguasaan mereka atas pasar. Bahkan bukan hanya pasar, orang-orang Yahudi di Madinah ini juga memiliki pusat-pusat pengolahan pertanian yang cukup besar di Madinah seperti di Khaibar. Hal ini semakin memperkuat dominasi Yahudi atas perekonomian Madinah saat itu, karena dari hulu produksi sampai distribusi kepada konsumen semuanya di bawah kendali mereka.
Menghadapi situasi ini, tentu saja Rasulullah Saw harus mempersiapkan strategi yang tepat dan efektif untuk melemahkan dominasi Yahudi atas ekonomi Madinah. Selain ketiga hal di atas sebagai pondasi dasar masyarakat Muslim Madinah, Rasulullah Saw. kemudian secara khusus membuat dua strategi penting yang satu sama lain saling berkaitan erat :
Pertama, meningkatkan etos kerja dan produktivitas kaum Muslim; dan kedua, menciptakan pasar baru untuk transaksi kaun Muslim.
Strategi pertama dilakukan Rasulullah Saw. dengan memerintahkan para sahabat untuk segera menggarap lahan-lahan pertanian Madinah yang banyak ditelantarkan oleh penduduk setempat. Bisa jadi, kebutuhan masyarakat Madinah sudah banyak dipenuhi dari kebun-kebun yang dikembangkan orang Yahudi.
Orang-orang Madinah sendiri bisa jadi lebih senang hanya bekerja untuk orang-orang Yahudi atau hanya menanam untuk kebutuhan sendiri sehingga masih banyak tanah yang tidak tergarap.
Rasulullah Saw. menyeru ketika pertama kali menggulirkan program ini, “Siapa yang menghidupkan tanah yang mati; maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Al-Bukhari).
Pribadi para sahabat yang sudah terbina baik dengan binaan ruhiyyah-islâmiyyah cara Rasulullah saw. tidak pernah berpikir pilihan lain ketika mendengar seruan Rasulullah Saw kecuali menaatinya.
Ali ibn Abi Thalib menghidupkan tanah dekat mata air di Yanbu’. Zubair ibn Awwam mengambil sepetak tanah tak terurus lainnya di Madinah. Diikuti kemudian oleh sahabat-sahabat lainnya yang sangat bersemangat untuk dapat hidup mandiri dan produktif.
Bila sebelumnya yang bertani adalah orang Madinah saja, maka karena dorongan perintah Rasulullah Saw banyak dari kabilah lain yang belajar bertani sehingga pada masa Rasulullah saw di Madinah muncul kawasan-kawasan pertanian baru yang produktif seperti Wadi Al-Aqiq, Wadi Bathhan, Wadi Mahzuz, Wadi Qanah, Wadi Ranuna, Wadi Al-Qura, Wadi Waj, Wadi Laij, dan sebagainya. Padahal, sebelumnya kawasan-kawasan tersebut adalah kawasan telantar yang hanya ditumbuhi semak belukar.
Produksi adalah bagian paling dasar dalam siklus ekonomi. Tidak akan ada pasar dan perdagangan tanpa ada barang-barang produksi. Rasulullah Saw memulainya dari wilayah ini untuk melemahkan dominasi Yahudi. Bila selama ini produk-produk yang digunakan masyarakat Madinah dimonopoli oleh Yahudi dari kawasan-kawasan pertanian mereka, maka Rasulullah SAW. mulai menyainginya dari hasil-hasil produksi lahan baru milik para sahabat. Paling tidak saat panen tiba, kebutuhan kaum Muslim tidak lagi harus bergantung kepada orang-orang Yahudi. Ketika kaum Muslim sudah dapat mandiri, maka posisi tawar kaum Muslim semakin kuat. Apalagi yang mandiri adalah pangan yang merupakan kebutuhan primer manusia.
Kendala yang dihadapi pascaproduksi adalah pemasaran. Di Madinah pasar-pasar besar adalah milik bangsa Yahudi. Salah satu pasar paling besar adalah Pasar Banu Qainuqa’ milik Yahudi. Rupanya kekuatan pokok mereka ada di sini.
Dengan cara-cara yang penuh tipuan (gharar dan jahâlah) disertai dengan praktik riba yang akut, kaum Yahudi berhasil menjerat semua pemilik barang-barang produksi untuk masuk ke pasar mereka.
Masyarakat Madinah sebelum kedatangan Rasulullah Saw. yang tidak terlalu mahir berdagang, tidak sanggup keluar dari lingkaran setan ekonomi ribawi yang dipraktikkan Yahudi di pasar-pasar mereka. Bila tidak mengikuti skema Yahudi ini, para petani tidak dapat memasukkan produk mereka ke pasar.
Agar produk-produk yang sudah dihasilkan umat Islam tidak menjadi makanan baru Yahudi, maka Rasulullah Saw. berinisiatif untuk membuat pasar baru, minimal bagi kebutuhan umat Islam sendiri
Bersama Rasulullah Saw dari Mekah ada sahabat-sahabat yang mahir berdagang seperti Usman ibn Affan, Abdurrahman ibn Auf, Abu Bakar, dan beberapa yang lainnya. Rasulullah Saw adalah pedagang sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Keahlian-keahlian semacam inilah yang memungkinkan Rasulullah Saw dapat menjalankan misinya membangun pasar baru.
Mula-mula Rasulullah Saw membangun semacam tenda di dekat pasar Bani Qainuqa’ khusus untuk jual beli kaum Muslim. Ka’ab Al-Asyraf pemimpin Yahudi sangat marah atas apa yang dilakukan Rasulullah saw. Ia kemudian menghancurkan tenda tersebut agar kaum Muslim kembali bertransaksi ke pasar Bani Qainuqa’.
Rasulullah saw tidak terpancing oleh Ka’ab, tetapi ia kemudian berkata, “ Demi Allah, aku akan membangun pasar yang akan membuatnya lebih marah lagi.” Setelah Rasulullah Saw membangun pasar di tempat yang agak jauh dari pemukiman. Kawasan pasar ini kelak dikenal sebagai pasar Manakhah.
Pasar yang dibuat Rasulullah Saw ini unik dan sungguh-sungguh membuat Yahudi sangat marah atas keberadaannya, karena akhirnya pasar ini sanggup menggusur dominasi pasar orang-orang Yahudi di seantero Madinah.
Oleh Rasulullah Saw pasar ini dibuat sangat luas dan tidak dibuat bangunan permanen di sana; hanya berupa tanah lapang. Rasulullah Saw melarang untuk memungut pajak dan kutipan apapun di pasar ini untuk menjaga harga tidak naik di tingkat konsumen. Lebih unik lagi, Rasulullah Saw memperlakukannya seperti masjid. Siapa saja kaum Muslim bebas datang ke kawasan ini. Tidak boleh ada yang mengkapling-kapling tanah tersebut untuk sendiri. Setiap orang berhak berdagang di sebelah mana saja sama seperti orang duduk di mesjid bebas di sudut mana saja. Pengambilan tempat didasarkan pada urutan datang. Siapa yang pertama kali datang, dia berhak untuk memilih tempat mana yang akan dipergunakan. Keunikan ini bertahan hingga masa Khulafaur-Rasyidin.
Tambahan lagi, yang menyebabkan pasar ini semakin diminati oleh banyak konsumen adalah karena pasar ini sangat ketat memperhatikan implementasi ajaran-ajaran muamalah Islam. Di pasar ini tidak boleh ada riba, gharar, dan perjudian. Diharamkan pula ada yang melakukan kecurangan-kecurangan seperti pengurangan timbangan dan penipuan lainnya. Untuk menjamin semua ini berjalan baik, maka Rasulullah Saw menunjuk Umar ibn Khathab sebagai pengawas pasar. Umar diberi kewenangan untuk menindak siapa saja yang melakukan kecurangan di pasar ini. Faktor inilah yang menyebabkan pasar ini menjadi lebih diminati bukan hanya oleh kaum Muslim, tapi juga kaum kafir. Secara perlahan tapi pasti, pasar Rasulullah Saw. berhasil menyingkirkan dominasi pasar Yahudi yang sangat merugikan konsumen.
Wallâhu A’lam.