Perjalanan yang Melelahkan
Oleh : Pipiet Senja
Ini masih soal Bersyukur ala nenek-nenek. Umurku sekarang, tepatnya 16 Mei yad adalah 64 tahun. Ketika harus diangkat limpa plus kandung empedu, umurku masih 52 tahun. Saat itu dokter memprediksi paling aku bisa bertahan dua tahun saja. Alhamdulillah, agaknya Sang Pencipta punya skenario lain untuk hambaNya yang lemah ini. Setidaknya aku masih menoreh janji melalui pena. Yakni berupa kenang kenangan ini.
Pasca Operasi 2009. Dalam semesta gulita yang seolah tiada berujung itu, lamat-lamat terdengar sebuah suara. Ya, ada suara lembut, begitu lembutnya sehingga kupingku nyaris melewatinya. Menyadari hal itu aku tersentak, berusaha keras memberontak dari belenggu kegelapan. Tuhan, Tuhan, Allahku Sang Pencipta Waktu, seruku berulang-ulang. Jangan sampai aku kehilangan suara itu. Harus kutangkap, harus bisa, harus bisa!
“Mama, sadar dong, Mama sayang…. Ayolah, Ma, jangan nakutin Butet, hikkksss….” Suara anakku Butet, iya, suaramukah itu?
“Demi Allah, maafkan Butet, ya Ma. Butet yang sudah mendorong-dorong Mama dioperasi. Ampuni Butet, ya Ma, ampuni, hikkkksss….” Benar, itu memang suara Butet!
Ada yang menyentuh tanganku, kemudian meremas-remas telapak tanganku, mengusap pipi-pipiku, bahkan mengecup keningku sepenuh sayang. Sungguh, rasa sayang itu terasa merembes melalui ujung-ujung jariku, terus merayapi kisi-kisi hatiku, sehingga mendesak bendungan air mata yang telah lama tersimpan.
Aku ingin menangis sesenggukan. Bukan tangis dukalara melainkan tangis terharu, tangis bahagia; akhirnya aku bisa kembali jumpa anakku, belahan jiwaku!
“Naaak…. Buteeet, kamu ini, Nak?”
Betapa ingin kuserukan namanya, agar semua orang, seluruh penghuni ruangan yang bagaikan neraka dunia ini mengetahui bahwa; aku memiliki seorang anak perempuan!
“Iya, Mama sayang, Mama cantik, Mama solehah, Mama perkasa. Ini anakmu Butet,” suara itu menegaskan keberadaannya. “Butet di sini dari pukul tiga tadi. Sekarang sudah pukul tengah enam, Ma….”
Aku telah membuka kelopak mataku. Kucari-cari wajahnya di antara bunyi dengung kematian. Ada yang duduk di sebuah kursi di sebelah kanan ranjangku. Ya, seraut wajah jelita kini menjelma di hadapanku, dan aku bisa menghirup aroma parfumnya. Hmm, ini parfum yang sama dengan parfum milikku.
Seorang fans membelikannya di Singapura sebagai buah tangan untuk kami berdua. Botolnya sama, aromanya pun sama, tapi isinya pastilah masih lebih banyak botol milikku. Aku jarang sekali memakainya, sebaliknya Butet hampir tiap hari menyemprotkannya ke badannya.
“Alhamdulillah, Nak, sini peluk Mama,” pintaku seperti seorang bocah.
“Boleh, tapi nanti, ya Ma, pelukannya ditunda dulu. Tadi kata dokter, kita tidak boleh terlalu rapat.
Mama harus steril, sedang Butet, lihat nih! Baju kemarin bekas kuliah, belum diganti-ganti,” kilahnya, bagaikan seorang ibu membujuk anaknya.
“Oh, begitu, ya….”
Baik, bisa kuterima alasannya. Aku tahu bahwa sistem antibodiku saat ini telah hancur-lebur. Aku tidak memiliki limpa dan kandung empedu lagi.
“Makanya, Mama harus kuat, biar cepat keluar dari tempat ini.”
“Iya, Nak, Mama mau cepat keluar dari…, ini neraka dunia, Nak. Di sini Mama dizalimi, dijadikan kelinci percobaan. Sekarang, dengerin Mama, ya. Butet harus percaya kata-kata Mama ini. Mereka berusaha membunuh Mama, melenyapkan Mama. Gara-gara Mama cerewet nanyain gigi-gigi palsu Mama….”
Untuk beberapa jenak wajah Butet terperangah. Tentu saja, ia tak pernah melihat ibunya seperti ini.
“Sebentar, tadi Mama bilang gigi palsu? Mama punya gigi palsu? Kok Butet baru tahu sih?”
“Iya, lihat nih…, sekarang Mama ompong!”
Aku memperlihatkan mulutku yang terasa lowong melompong. Butet semakin terperangah. Entah merasa geli atau ngeri, tapi yang jelas, kulihat ia berusaha keras menyembunyikan perasaannya.
“Percaya sama Mama, ya Nak, ya…,” pintaku mengulang. “Mereka sudah malpraktek, di sini ada kesalahan teknis….”
“Pssst, Mama tidak boleh suuzon begitu. Mama lagi kena halusinasi akibat obat-obatan,” tukasnya dengan suara perlahan, seakan tak ingin didengar siapapun kecuali diriku.
Sekelebatan di belakangnya seorang perawat melintas. “Nah, begitu dong, Bu. Tenang sekarang ibunya tuh, diapain Dek?” komentarnya.
Butet menyahut dalam nada santun.“Hanya dibacakan doa saja, Suster.”
Aku mengerucutkan bibir, betapa ingin kusemburkan serapahku. “Kalian jahat!”
Namun, demi melihat wajah anakku yang tampak menanggung kelelahan, seketika terlupakan sudah segala deritaku.
“Butet sama siapa jagain Mama di luar?”
“Sendirian….”
“Abang mana?”
“Sebentar lagi datang.”
“Butet, janji, ya, janji…. Jangan tinggalkan Mama lagi, pliiiis,” pintaku sekali ini memelas.
Demi Tuhan, ini bukan diriku yang sebenarnya! Duhai, kemanakah gerangan segala ketegaran, ketangguhan yang selama ini telah melekat menjadi bagian dari jatidiriku itu?
“Iya, Mama, iya….”
“Mama pegang janjimu, ya Nak!”
Maka, seketika kupegang erat-erat tangannya.
“Pssst, bawa Mama pergi dari sini, sekarang juga, ya? Dengerin kata-kata Mama, nanti dalam hitungan ke-3, Butet harus angkat Mama, oke?”
“Mama, jangan banyak pikiran lagi, pliiis,” tukasnya meningkahi serbuan rengekanku. “Mama harus berpikir positif, ya. Kondisi Mama sudah stabil. Tadi kata dokter, siang nanti juga Mama sudah boleh keluar dari sini. Jadi, Mama sabar saja dulu, ya, pliiiis….”
Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Ia berbicara serius, kurasa. Seketika aku baru menyadari bahwa ia sama sekali tak memercayai segala perkataanku.
Ya Tuhanku! Bagaimana mungkin Butet, benteng cahayaku ini, ternyata sekarang tidak mau mendengar perkataanku? Butet yang sejak balita pun telah direpotkan oleh wara-wiri ibunya ini ke rumah sakit, menungguiku sepanjang ditransfusi darah di poliklinik Hematologi. Butet, pahlawanku, mengapa membantahku? Serasa ada yang rubuh di dalam dadaku. Hatiku bak disayat-sayat sembilu. Aku merasa telah dikhianati oleh putriku sendiri!
“Mengapa, Nak, kok tega-teganya tidak percaya sama Mama?”
Air mataku berlinangan, tetapi segera kutahan sekuat dayaku. Aku tak boleh menangis, tak boleh! Nanti Butet semakin tak memercayaiku. Ya, aku harus memunguti serpihan kekuatan yang telah berhamburan, entah di mana.
“Mama sekarang dengerin Butet, ya,” katanya seolah tak mendengarku, sekilas membaca SMS di ponselnya. “Abang sudah datang, sekarang ada di luar. Abang minta gantian masuk. Mama mau ketemu sama Abang, ya kan, Mama sayang?”
Melihat sikapnya yang menarik diri dan tergesa begitu, sungguh menikam kalbuku, dan asa yang sempat kuraih seolah mengabut. Namun, mendengar bahwa abangnya akan menjumpaiku, asa itu kembali hinggap di ujung jari-jemariku.Haaap!
“Iya, ya, minta Abang masuk sini. Tapi Butet janji, ya, nanti balik lagi ke sini.”
Ia mengangguk, perlahan membungkuk, mencium dahiku sekilas, kemudian bangkit. Begitu cepat sosoknya lenyap dari pandanganku. Raja kantuk seketika menggayuti pelupuk mataku. Jangan, teriakku menepisnya, anakku Haekal akan datang!
Sosok itu, seraut wajah persegi dengan sepasang mata milik cucuku itu, kini telah berdiri di hadapanku. Ia tersenyum kebapakan dan menyapaku riang, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Mama, sekarang bagaimana kabarnya, Ma?” tanyanya riang, seolah kami sedang berpapasan di rumah setelah lama tak berjumpa.
“Abang, kenapa baru sekarang datang, Nak?” gugatku, dan tanganku yang tidak diikat lagi, kini bisa menggapai tangannya. “Sini, duduk, Bang, dekat-dekat sama Mama….”
Ia mematuhiku, duduk di kursi bekas Butet, entah sejak kapan perawat berbaik hati menyediakan benda yang seharusnya tabu di ruangan ini. Belakangan kutahu dari cerita Butet, para perawat kewalahan menghadapi “kegilaanku”.
Hatta, aku mengamuk sejadi-jadinya, saat terakhir kali mereka menginjeksikan morphin. Aku berhasil mencabut selang kecil yang menggantung di leher dan menyambung ke lambungku. Seorang perawat yang sedang hamil muda nyaris tersepak perutnya!
“Mama, ngapain pake ngamuk-ngamuk? Kan malu atuh sama si Zein-Zia, Ma. Masak sih nini-nini masih suka ngamuk segala, macam balita saja,” kritikannya dalam nada bercanda.
“Bang, dengerin perkataan Mama, ya,” tukasku tak mau membuang waktu, khawatir diriku kembali kehilangan kesadaran. “Abang jangan seperti Butet, ya. Abang harus percaya sama Mama, pssst, pssst….”
Bla, bla, bla! Kusampaikan segala ketaknyamanan, kezaliman, kesalahan teknis yang telah mereka timpakan terhadap diriku. Pokoknya, kalau terjadi apa-apa, misalkan aku sampai mati, maka jangan mencari bayangan yang tak tampak. Mereka, para dokter dan perawat di ruangan inilah penyebabnya!
Otakku sudah konslet, kurasa. Segala hal yang menakutkan dan mengerikan, mengapa begitu terasa berseliweran di sekitarku?
“Abang percaya sama Mama, ya kan?”
“Percaya, percaya…. Mama sudah sadar sepenuhnya, ya. Mama sebentar lagi juga sehat, kuat dan gagah-gagah,” celotehnya mengingatkanku akan celoteh anaknya, yakni cucuku Zein.
Kalimat favoritnya adalah; “Zein sudah gede, sudah gagah-gagah, tapi orang-orang belum tahu….”
Ah, cucuku! Seorang perawat mengingatkan kami bahwa waktunya sudah habis. Haekal bangkit bersamaan dengan pandanganku yang mulai mengabut. Sebelum sosoknya berlalu dari hadapanku, Raja kantuk itu menyergap diriku tanpa ampun.
Aku terbangun di tengah kebisingan. Agaknya rombongan dokter yang tiap pagi meronda telah tiba di sekitar ranjangku. Ya, sekarang kulihat kembali wajah-wajah “eksekutor” yang pernah mengubek-ubek perutku selama sembilan jam di ruang operasi. Ada dokter senior, tentu guru besarnya, sekilas menanyai dokter Ari.
“Kondisinya sudah stabil, Prof. HB-nya 6,4, trombositnya 70 ribuan dan tensinya 150/100….”
“Kalau begitu, pindahkan ke ruangan!”
“Siap, Prof….”
Kemudian ia menyempatkan tinggal beberapa jenak, mengisi catatan di statusku, sementara rombongannya mulai bergerak ke pasien di sebelah.
“Boleh pindah, ya Dokter?”
“Iya, Bu, sudah boleh pindah ke ruang perawatan.”
“Kalau boleh, aku minta dipindahkan ke lantai 8 kembali, ya Dok.”
“Oh, tidak bisa. Ibu harus ke lantai 5, di sana ada ruang pemulihan.”
“Tapi aku kan pasien Hematologi, pasiennya Profesor Haji….”
“Oke deh, nanti diusahakan, ya Bu.”
Ternyata gara-gara itu pula kepindahanku jadi molor sampai 12 jam! Bagian Hematologi menyatakan bahwa aku sudah bukan pasiennya lagi. Mereka tidak mau menerimaku. Sementara bagian Bedah, entah ada apa dengan sistem kinerja mereka, begitu ribet urusannya. Tidak ada petugas yang menjemputlah, tunggu rekomendasi dokterlah, tunggu buka puasa dulu…, macam-macam lagi!
Namun, otakku mulai ajeg-jejeg, waras. Sehingga aku bisa merekam dengan sangat baik segala hal yang berlangsung di sekitarku. Sepanjang siang itu aku mencoba menyapa dengan ramah para perawat. Hanya satu-dua orang saja yang menyambut sapaanku. Selebihnya seperti sepakat, berlagak tak memedulikanku, dan lebih bagus lagi kalau bisa menghindariku.
Ada apa, ya, seakan aku ini biang kerok yang wajib dijauhi?
Ketika akhirnya aku dikeluarkan dari ruang ICU, sekitar pukul delapan malam, ternyata ada rombongan kecil yang segera menyambutku. Mereka adalah keluargaku; adikku Ry dari Sumedang, Ed dari Cimahi, Rosi, Haekal dan dia, sosok yang pantas disebut khalifah keluarga. Akhirnya! Untuk beberapa saat lamanya air bening bercucuran deras dari sudut-sudut mataku. Ini bukan air mata dukalara melainkan air mata bahagia, terharu nian.
“Heboh, heboooh…, cape deeeeh!” Itulah kalimat terakhir sebagai salam perpisahan yang keluar dari mulut seorang perawat, begitu memindahkanku dari ranjang yang telah kuhuni selama 72 jam ke atas sebuah brankar di luar ICU.
“Maafkan lahir batin, ya Suster, terima kasih,” kataku tak memedulikan sikap sinis dan kesalnya. “Semoga Allah Swt memberkahi Suster dan rekan-rekan….”
Alhamdulillah, ya Allahu Robb, terima kasih tiada teperi atas waktu yang Engkau berikan kepada hamba, gumamku membatin menyertai gerakan brankarku yang mulai meninggalkan ICU. Sungguh, rasa syukur itu telah mengalahkan segala kekecewaan, kekesalan, kesakitan dan dukalara yang seakan tiada bertepi.
Aku telah menempuh suatu perjalanan panjang yang sangat melelahkan, sangat gulita, dan sangat horor. Aku tak ingin mengalaminya kembali. Aku berdoa, semoga rasa sakit itu, penderitaan itu, dan suasana ICU yang mengerikan itu, takkan pernah dialami oleh anak-cucu keturunanku, tetanggaku, sahabatku, sanak saudaraku.
Bahkan musuh-musuhku sekalipun, jangan pernah mengalaminya!