Sewaktu saya kuliah dulu di Fakultas Syariah dan Hukum pada Universitas Islam Internasional Islamabad, ada mata kuliah “الفقه الجناءي” (Fiqh Kriminal Islam). Dosennya orang Mesir. Beliau adalah Professor Abd. Qadir Syahathah, pakar hukum pidana Islam. Salah satu bahasan dalam Fiqh Kriminal Islam itu tentang kafarah yang mirip dengan teori compensation dalam Law of Tort pada hukum Inggris.
Bedanya, kafarah adalah denda yang dituangkan al-Qur’an atas pelanggaran bulan suci Ramadhan, sedangkan compensation adalah denda atas civil wrong yang wajib dibayarkan karena terjadi neglecience (kelalaian) melalui putusan Pengadilan.
Suatu hari, beliau membahas tentang denda sepasang suami isteri yang melakukan hubungan badan di siang hari di bulan Ramadhan. Perbuatan itu termasuk “tindak pidana” tetapi denda dan hak pengampunannya sudah dijelaskan dalam al-Qur’an sehingga manusia tidak boleh berijtihad lagi.
Saya ingat, ada mahasiswa asal Afghanistan yang bertanya, “Prof, bagaimana kalau hubungan badannya dimulai sebelum waktu imsak (waktu halal), tapi baru berakhir setelah adzan shubuh (waktu haram), apakah terkena denda juga?” Prof. Abd. Qadir Syahathah lalu menjawab dengan menjelaskan panjang lebar pandangan para ahli fiqh Islam. Beliau juga menjelaskan kaedah fiqh, اخف الضررين, yaitu tentang dua kemudharatan jika bertemu. Artinya, kalau orang itu tidak tuntaskan hubungan badannya lalu jadi penyakit, maka dia tuntaskan saja. Tetapi padanya tetap ada kewajiban denda.
Rupanya, mahasiswa itu masih kurang puas dengan jawaban Professor tadi, terutama kenapa masih harus bayar denda juga jika sudah masuk kaedah “dua kemudharatan”. Dia lalu bertanya lagi.
Akhirnya, saya lihat Professor Abd Qadir kesal juga, dan bilang (kurang lebih) begini, “Memang pasangan itu dari sore kemana saja sih, hubungan-nya kok baru dimulai menjelang shubuh. Bikin repot kita saja”. 😄
Selamat berpuasa. Ingat, besok kita puasa!
Inayatullah Hasyim