Mengenang Sahabat Buruh Migran yang Berpulang
Oleh : Pipiet Senja
Anno 17 April 2020
Dinihari saat terbangun untuk sholat lail, terdengar pesan masuk. Ketika dibuka mendadak hatiku serasa lungkrah. Sesak. Bagaimana tidak, tiga sahabat yang terbilang pernah dekat telah dipanggil oleh Sang Khalik.
Dari Okti Li, sahabat pahlawan devisa Taiwan. Innalilahi wainnailaihi rajiuun. Dunia buruh migran berduka. Teman seperjuangan dalam menyuarakan keberpihakan, kepada buruh migran dan keluarganya telah pergi untuk selamanya.
Pertama kemarin Bu Nisma Abdullah di Bekasi. Lalu tadi siang Teh Ratu Bilqis di Subang. Dan barusan ada info dari Mas Hariyanto Suwarno, kalau Mbak Estu juga telah meninggal dunia. Semoga semuanya husnul khatimah. Doa kami selalu bersama, seperti halnya doa dan perjuangan kita yang tanpa lelah semasa hidupnya, untuk mengangkat kaum marjinal mau bersuara.
Saya mengenal kaum buruh migran di Hong Kong bersama Dompet Dhuafa Hong Kong. Kami berinteraksi hingga membuat buku karya bersama Surat Berdarah untuk Presiden.
Banyak kenangan manis bersama mereka. Takkan pernah terlupakan. Sebagian sudah bagai kepada anak sendiri, seperti Ida Raihan. Sampai mendapatkan jodohnya. Kini ia sudah aman sejahtera, bersama suami dan seorang anak di Surabaya.
Ya Allah semoga kalian jumpa di jannah_Nya. Saya menyaksi kalian sosok sosok yang baik dan solehah.
Tentang Ratu Bilqis, nama aslinya Neneng. Kami jumpa sebagai sesama relawan Dompet Dhuafa Hongkong, 2010. Setiap malam Rabu, dia suka sengaja menginap di DD, menemaniku.
“Pijit ya Teteh,” katanya selalu ramah dan sopan khas mojang Parahiyangan.
“Gak biasa dipijit. Tapi bagian kaki kaki memamg kaku-kaku. Habis keliling shelter dengan Ustad Ghofur,” sahutku sambil selonjoran.
“Ajari aku menulis, ya Teteh,” selalu begitu setiap kelar urusan pijit sayang.
Dia membuka laptopnya, memperlihatkan tulisannya yang teranyar. Aku pun akan mencermatinya, mengkritisi dan sekaligus editing.
“Sudah nih, Teteh. Cerpen ini bagusnya diapakan?”
“Posting saja di akunmu. Sudah bagus, dramatiknya dapat juga karakternya. Paling tinggal setting atau latarnya lebih didetailkan.”
Kemudian kuberikan buku memoar yang sengaja kubawa ke Hongkong. Dia pembelajar yang baik. Tinggal disemangati agar lebih percaya diri dengan karyanya sendiri. Dialah yang pertama kali memanggilku Manini. Kadang diplesetkan jadi Maninong. Kemudian diikuti oleh Ryan dari Taiwan.
Tibalah masa Pilpres 2014. Terjadi gelombang dahsyat yang memecah belah kami. Sejak itulah saya sengaja jaga jarak dari sahabat BMI. Postingan saya yang pro PS membuat mereka marah. Karena mayoritas nereka pendukung lawan PS.
Demikian pula setelah 5 tahun berlalu. Pilpres 2019 semakin kencang angin bertiup. Banyak muridku beralih jadi memusuhi. Bukan saja dengan status sindiran melainkan sudah mengarah ke hujatan.
Sudahlah, aku memutuskan ganti akun baru. Tepatnya akun lama habis dihacker dan dibanned. Entah oleh siapa. Meskipun demikian, kadang aku memantau kegiatan eks para pahlawan devisa. Mereka yang sudah pulang, melanjutkan perjuangan di kampung masing-masing.
Neneng, alhamdulillah perjuangannya semakin bagus. Sudah punya lahan perkebunan yang sukses memaknurkan warga sekitarnya. Meskipun beda pilihan ia tak pernah menghakimiku. Tetap menghargai dan menjawab tegur sapaku.
“Ayo, Manini datanglah ke sini ada 3 cucu nih….”
“Insya Allah. Rencananya mau lebaran di Subang, rumah adikku. Saling mendoakan agar dimudahkan dàn diberkahi.”
Demikianlah dialog terakhir kami. Ternyata Gusti Allah berkehendak lain. Engkau menghadap-Nya lebih dahulu.
Selamat jalan, Neng. Semoga kelak kita diperjumpakanNya. Al Fatihah.