Malam Horor dan Semesta Cinta
Oleh : Pipiet Senja
Anno 14 April 2020
Mari kita mengingat mati sejenak di tengah hiruk pikuk wabah viruschina. Seperti Anda tahu, saya penyintas Thallasemia sejak kecil wajib ditransfusi secara berkala. Ada banyak peristiwa dukalara, harubiru sampai nostalgia gila, sepanjang menyandang takdirku sebagai orang penyakitan.
Kali ini aku pilih cerita kocak, koplak dan kacau balau yang berujung ngakak. Anehnya ngakak sambik bercucuran airmata. Tak percaya? Ikuti sajalah begaimana urusannya, eh, urusanku di sekitar UGD RSCM. Ini kejadiannya awal tahun 1990.
Nah, hari itu aku harus transfusi. Sedang hamil 7 bulan anak kedua, Butet, dengan HB 6 % gram. Awalnya aku ditaruh di satu kamar UGD. Karena mbludak dengan pasien keracunan biskuit, banyak yang parah. Bahkan satu dua orang langsung ”game over”, begitu aku baru masuk 5 menitan. Serius, kasihan banget!
Karena kian padat kamarnya, dan bau desininfektan yang sangat mengganggu, aku dipindah keluar alias di lorong.
“Mana suaminya?” tanya seorang koas perempuan, memeriksa tensi dan denyut nadi.
“Ambil darah ke PMI Pusat,” jawabku.
“Oh, sabar ya Bu, sabar.”
“Apa bisa pindah ke ruangan saja, dok?”
“Sedang diusahakan. Menunggu pasien pulang dulu.”
Ini sudah jam delapan malam. Artinya ditaruh di lorong sudah 8 jam. Siang tadi ditahan dokter Hematologi karena HB dianggap rendah. Membahayakan bayi dalam kandungan.
Jam demi jam dan menit demi menit terus berlalu. Mulai mengantuk, jadi kututup saja mukaku dengan mukena yang selalu kubawa bawa. Plaaaaaas, entah berapa lama ketiduran. Tahu tahu baru kurasakan brankarku bergerak, didorong orang. Syukurlah, mau dibawa ke ruangan, pikirku. Kuping mulai kupasang, meski mukena masih menutup seluruh mukaku.
“Ini pasien kurang darah, lagi bunting. Kasihan banget ya. Gak ada yang dampingin, ” petugas yang mendorong brankar di depan kudengar bicara.
“Suaminya belum balik lagi dari PMI. Iya ya, kasihan banget. Gak tahan juga akhirnya,” Petugas yang dorong di belakang menyahut.
“Psssst, orang bilang kalau perempuan bunting mati, bisa jadi kuntilanak loh!”
“Iya ya, ini mana malam Jumat lagi.”
Aura horor mendadak menguar di sekitarku. Malangnya aku baru konek! Astaghfirullahal adhim. Mereka mengira aku sudah mati, eaaaa? Perlahan aku mengintip keluar. Aduuuh, ternyata tepat di depan Kamar Mayat?!
Seketika kusingkap mukena, bangkit sambil teriak:”Woooooi, jangan masuk ke Kamar Mayat. Gua belum mati, tauuuuuk!”
Dua perawat cowok, belakangan kutahu mereka masih siswa, bukannya segera eling dengan kesalahannya. Eeeh, ndilalah, mereka malah kompak ngaciiiir! Tinggal aku celingukan duduk di atas brankar tepat di depan Kamar Mayat. Kubayangkan andai brankar rodanya tak ajeg. Dipastikan bakal menggelinding ke lorong bawah sana.
Bayangkan saja, Brow! Betapa gemetar sebenarnya daku saat itu. Suasana lorong depan Kamar Mayat gelap, ngeri ngeri gitulah. Mana Maljum pula, hadeeeeeh. Bersyukurlah kurasai ada Malaikat yg meneguhkan hati dan imanku, cieeeee.
Aku bergeming, gak mau gerak sedikit pun. Masih cengo saja memeluk mukena, duduk dengan anggunnya di atas brankar. Kamar Mayat!
Kutunggu beberapa menit. Akhirnya kedua siswa perawat kembali menyambangiku. Mereka sampai ampun ampunan minta maaf.
“Salah ambil, Bu, maafkan ya, maafkan.”
“Iya, aturan yang di brankar sebelah Ibu.”
“Tolong jangan bilang siapa siapa, ya Bu, pliiiiis.”
Iyalah, ngapain bilang siapa siapa? Mending ditulis dan dibukukan sajalah : Dalam Semesta Cinta.