Dokter, BPJS, dan Konspirasi Bisnis Kesakitan
Tifauzia Tyassuma (Dokter, Peneliti, Penulis)
Sebagian masyarakat melihat Dokter (Indonesia) dengan rasa benci tetapi rindu. Dibenci namun dibutuhkan. Dibenci karena suka nyebelin, arogan dan irit bicara. Dibutuhkan karena kejelasan ilmu yang berbasis bukti dan pertanggungjawaban ilmiahnya jauh lebih jelas dibandingkan praktek ala Ningsih Tinampi.
Terutama dalam era BPJS, dimana Dokter menempati peran sentral, sebagai Penyembuh di Rumah Sakit bagi pasien yang datang berduyun-duyun, dengan akses kartu asuransi kesehatan termurah di dunia, mereka bisa sakit apa saja. Masyarakat tidak tahu, bahwa (sebagian besar) Dokter, karena BPJS ini, menjadi korban kedua. Korban pertama? Adalah rakyat sendiri. Keduanya, Dokter dan Rakyat menjadi korban dalam dua aspek. Aspek delutif dan aspek sistem.
Rakyat dengan BPJS, merasakan eforia karena merasa sakitnya terjamin. Banyak rakyat bertestimoni bahwa dengan BPJS, operasi dengan biaya ratusan juta, terbayarkan secara gratis. Banyak hemodialisis, cuci darah yang biayanya ratusan juta, bisa dilayani dengan gratis. Banyak kemoterapi yang memakan biaya puluhan juta sekali kemo, dibayarkan BPJS dan menjadi gratis. Tak terhitung jumlah pemasangan stent jantung, operasi katarak, Sectio Caesaria, dan segala macam operasi dengkul, tulang lunak maupun keras, tumor, dan sebagainya, terbayarkan secara gratis.
Mereka tidak tahu, dengan akses lebar dari BPJS, Dokter bekerja dari pagi hingga pagi. Jam kerja Dokter di seluruh Indonesia, dalam lima tahun terakhir ini, memanjang secara drastis. Jadwal Dokter yang sudah tidak manusiawi, dengan efek usia harapan hidup yang rata-rata lebih pendek dibandingkan manusia lain, menjadi jauh memanjang lagi seperti karet gelang diulur panjang.
Salah seorang sahabat saya, Dokter klinis penanggungjawab Hemodialisis, mengatakan, bahwa dulu sebelum BPJS, selesai praktek sore dia masih bisa dansa, hangout dengan suami, dan anak-anak, dan ngopi dengan teman-teman. Sekarang, dia pulang dalam keadaan rumah sakit sudah gelap gulita, pintu-pintu sudah ditutup, dan yang masih terjaga hanya satpam. Sementara selesai subuh dia harus kembali datang untuk menunaikan tugas. Tak saya bayangkan, betapa pendek jam tidur sahabat saya itu.
Dan cerita sahabat sejawat saya di atas sama dengan ribuan cerita dokter yang lain, terutama setelah BPJS. Sementara, tahukah rakyat, bahwa jasa medis Dokter dan Paramedis, ditunggak BPJS hingga 7-8 bulan lamanya? Dengan jasa medis yang sangat rendah, bahkan Dokter Umum dihargai sama dengan biaya kencing di toilet umum. Terus terang saja, (sebagian besar) Dokter menjadi korban. Kerja rodi ala Daendels terjadi di era BPJS ini.
“Lalu dengan segala kemudahan BPJS bagi rakyat, kenapa Dokter Tifa mengatakan rakyat juga korban?” tanya salah seorang pasien saya. Karena rakyat, tanpa sadar, terjebak dalam budaya konsumerisme BPJS. Dengan kartu BPJS, rakyat merasa aman menjadi sakit. Dan ini menimbulkan budaya baru, yang saya sebut “Illness Euphoria”. Kegembiraan menjadi sakit. Dan budaya baru ini merusak luar biasa hakikat kesehatan yang akan tertanam puluhan ratusan tahun lamanya, berkembang menjadi budaya baru manusia Indonesia, Sickness Lifestyle.
Senarai dengan hal itu, saat ini rakyat Indonesia juga dibombardir dengan budaya makan baru hasil kemajuan online. Dapur dan restoran kini berterbangan di udara, diantar dalam hitungan menit oleh gofood dan grabfood. Sementara di jalanan, budaya ngopi dan mie instan merebak luarbiasa. Apalagi setelah mie instan naik kasta yang dulu hanya warmie pinggiran dengan harga Rp 8000an kini dijajakan di resto milenial dengan tambahan mozarella dan pedas taichan dan berharga Rp 25.000-Rp 35.000. Restoran itu kini diakuisi oleh raksasa makanan Indofood dengan harga triliunan. Belum lagi budaya mukbang, alias makan banyak dengan simbol selebgram dan influencer yang tak segan mendemokan cara makan dengan nganga mulut luar biasa lebar untuk menyantap nasi setampah atau bakso beranak sebesar 2 kg.
Saya membayangkan bahwa tak lama lagi, dampak ngopi-ngopi manis, mie instan naik kasta, mukbang, ini akan segera menyabang-merauke, dan dampaknya adalah: pasien diabetes, kanker, stroke, penyakit jantung, mental health, anak autis dan ADHD akan ada di setiap pintu rumah di Indonesia.
“Konspirasinya ada di mana, Dokter Tifa?”
Dalam dunia perdagangan, retail selalu menang banyak. Untung sedikit tetapi pasar besar. Itulah mengapa BPJS, walau dipromosikan sebagai Asuransi Kesehatan paling murah sedunia (ironisnya yang promosi adalah para Dokter sendiri yang dihargai murah), akan menjadi jagoan dalam bisnis retail asuransi, dan itulah sebabnya dipertahankan oleh negara.
Perlindungan undang-undangnya, jaminan talangan dana oleh negara, iuran dan kepesertaan yang diwajibakan bagi seluruh rakyatnya, membuat negara secara ironis menjadi Kaisar Nero bagi rakyatnya sendiri. Rakyat dibiarkan sakit, untuk kemudian menjadi konsumen BPJS yang diwajibkan. Tak ada regulasi dan perlindungan sedikitpun terhadap kesehatan rakyat, dengan undang-undang yang mengatur Makan Sehat dan Hidup Sehat, selain slogan Germas yang mediocre.
Bahkan Menkesnya pun mendemokan makan sehat adalah: makan nasi putih dengan ayam goreng tempe tahu goreng dan krupuk di “Kantin Sehat Kementerian Kesehatan”. Padahal masyarakat awam pun sudah banyak yang tahu, nasi putih tidak sehat karena hanya gula dengan indeks glikemik tinggi, lauk yang digoreng itu karsinogenik dan lemak jenuh trans fatnya pecah, dan krupuk selembar itu kalorinya 200. Kan amsyong.
Sementara ini, berita besar-besaran terbaru adalah bahwa ditemukan penyebab defisit BPJS yaitu:
Praktek-praktek markup dan mafia yang dilakukan oleh Dokter jantung, Dokter Kandungan, Dokter Mata, dan dokter-dokter lain. Sementara Praktek Pengobatan Alternatif yang yang dilakukan Dokter Radiologi yang memerankan diri menjadi Dokter Bedah Saraf, berperan sebagai Dokter Praktek tanpa ijin praktek dengan menarik bayaran mahal kepada pasien-pasiennya malah dilindungi dan dipuja-puja.
Mafianya sendiri siapa? Karena BPJS, bisnis rumah sakit menjadi bisnis yang menggiurkan. Karena BPJS lah, bisnis rumah sakit kecil kandas dilibas oleh utang kredit bank dan tunggakan BPJS yang (sengaja) tidak dibayarkan. Bisnis rumah sakit (modal besar/group PMA), justru dengan era BPJS ini menjadi bisnis kelas kakap. Dari mana sumber uang besarnya? Dari mana lagi kalau bukan dari: obat, tindakan medis, kemoterapi, hemodialisis, alat kesehatan, pemeriksaan laboratorium, kateterisasi, pemeriksaan penunjang pencitraan USG, EEG, MRI, MRA, DSA, CT Scan, dan sebagainta yang itu semua akan dibayar oleh BPJS, walau menunggak tetap dibayarkan. Rumah sakit besar dengan modal besar tak mempermasalahkan BPJS menunggak karena mereka punya dana talangan besar dari Bank yang notabene satu group dengan mereka.
Lalu mengapa BPJS bisa murah? Ya 267 juta orang menjadi peserta yang diwajibkan. Itu dana besar sekali. Dan yang menggunakan secara algortima akan hanya 20% saja dari seluruh rakyat. Lalu kenapa defisit? Ya tanya saja sama rumput yang bergoyang.
Lalu mengapa Rumah Sakit malah jadi makin untung bisnisnya? Ya kan harga obat-obatan, kemoterapi, alat kesehatan, pemeriksaan lab, reagen, pemeriksaan penunjang segala macam yang hasilnya foto-foto itu tetap sama saja dibayar pakai BPJS, asuransi swasta atau dari kantong pasien sendiri. Bisnis retailnya ya di situ. Semakin pasien BPJS bertumpuk-tumpuk, seperti toko yang pengunjungnya berjubel, maka semakin banyak jualannya toh?
Antrian pasien BPJS yang mengular tangga itu, duit besar buat rumah sakit dengan modal besar. Disaster buat rumah sakit dengan modal kecil, yang tidak punya bargaining power bagus dan modal cekak. Antrian pasien yang mengular itu kerja rodi bagi Dokter dan Paramedis. Sudah jasa medis murah semurah biaya parkir, ditunggak pula bayarannya.
Jadi jikalau anda pebisnis Rumah Sakit dan anda paham cara menjalankan fraud secara kartel, maka rumah sakit anda akan berjaya. Ada caranya itu. Bergurulah pada ahlinya. Oleh karena bila anda perhatian baik-baik, suara-suara Dokter terbelah. Suara-suara IDI terbelah. Propaganda Menkes, Direksi BPJS, dan Pemerintah pun (sengaja) dibelah.
Direksi BPJS mengatakan bahwa defisit BPJS terjadi karena rakyat tidak membayar iuran. Menteri Kesehatan bilang bahwa ada mafia Para Dokter yang menghabiskan dana BPJS. Presiden dan Menkeu setuju keduanya. Pokoknya, dalam agama BPJS, yang tidak punya iman adalah Rakyat dan Dokter. Yang tidak punya dosa adalah Menkes dan Direksi BPJS, mereka boleh berbuat apa saja semaunya.
“Kok bisa menarik mahal biaya terapi cuci otak? Apa tidak melanggar BPJS?”
“Melangggar apanya? Kan pasien saya bayar sendiri, ndak pake BPJS”
Jadi, ndak salah toh? salah sendiri mau dicuci otak.
Begitulah praktek cuci otak sekarang. Tidak menggunakan alat, tetapi menggunakan kekuasaan dan media. Akan semakin masif dan ortokratik. Tak heran saat ini, group rumah sakit bermodal besar, juga group-group asing ramai-ramai bikin rumah sakit hingga jauh ke pelosok kabupaten bahkan Kecamatan.
Apa artinya? Di masa musim dingin hebat akan mulai terjadi, rakyat saat ini dalam kondisi taraf kesehatan yang sesungguhnya makin memprihatinkan, hari demi hari. Tak ada kaum yang bisa merubah nasibnya, selain kaum itu sendiri mau merubah dirinya, kata Kitab Suci. Semoga rakyat Indonesia tergugah dengan tulisan ini.