Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Univ. Djuanda Bogor)
Dalam salah satu haditsnya, Rasulallah SAW diriwayatkan pernah berkata, “Aku adalah sumber ilmu pengetahuan, dan Ali adalah pintu masuknya”. Sebagian besar ahli hadits mengatakan, hadits itu lemah (dhaif), namun demikian, bahwa Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai pribadi yang cerdas adalah hal yang umum diketahui oleh para sejarawan Islam. Pada tulisan singkat ini, saya ingin menggambarkan kisah-kisah yang menunjukan kecerdasan Ali bin Abi Thalib, khalifah ke-empat setelah kematian Rasulallah SAW.
Berikut adalah beberapa kisahnya:
Ali bin Abi Thalib versus Yahudi
Suatu hari, Ali bin Abi Thalib berjalan melewati sebuah perkampungan, ia mendapati baju perangnya yang hilang tengah dipegang oleh seorang Yahudi. Dengan santun, Ali mengatakan kepada Yahudi tersebut: “Ini adalah baju perang milikku yang telah hilang”.
Yahudi itu menjawab, “Tidak, ini adalah milikku, kau mengatakan seperti itu karena kau seorang penguasa”.
Ali berkata, “Tidak, dugaanmu keliru. Lebih baik kita mencari keadilan di pengadilan dan memutuskan siapa di antara kita yang benar”.
Ali dan Yahudi itu kemudian menuju pengadilan. Qadhi Syuraih bertindak selaku hakim (qadhi). Syuraih adalah salah seorang murid Ali bin Abi Thalib. Setelah melihat hakim, Yahudi itu merasa bimbang dan ragu, pasti hakim akan memihak pada Ali bin Abi Thalib dan mengalahkannya, pikirnya.
Lalu Qadhi Syuraih memulai persidangan, ia berkata kepada Ali: “Wahai amiril mukminin perkara apakah yang akan engkau adukan?” Ali pun menjawab, “Pertama, jangan panggil aku “amirul mukminin” di ruangan ini sebab aku adalah pihak yang tengah bersengketa. Kedua, orang ini telah menguasai baju perangku secara tidak hak”.
Yahudi pun berdalih, “Hendaklah bagi yang menggugat mendatangkan bukti”.
Qadhi Syuraih pun mengatakan kepada Ali, “Apakah saudara memiliki bukti yang menyatakan bahwa baju perang itu memang benar milik saudara dan Yahudi ini menguasainya secara tidak hak?” Ali menjawab: “Wahai hakim yang mulia, baju perang itu benar milikku. Itu merupakan pemberian Rasulullah SAW.”
Qadhi Syuraih bertanya kembali: “Apakah saudara memiliki saksi yang menguatkan bahwa baju perang ini benar milik saudara?”
“Ya, aku mempunyai dua saksi. Saksi pertama, adalah pekerjaku, dan saksi kedua adalah anakku Hasan”, jawab Ali dengan mantap.
Tapi hakim berkata dengan tegas: “Kesaksian mereka berdua tidak dapat diterima!”
“Adakah cucu Rasulullah saw seorang penipu hingga kesaksiaanya tidak dapat diterima?”, jawab Ali terkejut.
“Sama sekali tidak. Namun Hasan adalah anakmu, dan seorang anak tidak boleh menjadi saksi bagi ayahnya dalam situasi seperti ini. Juga pekerjamu itu, tidak sah kesaksiannya, karena ia bekerja denganmu dan sudah termasuk bagianmu”, kata Qadhi Syuraih menjelaskan.
Lalu Ali berkata, “Sekarang aku sudah tidak memiliki saksi lagi yang dapat membuktikan bahwa baju perang ini adalah milikku”.
Qadhi Syuraih pun mengatakan di hadapan keduanya: “Demi menjunjung tinggi hukum dan keadilan, baju perang ini adalah milik Yahudi.”
“Jadi baju perang itu milikku?” kata Yahudi seakan tidak percaya terhadap keputusan hakim.
“Iya benar. Baju perang ini adalah milikmu”, jawab Qadhi Syuraih dengan tegas.
Yahudi bingung dan tidak percaya akan hal yang sedang dialaminya. Ia bergumam: “Bagaimana mungkin keputusan hakim ini berpihak kepadaku? Padahal aku berada di pihak yang salah dan Ali bin Abi Thalib ada dipihak yang benar dan ia benar-benar pemilik baju besi ini, selain itu ia juga adalah seorang amiril mukminin.”
“Berarti aku bisa membawanya kembali dan ini adalah milikku?” kata Yahudi untuk memastikan putusan hakim.
“Iya benar, ambillah baju besi ini dan kembalilah, karena engkau adalah pemiliknya yang sah di mata hukum.” Jawab Qadhi Syuraih meyakinkannya.
Lalu Yahudi tersebut memandangi Imam Ali dan berkata: “Wahai amirul mukminin ini adalah keputusan hakim dan ini adalah milikku.”
“Iya benar, ini keputusan yang seadil-adilnya dan baju besi itu adalah milikmu”, balas Ali.
Namun, ternyata Yahudi itu tidak kunjung beranjak dari ruang sidang. Sembari memandangi wajah hakim, ia berkata: “Ketahuilah wahai hakim, baju perang ini sesungguhnya adalah milik amiril mukminin Ali bin Abi Thalib dan aku telah mencurinya”.
Lalu ia berpaling kepada Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Wahai amirul mukminin, ulurkan tanganmu”. Ali pun mengulurkan tangannya. Sambil menjabat tangan Ali, Yahudi itu mengucapkan, “Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah”.
Genapkan Warisan
Konon, ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, ada sengketa warisan. Seseorang meninggal dengan harta warisan 17 ekor unta. Penerima warisannya ada tiga orang. Satu ahli waris berhak atas setengah harta, satu lainnya berhak sepertiga, dan satu lainnya berhak atas sepersembilan. Mengingat harta warisannya hanya 17 ekor unta, maka pembagiannya menjadi rumit. 1/2 dari 17 adalah 8.5; 1/3 dari 17 adalah 5.6 dan 1/9 dari 17 adalah 1.8.
Mereka lalu datang pada Ali, dan meminta jalan penyelesaiannya. Ali lalu menambahkan seekor unta, seraya berkata: “Kini harta warisan kalian menjadi 18. Bagilah, tetapi nanti setelah selesai, kembalikan untaku”. Mereka terheran-heran namun tetap membaginya: 1/2 dari 18 = 9 ekor. 1/3 dari 18 = 6 ekor dan 1/9 dari 18 = 2 ekor. Hah!, total unta yang dibagi ternyata 17 saja.
Kasus Satu Dinar
Suatu hari, seorang wanita datang kepada Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saudaraku meninggal dengan meninggalkan warisan 600 dinar, aku cuma kebagian satu dinar. Tidak adil sekali.”
Ali terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku yakin saudaramu meninggalkan seorang isteri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara laki-laki dan engkau satu-satunya saudara perempuan”. Wanita itu tersenyum dan berkata, “Engkau benar.” “Jika demikian, sudah adil. Pergilah.” Ya, sebab pembagian warisnya adalah berikut ini: Isteri: 1/8 = 75 dinar. Ibu: 1/6 = 100 dinar. Dua anak perempuan: 2/3 = 400 dinar. Dua belas saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan = sisa warisan = 25 dinar dan dibagi berdasarkan ketentuan laki-laki dua bagian, dan perempuan satu bagian. Maka, perempuan itu hanya mendapatkan satu dinar. Sejak itu, peristiwa ini dikenal sebagai “Kasus Satu Dinar.”
Protes Warga
Konon, suatu hari Sayyidina Ali bin Abi Thalib diprotes warganya. Kata warga itu, “Di zaman Umar sedikit sekali aksi kejahatan dan pencurian. Di zaman Anda kok mulai banyak?” Ali menjawab, “Sebab di zaman Umar, masyarakat yang dipimpinnya itu seperti aku. Sekarang aku harus memimpin masyarakat seperti Anda”.
Menasehati Umar bin Khattab
Suatu hari, saat menjadi khalifah, Umar bin Khattab memanggil seorang wanita untuk menghadap ke istana. Wanita itu dalam keadaan hamil muda. Demi mendengar bahwa dia dipanggil oleh seorang Umar bin Khattab, pemimpin yang sangat tegas, wanita itu pun mengalami keguguran akibat rasa takut dan cemas.
Keadaan itu kemudian disampaikan kepada Umar bin Khattab. Lalu, Umar mengumpulkan para sahabat Nabi lainnya, dan bertanya, apakah dirinya patut dianggap bersalah sebab surat panggilannya telah menyebabkan seseorang mengalami keguguran. Para sahabat mengatakan, tidak ya Amirul Mukminin. Umar masih tak puas. Dia pun bertanya pada Ali bin Abi Thalib, “bagaimana pendapatmu, wahai Abu Hasan?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “kau terkena denda”. Maka, Umar pun “dihukum” sesuai ketentuan agama, yaitu membayar denda layaknya hukuman “pembunuhan tidak sengaja”. Ambillah unta-untaku dan bagikan kepada keluarganya, kata Umar.
Ahli Dunia dan Akherat
Seseorang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, “Bagaimana untuk mengetahui seseorang itu “ahli dunia” atau “ahli akherat”?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Jika ada dua orang (tamu) datang, satu orang (tamu) membawa hadiah, dan satu lagi meminta sedekah. Bila hati tuan rumah lebih condong pada pembawa hadiah, maka dia termasuk ahli dunia. Apabila hati tuan rumah lebih condong pada orang yang meminta sedekah, maka dia termasuk ahli akherat.
و ما طلب المعيشة بالتمني* وَلَكِنْ أَلْقِ دَلْوَكَ مع الدِّلاَءِ
تجئك بملئها يوماً ويوماً * تجئك بحمأة وقليل ماءِ
Tidaklah pantas seorang mencari kehidupan dengan angan-angan * tetapi lemparkanlah embermu (ke dalam sumur) dengan susah payah
Suatu hari, boleh jadi kau dapatkan ember itu penuh air * Di hari lain penuh lumpur dan sedikit air
للموتِ فينا سهامٌ غير خاطئة * من فاتهُ اليوم سهم لم يفته غدا
Kematian bagai anak panah yang tak pernah keliru ** Dia yang selamat dari anak panah hari ini, esok tak akan meleset lagi.
Demikian beberapa kisah dari Ali bin Abi Thalib, sahabat sekaligus menantu Rasulallah SAW. Semoga bermanfaat.
.