Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Univ. Djuanda Bogor)
Pada perang Hunain, suku Hawazin menyerah, sedangkan suku Tsaqif melarikan diri ke Thaif. Di kota itu, terjadi ketegangan selama dua puluh malam. Suku Tsaqif mengutus para tokoh untuk menemui Rasulallah ﷺ agar membebaskan tawanan wanita dan mengembalikan harta mereka.
Di antara delegasi itu, Rasulallah ﷺ melihat wajah seorang wanita yang memperkenalkan diri sebagai “saudaranya”. Ya, dia adalah anak perempuan Halimatus Sa’diyah, ibu susu Rasulallah ﷺ. Kepadanya, Rasulallah ﷺ menyambutnya dengan hangat dan menghamparkan tikar untuknya. Rasulallah ﷺ bahkan memenuhi permintaannya, yaitu seluruh tawanan wanita dibebaskan dan harta pampasan perang dikembalikan.
Keputusan Rasulallah ﷺ mengejutkan para sahabat, terutama orang-orang dari Madinah. Mereka mulai terhasut bahwa Rasulallah ﷺ memihak pada masyarakat Mekkah, tanah kelahirannya. Untuk apa bersabung nyawa, menggadaikan leher di kilatan pedang, jika pampasan perang dikembalikan pada kaumnya sendiri?
Suara-suara sumbang semakin santer terdengar terutama saat Rasulallah ﷺ terlihat memberikan juga kepada Ikrimah, anak Abu Jahal, bagian dari harta pampasan perang.
Sampai disitu, Rasulallah ﷺ tetap menahan diri sampai ketika Saad bin ‘Ubadah datang menghadap Rasulallah. Seakan protes, Saad berkata, “kemenangan ini bertumpu pada orang-orang anshar Madinah, tetapi mereka telah dibuat kecewa hatinya dengan pembagian harta pampasan perang. Engkau bagikan pampasan perang pada kaummu sendiri, sementara Anshar tak mendapat apa-apa”
“Kemana arah pembicaraanmu, Saad?” tanya Rasulallah ﷺ.
“Aku ini penyambung lidah kaumku, ya Rasulallah!”
Rasulallah ﷺ kemudian mengumpulkan seluruh kaum Anshar Madinah. Dengan suara bergetar beliau ﷺ berkata, “Wahai anshar, tidak relakah kalian jika orang-orang itu kembali ke rumah mereka dengan membawa isteri, budak dan harta mereka sendiri. Sedangkan kalian kembali ke Madinah dengan (membawa) Rasulallah? Demi Allah, seandaianya orang-orang berjalan di suatu bukit, dan kaum Anshar berjalan di bukit yang lain, niscaya aku berada dalam barisan yang dilalui orang-orang Anshar itu”.
Para sahabat asal Madinah itu terdiam, lidah mereka kelu. Mata mereka menjadi telaga yang mengalirkan airmata. Mereka menangis tersedu-sedan. Sebagian tangis mereka bahkan membasuhi janggutnya. Mereka telah salah mengira maksud Rasulallah ﷺ sebab tak lama setelah itu, para pemuka suku Bani Tsaqif dan pengikutnya menyatakan keislamanannya.
Saudaraku, tsiqah pada qiyadah adalah keniscayaan dalam dakwah.
Wallahua’lam bis showab