Oleh : dr. Sigit Setyawadi
Saat itu saya masih mahasiswa, antara 1975-1980. Menjelang hari raya, pembantu yu Reni kakak saya yang dipanggil mbok, pamit pulang ke kampung. Dia menitipkan perhiasan emasnya ke kakak saya. Kakak saya menanyakan mengapa perhiasannya tidak dipakai selama lebaran di kampung? Bukankah itu akan membuat mbok bangga.
Jawaban mbok luar biasa, dan selanjutnya saya pakai sebagai pedoman hidup saya. Dia menjawab dengan bahasa Jawa, tetapi bahasa Indonesianya begini : “Kalau saya yang memakai, meskipun emas asli, akan dianggap imitasi. Sebaliknya kalau jeng yang pakai (beliau memanggil kakak saya jeng), imitasipun akan dianggap sebagai asli”.
Kalimat itu terus mengiang di telinga dan semakin lama semakin terbukti kebenarannya. Bukan apa yang dipakai tetapi siapa yang memakai itu yang paling penting. Jack Ma bahkan mengatakan : “Kalau kamu tidak punya uang, kata kata motivasimu akan terdengar seperti kentut. Kalau kamu memiliki banyak uang, kentutmu bahkan bisa memotivasi”.
Saat menjadi dokter umum di Puskesmas Kerek, saya sudah dianggap paling kaya oleh teman-teman, karena pasien saya memang sangat banyak. Kalau hari Senin sekitar 100 orang, hari lain 50-an. Suatu saat kacamata saya tertinggal di Dinas Kesehatan Tuban (saat itu masih menjadi satu dengan Rumah Sakit). Saya sendiri sudah lupa dengan kacamata itu karena itu kacamata murahan, 10 ribu dapat 3. Ketika saya berkunjung lagi ke sana, kepala kantor pak Eko menemui saya membawa sebuah bungkusan. Rupanya ada karyawan yang menemukan kacamata itu dan tahu itu milik saya. Pak Eko mengatakan kepada stafnya kalau milik pak Sigit pasti mahal, jadi mereka simpan dengan hati-hati. Ketika saya katakan bahwa ini kacamata 10.000 dapat tiga, beliau tidak percaya dan menganggap saya bergurau.
Begitulah kehidupan saya, tidak pernah aneh-aneh. Baju dan celana juga yang murah-murah. Celana pendek untuk di rumah sama dengan yang dipakai sopir mertua. Ibu mertua saya yang suka sewot kalau saya memakai celana atau kaos yang sama dengan yang dipakai sopir.
Sampai menjadi spesialispun, kacamata baca masih saya beli di pinggir jalan. Semua menganggap itu mahal, kecuali orang yang ahli tentunya. Suatu saat, ketika kontrol pasca melahirkan, pasien saya yang pemilik toko kacamata memberi saya hadiah kacamata baca. Dengan serius beliau mengatakan :”Dok, saya yang malu melihat dokter pakai kacamata 10 ribuan”. Rupanya beliau tahu nilai kacamata saya. Saya yang pakai, dia yang malu. Yang salah siapa ya?
Bu Wati lebih gila lagi. Sewaktu di Batu, beliau biasa saja naik angkot maupun ojek. Suatu hari naik angkot turun di depan klinik saya. Kondektur teriak rumah sakit dokter Sigit dan mengira isteri saya akan periksa. Padahal dialah pemiliknya.
Bagitulah, kami beranggapan bahwa apapun yang kami pakai akan nampak mahal, meskipun sebenarnya murah. Itulah perasaan kaya yang sesungguhnya. Tidak perlu harus mengada-adakan supaya dianggap kaya. Karena percuma saja, bawah sadar kita akan memvibrasikan kondisi kita yang sebenarnya.
Secara keuangan, orang kaya hidup dibawah standard kemampuannya, sehingga bertambah kaya. Sedang orang miskin hidup diatas kemampuannya sehingga bertambah miskin.