Oleh: Tatak Ujiyati
Berita Harian Republika 16 November 2019 berjudul “DKI Tata Kawasan Sunter Jaya Bebas Banjir” menggambarkan dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di Sunter Barat. Tidak terjadi penggusuran paksa, sebagaimana diramaikan di medsos. Mayoritas warga yang menduduki secara illegal tanah Pemprov DKI telah membongkar sendiri bangunan dan lapak milik mereka setelah beberapa kali musyawarah.
Semenjak September lalu Pemprov DKI telah lakukan upaya persuasif. Sosialisasi dilakukan lanjut dengan dialog dan pendataan warga. Kebutuhan warga diakomodasi seperti pemindahan anak warga yang masih sekolah, menyiapkan rusun untuk relokasi, dan menyiapkan tenaga kendaraan angkut bila diperlukan untuk membantu warga memindahkan barangnya. Surat peringatanpun telah dilayangkan. Mayoritas warga kooperatif dengan membongkar sendiri bangunan dan lapak mereka.
Sedikit kericuhan terjadi ketika ada oknum yang memprovokasi. Ketika tenggat waktu habis dan beberapa bangunan tak juga dibongkar. Tapi toh tidak berlangsung lama. Pada akhirnya mereka mau membongkar sendiri bangunannya yang kemudian dipindahkan ke lokasi lain yang juga milik mereka.
Para oknum yang memprovokasi ini telah lama mengambil keuntungan dari penyewaan lahan secara ilegal demi kepentingan pribadi dan enggan kehilangan sumber penghasilan. Biasa dalam kehidupan sektor informal seperti PKL dan penghuni ilegal selalu ada orang-orang seperti ini, yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI sebetulnya telah sesuai dengan Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya (yang diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005). Bahwa dalam memindahkan orang (penggusuran) haruslah dilakukan dengan cara partisipatif, musyawarah dengan korban terdampak, pencarian solusi alternatif dan tanpa kekerasan
Kami tegaskan, tidak ada penggusuran paksa di Sunter Barat. Pembongkaran dilakukan sendiri tanpa kekerasan.
Persoalannya, pengambilalihan lahan itu memang diperlukan demi kepentingan umum yang lebih besar. Selama ini bangunan-bangunan yang dibuat oleh penghuni pemilik usaha barang bekas di sana telah menutupi saluran air dan jalan. Jadinya saluran air mampet, tidak terkoneksi, dan menyebabkan kawasan Sunter Barat kerap tergenang banjir.
Jika kita perhatikan seksama Pemprov DKI sebetulnya sudah sangat murah hati. Jika dimungkinkan kampung illegal bukannya digusur tapi ditata. Kampung Aquarium dan rencana 16 penataan kampung dalam program CAP (community action plan) itu dimungkinkan untuk ditata, tidak digusur. Tapi ini hanya mungkin dilakukan jika kawasan itu memenuhi 2 syarat paling tidak.
Pertama pertimbangan atas jenis peruntukan lahannya. Jika tanah yang diduduki tersebut adalah sempadan sungai, saluran air, jalan, trotoar, ruang terbuka hijau — tentu ini adalah a BIG NO. Atas alasan apapun tidak boleh diduduki oleh warga karena akan merugikan kepentingan umum lebih besar. Maka mau tak mau harus pindah. Tetapi jika peruntukannya di luar peruntukan tersebut di atas maka masih bisa diusulkan untuk penataan kampung.
Kedua, tergantung pada alas hak, siapa pemilik sesungguhnya dari lahan yang diduduki. Jika lahan adalah milik Pemprov DKI maka bisa saja diusulkan untuk penataan kampung bukan pemindahan/ penggusuran. Cuma kan tidak semua lahan yang ditempati penghuni illegal adalah milik Pemprov DKI. Ada lahan milik Pemerintah Pusat (inipun tergantung di kementerian mana), milik BUMN/BUMD, dan milik swasta. Secara hukum tentunya si pemilik lahan yang punya hak penuh atas tanah. Maka jika bukan tanah milik Pemprov DKO, hubungan hukum yang terjadi adalah antara warga yang menduduki tanah itu dengan si pemilik lahan. Bukan dengan Pemprov DKI. Jika si pemilik lahan hendak memanfaatkannya, penghuni illegal harus pindah. Dus tak mungkin Pemprov DKI lakukan penataan kampung di tanah yang bukan aset sendiri.
Walaupun memenuhi syarat 2, Kawasan Sunter Barat tidak memenuhi syarat 1. Karena peruntukan lahan adalah untuk saluran air dan jalan. Tak ada cara lain, Pemprov DKI harus menata demi kepentingan publik yang lebih besar. Yaitu mencegah banjir.
Bagai berjalan di titian serambut. ABW dan Pemprov DKI diharuskan bertindak adil, tegas, sekaligus empatik. Agar pembangunan Jakarta dituntaskan, agar kepentingan publik diperjuangkan, agar warga miskin diberi jalan keluar.
Untuk kasus Sunter Agung saya percaya kebijakan terbaik telah diambil.