Oleh: Inayatullah Hasyim (Dosen Univ. Djuanda Bogor)
Rumahku adalah syurgaku! Setiap pasangan suami istri ingin memiliki rumah yang nyaman, asri, cantik dan hommie. Namun, seringkali setelah rumah kita miliki, kita menjadikannya tak lebih dari tempat tidur.
Kita pergi meninggalkan rumah saat fajar belum menyingsing, dan datang kembali setelah bulan hendak beradu mimpi. Jadilah ia ranjang tidur kita yang luas, tempat dimana kita melampiaskan semua kepenatan dan tak lebih dari itu.
Sejak awal dakwah Rasulullah ﷺ, perhatian tentang rumah sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّىٰ تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An-Nur: 27)
Rumah adalah ruang privasi, tempat dimana rahasia keluarga disimpan rapat-rapat. Rumah adalah istana tempat seluruh keluh kesah diceritakan, segala cita-cita dibincangkan, semua keinginan diutarakan tanpa perlu merasa canggung sebab semua terikat dalam garis keluarga.
Suatu hari Rasulullah ﷺ tengah berada di rumahnya. Beliau ﷺ tengah menyisir rambutnya, ada seorang laki-laki yang mengintip dari balik pintu. Ketika mengetahui hal itu, Rasulullah ﷺ berkata, “Sekiranya aku tahu engkau memandangiku, niscaya aku tusuk matamu. Sesungguhnya, diperlukan izin karena adanya mata”.
Dalam perjalanan sejarah Rasulullah ﷺ, rumah adalah markaz dakwah utama. Ingatlah kisah dakwah beliau di rumah Arqam bin Abi Arqam.
Dari rumah sederhana di pinggiran kota Mekah itu, Rasulullah ﷺ memulai dakwah sembunyi-sembunyi hingga akhirnya para sahabat satu per satu masuk Islam.
Ketika merencanakan membangun rumah, kita acap kali menyiapkan ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, ruang tidur dan ruangan lainnya. Tapi, kadang kita tidak menyiapkan ruang khusus untuk ibadah, misalnya shalat dan pengajian.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah ﷺ mengatakan, “Dirikanlah di rumah kalian shalat (sunnah) kalian, dan jangan engkau jadikan rumahmu (seperti) kuburan”. (HR Bukhari-Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya, kecuali shalat fardhu”.
Sebab, seseorang yang menunaikan ibadahnya dalam senyap dan sepi lebih terjaga dari kemungkinan terjangkit penyakit riya dan sombong.
Karena itu, kata Ibnul Qayyim, “bahwa engkau tertidur di malam hari dan menyesal di pagi hari adalah lebih baik dari pada engkau tahajud di malam hari, dan berbangga (dengan tahajud itu) di pagi hari”.
Jika Anda sebagai ayah, peran dan tugas utama di rumah adalah mengayomi seluruh penghuninya: istri, anak-anak dan pembantu (jika ada).
Sebagai ayah, Anda berkewajiban mencukupi nafkah mereka. Saat genteng rumah Anda bocor, misalnya, janganlah meminta istrimu naik ke atap. Itu bukan tugasnya.
Demikian halnya dengan istri. Sebagai ibu bagi anak-anak, Anda dituntut untuk membuat suasana rumah nyaman, adorable dan hommie. Pandailah memasak meski sekedar cemilan iseng buat lihat berita di teve. Pandailah memilih warna gorden, sofa, seprei dan pengaturan vast bunga. Ibarat istana presiden, Andalah kepala protocol keistanaannya.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tetangga. Kita tahu, di tengah kehidupan yang makin hedonis dan egoistik ini, banyak di antara kita yang tak lagi kenal tetangganya. Baru setelah ada bendera kuning, kita tersadar bahwa dia tetangga kita. Naudzubillah.
Tetangga adalah “kerabat terdekat” saat senang dan susah. Sesekali kirimkanlah hadiah. Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Saling bertukar hadiahlah kalian, niscaya akan menambah kecintaan kalian”.
Sedemikian pentingnya bertetangga, hingga dalam hadits lain diriwayatkan berikut ini. Dari Ibn Umar berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Jibril senantiasa mengingatkan aku (untuk berbuat baik) dengan tetangga hingga aku mengira bahwa tetangga (kelak) menerima warisan” (HR Bukhari-Muslim).
Terakhir, setelah kita mendapatkan semua kenyamanan rumah di dunia yang fana ini, pastilah kita berharap rumah di surga. Sebab, itulah sebaik-baik rumah kelak.
Allah menjanjikan:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِنَ الْجَنَّةِ غُرَفًا تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ نِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal.” (QS Al-Ankabut: 58)
Semoga surga duniawi kita mengantarkan para penghuninya kepada surga ukhrawi. Wallahua’lam bis showwab.