Manyapa Iblis
Oleh: Cak Choirul
Api unggun itu telah padam akibat amuk Sarjan yang tak sabar menunggu Kunti hingga jam tangannya menunjuk pukul 03.00 dini hari. Sarjan menggunakan sepatu boot petani hadiah dari Kepala Desa untuk membuyarkan nyala api itu, bahkan bara yang menganga tajam dihantamnya dengan sebatang pohon yang dicabut dari akarnya.
“Kunti tidak tahu diri, aku diterlantarkan tanpa pesan. Lihatlah nanti, aku pasti membalasmu. Kau jangan mentang-mentang menjadi gadis cantik yang kuidamkan, terus seenaknya mempermainkan cintaku. Dasar iblis kupret!” Sarjan membentak dengan suara lantang.
Amuk Sarjan disertai makian yang ditujukan kepada Kunti menggema membentur bebatuan di Bukit Deret. Gema itu terdengar hingga berkilo-kilo meter setelah disambungkan dengan pantulan suara di antara bukit batu.
Saking kesalnya, Sarjan tidak menghiraukan api unggun yang sebenarnya untuk penerang dan penghangat suhu tubuh itu, justru dipadamkan sendiri akibat emosi tak terkendali. Akibatnya, dia harus berada di tengah hutan berselimut kabut sendirian tanpa lentera. Korek api yang dikantongi tak sanggup menjadi penerang. Pria yang selalu mengaku bujangan kepada setiap gadis yang dijumpai itu terpaksa harus berjalan tersaruk-saruk, kesandung batu, terperosok parit dan tak jarang terjengkang.
“Mas Sarjan…Mas!”
Sarjan tiba-tiba bersemangat untuk bangkit dari gundukan tanah yang disandung. Suara lirih dari arah kanan itu membuat gelora Sarjan menyala untuk mendekat ke sumber yang memanggilnya. Dia tak melihat apapun, kecuali panggilan halus yang sudah diakrabi.
“Apakah itu suara kamu, Kunti. Aku sangat mengenal suaramu, halus dan memukau. Dimanakah kamu, aku tak melihat wajahmu!”
“Benarkah Mas Sarjan tidak bisa melihatku.”
“Benar, Kunti. Aku sulit melihatmu, situasinya gelap gulita. Apakah kamu melihatku.”
“Iya Mas. Saya melihat jelas wajah Mas Sarjan. Kenapa Mas Sarjan tampak bermuram durja, apakah tidak suka bertemu denganku. Adakah gadis lain yang memincut hati Mas Sarjan?”
“Oh tidak, sayang. Tidak ada gadis lain kecuali dirimu. Aku mencintaimu, sumpah mati Kunti!”
“Mas Sarjan mulai pandai membual. Sejak kapan Mas Sarjan jadi tukang ngibul. Jangan bohong Mas, saya tahu semua perbuatan Mas Sarjan!”
“Benar Kunti, aku tak pernah pindah ke lain hati kecuali dirimu. Percayalah!”
“Iya saya percaya. Tapi bagaimana dengan gadis yang tinggal di tepi sungai, bukankah Mas Sarjan telah mengikat janji sama dia?”
“Sudahlah Kunti, tidak usah banyak tanya. Sekarang aku kepingin melihat rupamu, wujudmu seperti apa malam ini?” Sarjan mendesak Kunti seraya berjalan ke arah sumber suara dengan langkah layaknya beruang tak bertulang.
“Kunti, aku sudah berjam-jam menunggumu di sini. Kini, giliranmu datang kamu hanya membuang suara tanpa ada wujud. Janganlah bermain-main, aku lelah menunggumu,” ujar Sarjan dengan meraba-raba ilalang di sekitarnya sambil berharap Kunti bersembuyi di baliknya.
“Maafkan saya datang terlambat sebagaimana janji kita, Mas. Tadi sore, menjelang berangkat ke hutan ini, saya menemui teman di seberang bukit. Dia marah-marah ketika saya cerita ingin ketemu Mas Sarjan di sini.”
“Kenapa dia marah, apa hubungannya dengan janji kita untuk bertemu di hutan ini?”
“Iya Mas. Seharusnya dia tak usah marah, tapi ketika dia mendengar nama Mas Sarjan saya sebut, dia langsung emosi bahkan menjambak rambut saya hingga saya tesungkur di batu cadas,” tutur Kunti sembari menunjukkan jidatnya membiru dan tangannya berdarah kendati tak bisa dilihat Sarjan.
“Siapa namanya, kurang ajar perempuan itu, pasti dia sundel!” umpat Sarjan. (Bersambung)