Nusyûz adalah pembangkangan istri terhadap perintah dan larangan suami (dalam perkara yang tidak dilarang syara’). Hanya saja syariat telah menetapkan hak seorang wanita untuk melakukan transaksi bisnis, memberdayakan hartanya wanita sendiri, mengajar, melakukan silaturahmi, pergi ke masjid, menghadiri ceramah, ataupun kajian. Oleh karena itu nusyûz, yang jika itu terjadi maka menggugurkan kewajiban suami untuk menafkahi, adalah pembangkangan istri terhadap perintah dan larangan suami yang berkaitan dengan kehidupan khusus (al-hayâh al-khâshah), dan kehidupan suami-istri (al-hayâh az-zawjiyyah).
Oleh karena itu, ketika suami memerintahkan istrinya untuk menyerahkan harta/gaji istrinya kepadanya, namun istri menolaknya, maka penolakan istri tidak terkategori nusyuz. Begitu juga mengajinya seorang istri, ketika suami melarangnya, maka pelanggaran istri ini tidak terkategori nusyuz.
Ketika misalnya suaminya berkata: “sayang kamu mulai sekarang tidak usah pengajian”, lalu ternyata istrinya tetap pengajian, baik di rumah suaminya, atau pengajian lewat udara, atau pengajian online, atau di masjid, maka tidaklah istrinya terkategori melakukan nusyuz. Hanya saja, suaminya tetap berhak melarang istrinya keluar rumah.
Oleh karena itu, misalnya seorang istri mau berangkat pengajian, lalu suaminya bilang: “sayang, kamu di rumah saja, temani aku”, jika dalam kondisi ini si istri gagal merayu suaminya agar mengizinkannya berangkat pengajian, maka istri tersebut tidak boleh pergi tanpa izin suaminya. Jika pergi juga, maka dia terkategori melakukan nusyuz.
Bukan hanya pengajian, bahkan seandainya ibu, bapak atau anaknya istri meninggal, dan suaminya melarang istrinya keluar rumah, maka istrinya hendaklah mentaati suaminya, walaupun dalam hal ini suaminya tidak pantas berbuat seperti itu.
قال الشافعي: ” وَلَهُ مَنْعُهَا مِنْ شُهُودِ جَنَازَةِ أُمِّهَا وَأَبِيهَا وَوَلَدِهَا وَمَا أُحِبُّ ذَلِكَ لَهُ “.
قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ، وَلِلزَّوْجِ مَنْعُ امْرَأَتِهِ مِنَ الْخُرُوجِ مِنْ مَنْزِلِهِ، لِأَنَّ دَوَامَ اسْتِحْقَاقِهِ لِلِاسْتِمْتَاعِ بِهَا يَمْنَعُهَا مِنْ تَفْوِيتِ ذَلِكَ عَلَيْهِ بِخُرُوجِهَا،
Al-Imam Asy-Syaafi’iy berkata: “bagi dia (suami) berhak melarangnya (istrinya) untuk menyaksikan (menghadiri) jenazah ibunya, ayahnya atau anaknya, namun aku tidak menyukai ia melakukan hal itu.”
Imam Al-Mawardi berkata: “Dan ini adalah pendapat yang benar, yaitu suami berhak melarang istrinya keluar dari kediamannya, karena kelangsungan hak suami untuk bersenang-senang dengan istrinya menghalangi istrinya untuk menghilangkan hak suami tersebut dengan keluarnya (perginya) istri.” [Al-Hâwiy Al-Kabîr, 9/584. Maktabah Syamilah].
Imam al Mawardi (w. 450H), lalu mengutip riwayat dari Anas r.a :
أَنَّ رَجُلًا سَافَرَ عَنْ زَوْجَتِهِ وَنَهَاهَا عَنِ الْخُرُوجِ فَمَرِضَ أَبُوهَا فَاسْتَأْذَنَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي عِيَادَتِهِ فَقَالَ: ” اتَّقِ اللَّهَ وَلَا تُخَالِفِي زَوْجَكِ “، ثُمَّ مَاتَ أَبُوهَا فَاسْتَأْذَنَتْهُ فِي حُضُورِ جَنَازَتِهِ فَقَالَ اتَّقِ اللَّهَ، وَلَا تُخَالِفِي زَوْجَكِ، فَأَوْحَى اللَّهُ تَعَالَى إِلَى نَبِيِّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِأَبِيهَا بِطَاعَتِهَا لِزَوْجِهَا،
“seorang laki-laki yang melakukan safar (perjalanan), meninggalkan istrinya dan ia pun memerintahkan istrinya untuk tidak keluar dari rumahnya, (suatu hari) ayahnya istri tsb sakit, maka wanita ini minta izin kepada Nabi Saw untuk mengunjungi ayahnya. Maka Nabi bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, jangan engkau menyelisihi suamimu.” Lalu wafatlah ayah tsb, maka wanita ini minta izin kepada Nabi Saw untuk menghadiri jenazah ayahnya, maka Nabi kembali bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, jangan engkau menyelisihi suamimu.” Maka Allah mewahyukan kepada Nabi saw, bahwasanya Allah telah mengampuni ayah wanita tersebut dengan sebab keta’atannya kepada suaminya.”
Adapun dalam riwayat at Thabarâny, dari Anas dinyatakan:
أَنَّ رَجُلا خَرَجَ وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لا تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا، وَكَانَ أَبُوهَا فِي أَسْفَلِ الدَّارِ، وَكَانَتْ فِي أَعْلاهَا، فَمَرِضَ أَبُوهَا، فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: ” أَطِيعِي زَوْجَكِ “، فَمَاتَ أَبُوهَا، فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ” أَطِيعِي زَوْجَكِ “، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: ” إِنَّ اللَّهَ غَفَرَ لأَبِيهَا بِطاعَتِهَا لِزَوْجِهَا
“ada seorang laki-laki yang keluar (untuk bersafar) dan ia pun memerintahkan istrinya untuk tidak keluar dari rumahnya, sementara ayahnya si wanita tinggal di lantai bawah rumah dan si wanita tinggal di lantai atas.
Suatu hari sang ayah jatuh sakit, maka si wanita mengutus seseorang kepada Nabi Saw dan ia pun menyebutkan kondisinya kepada Nabi (bahwa ia ingin merawat ayahnya yang berada di lantai bawah namun suaminya memerintahkan untuk tetap berada dirumah, -pent). Bersabdalah Nabi, “Ta’atilah suamimu.”
Lalu wafatlah sang ayah dan si wanita kembali mengutus seseorang kepada Nabi Saw (bahwa ia ingin menshalati jenazah ayahnya). Bersabdalah Nabi, “Ta’atilah suamimu.” Maka Nabi Saw mengutus utusan tersebut kepada si wanita untuk memberitahukannya bahwa : “Sesungguhnya Allah telah mengampuni ayahnya dengan sebab keta’atannya kepada suaminya.” [HR. at Thabarâny dari Anas, dalam Mu’jam Al-Ausath]
Hanya saja, riwayat ini lemah, namun dari sisi hukum tetap makruh, tidak pantas suami melakukan hal tersebut kepada istrinya. Dalam Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab dengan Takmilah as Subki dan al Muthi’iy, Muhammad Najib al Muthi’i berkata :
ولما كان هذا الحديث لم يصح عندنا حيث رواه الطبراني في الاوسط وآفته محمد عقيل الخزاعى هذا من جهة الاسناد ومتنه يعارض امورا مجمعا عليها فإن اباها له حقوق عليها لا تحصى، اقربها واظهرها :
١ – حق الابوة لقوله تعالى (وبالوالدين إحسانا) قارنا ذلك بعبادته.
٢ – حق الاسلام لقوله صلى الله عليه وسلم (حق المسلم على المسلم خمس) ومنها (وإذا مرض فعده)
٣ – حق الرحم، يقول الله تعالى (اشتققت لك اسما من اسمى فمن وصلك وصلته ومن قطعك قطعته) .
٤ – حق الآدمية أو حق الانسانية (من لا يرحم الناس لا يرحم).
٥ – حق المشاركة في اسباب الحياة (دخلت إمرأة النار في هرة، ودخلت إمرأة الجنة في هرة).
٦ – حق الجوار (ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت انه سيورثه).
إذا ثبت هذا فإنه يكره للزوج أن ينهى زوجته عن عيادة ابيها أو بره أو إبداء حنوها ومودتها لابويها
“Karena hadits ini tiada shahih menurut kami, dimana ia diriwayatkan oleh Ath-Thabarâniy dalam Al-Ausath dan cacatnya ada pada Muhammad bin ‘Aqîl Al-Khuzaa’iy dari sisi sanad, dan matannya bertentangan dengan perkara-perkara yang telah disepakati atas masalah ini. Maka sesungguhnya ayah sang wanita mempunyai hak-hak yang tak terhitung (dari putrinya), hak-hak yang paling dekat dan paling nampak adalah :
1. Haknya sebagai seorang ayah, dengan firman Allah Ta’ala : (Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua), Allah mengiringi perintah yang demikian dengan perintah untuk beribadah kepadaNya.
2. Haknya didalam Islam, dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : (Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada 5, salah satunya adalah jika ia sakit maka jenguklah ia).
3. Haknya untuk mendapat kunjungan silaturahim dari sang anak. Allah Ta’ala berfirman -dalam hadits qudsiy- : (Aku telah mengambil namamu (rahim) dari pecahan namaKu, maka barangsiapa menyambungmu niscaya aku akan menyambungnya, dan barangsiapa memutusmu niscaya aku akan memutusnya).
4. Haknya sebagai manusia keturunan Adam atau hak insaniyyah. Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : (Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia maka ia tidak akan disayang).
5. Haknya untuk dibantu dalam hal-hal yang membuatnya bertahan hidup. Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : (Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing dan seorang wanita masuk surga karena seekor kucing).
6. Haknya sebagai tetangga. Sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam : (Jibriil senantiasa mewasiatkan kepadaku untuk berbuat baik kepada tetangga hingga aku mengira tetangga mendapat pula hak warisnya).
Jika telah tsabt hal ini, maka dimakruhkan bagi sang suami untuk melarang istrinya menjenguk ayahnya, berbuat baik kepadanya ataupun menunjukkan perhatian dan mawaddah (kasih sayang) kepada kedua orangtuanya. [Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab, 16/413-414. Maktabah Syamilah]
Jadi dari sisi hukum syara’, jika suami melarang istrinya keluar rumah, maka istri wajib mentaatinya, kecuali ketika di rumah tidak tersedia makanan, atau sewa rumah habis, atau dia keluar dalam rangka mengadukan suaminya ke hakim, atau dia meminta fatwa hukum sementara suaminya tidak ngerti hukum, atau rumahnya terbakar, kena gempa, atau hal-hal lain yang sudah dijelaskan para ‘ulama.
Namun di sisi lain, suami wajib memperlakukan istrinya dengan baik, Allah memerintahkan suami untuk bergaul dengan istrinya secara ma’ruf, dan suami terbaik adalah suami yang terbaik dalam memperlakukan keluarganya. Rasulullah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
Yang terbaik diantara kalian adalah yang terbaik dalam memperlakukan keluarganya, adan akulah orang yang terbaik memperlakukan keluargaku (H.R Tirmidzi).
Oleh karena itu, jangan hanya gunakan pendekatan fiqh dari satu sisi dalam masalah rumah tangga, di sana masih ada cinta, kasih sayang dan saling pengertian. Untuk kegiatan istri yang ma’ruf dan tidak ada pelanggaran terhadap hukum syara’, kalau suami tidak mengizinkan, sudah dijelaskan secara fiqh justru suaminya makin besar kepala, “nah, benar saya kan, saya berhak melarang kamu keluar rumah”, masih bisa dibangun komunikasi yang baik, cari situasi dan kondisi yang mendukung, agar terbangun saling pengertian, kenali suamimu, ada tipe yang jika ‘dibantah’ (dijelaskan) tidak akan mau terima, namun ketika didiamkan di “nggih” dan “pun” kan hatinya luluh. Kalau tidak berhasil, selama masih bisa bersabar, bersabarlah, kalau sudah tidak bisa bersabar, maka sabar-sabarkanlah. Allaahu A’lam.
Sumber: https://www.google.com/amp/s/mtaufiknt.wordpress.com/2017/08/23/nusyuzkah-istri-mengaji-saat-suaminya-melarang/amp/