Presiden Joko Widodo baru-baru ini menyatakan perlunya meningkatkan literasi digital untuk masyarakat. Selain meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, literasi digital berguna untuk melawan informasi palsu dan berita bohong yang tersebar di internet.
Sebanyak 65% dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa pengecekan ulang lebih dulu. Ini yang menyebabkan kebohongan menjadi mudah disebarkan oleh pengirim dan para penerimanya, seperti yang dibahas oleh pemenang Hadiah Nobel Bidang Ekonomi 2002 Daniel Kahneman dalam karyanya Thinking, Fast and Slow.
Literasi digital akan berguna untuk memeriksa akuntabilitas dan kebenaran dari sebuah informasi. Namun lebih dari itu, literasi digital adalah kompetensi esensial yang wajib dimiliki dan dikuasai oleh pengakses internet.
Dengan datangnya era internet untuk segala, yaitu perluasan koneksi internet ke pelbagai barang, tanpa kemampuan literasi digital pengguna internet akan kesulitan memanfaatkan informasi yang mereka dapatkan dan bahkan teralihkan fokusnya pada notifikasi-notifikasi yang mengganggu produktivitas mereka.
Manusia dalam hyperconnectivity
Terminologi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi semakin ambigu dan memerlukan pendefinisian ulang hari ini. Betapa tidak, saat ini benda-benda seperti jam tangan, mobil, lemari es, hingga spot area parkir juga dapat menghasilkan data dan informasi dalam format digital.
Walau fungsi utama benda-benda ini bukan sebagai alat komunikasi, mereka sekarang juga dapat saling “berbicara” satu sama lain. Misalnya, lampu lalu lintas dapat secara otomatis mengatur durasi pergantian lampu berdasarkan sensor jalan. Jam tangan kita dapat bergetar bila masakan di dapur telah matang.
Kondisi ini yang disebut berbagai pakar teknologi Luigi Atzori, Marina Pticek, dan Claudio Colleta sebagai era internet untuk segala (internet of things, IoT). Secara umum, internet untuk segala ditandai dengan perluasan konektivitas internet yang tidak lagi hanya menghubungkan laptop, tablet, atau seluler, melainkan juga benda-benda lain yang awalnya tidak digunakan sebagai alat komunikasi.
Pada era internet untuk segala, beragam jurnal manajemen informasi dunia menganggap kehidupan masyarakat dewasa ini akan mengalami konektivitas hiper (hyperconnectivity). Keadaan ini menggambarkan kondisi ketika setiap teknologi mampu untuk menyimpan, menganalisis, dan mengatur data digital selama terhubung dalam jaringan internet.
Dengan fitur kecerdasan yang saling berinteraksi ini, fungsi automasi dan interoperabilitas (kemampuan saling bekerja sama) dari sebuah teknologi akan semakin menguat. Hal ini sekaligus memengaruhi manusia untuk semakin bergantung dan mencandu ponsel pintar mereka.
Notifikasi-notifikasi dari aplikasi pengingat, email, atau obrolan yang terus bermunculan sepanjang waktu akan mentransformasi bagaimana manusia, baik secara individu atau organisasi, berperilaku, bekerja, dan membuat keputusan).
Cal Newport, profesor muda asal Georgetown University, dalam bukunya Deep Work: Rules for Focused Success in a Distracted World mengatakan kemampuan fokus pada masa depan menjadi semakin langka di tengah maraknya notifikasi gawai yang adiktif. Semakin banyak aplikasi yang Anda unduh, maka semakin sulit pula untuk mengatasi adiksi terhadap pemakaian ponsel yang berlebihan.
Cakupan literasi digital
Literasi digital cenderung dipahami secara sempit yang terbatas pada penguasaan dalam penggunaan teknologi saja. Literasi digital semestinya juga meliputi aspek-aspek kritis lain seperti kesadaran data (data awareness), kemampuan analisis data, dan kemampuan untuk fokus (deep work).
Pertama, kesadaran data selama mengakses internet. Data menjadi sebuah komponen vital dalam setiap sistem aplikasi yang saling berinteraksi dan bertransaksi dalam dunia siber. Hanya dengan mendaftarkan diri ke sebuah platform, data kita akan secara otomatis disinkronisasikan ke dalam sistem. Misalnya, ketika mensinkronkan aplikasi WhatsApp ke Facebook, Anda harus sadar telah mengizinkan segala data percakapan dari akun Anda untuk dapat diakses oleh kedua platform media sosial tersebut.
Walau pengguna akan mendapatkan beragam keuntungan dari proses sinkronisasi tadi, ada konsekuensi-konsekuensi lain yang harus dipertimbangkan. Misalnya, dengan memberikan nomor rekening bank pada suatu perusahaan niaga elektronik, maka kita telah memberi persetujuan kepada pemberi layanan untuk menarik transaksi atau berlangganan rutin sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Hal ini berlaku pula pada data-data pribadi lain seperti nomor kartu tanda penduduk, nomor kepegawaian, alamat, dan kontak pribadi.
Kedua, kita tidak hanya melek dalam memahami konsekuensi dari diseminasi data digital, tapi juga memahami data yang masuk agar menjadi informasi yang berguna. Pada era internet untuk segala, menjadi tantangan tersendiri untuk mencerna data yang masuk dengan volume, kecepatan, dan varietas yang besar. Analisis data berarti bagaimana kita berusaha menerjemahkan kondisi dari data yang ada dan membuat keputusan dengan lebih akurat.
Contoh, statistik langkah kaki dan detak jantung yang direkam secara otomatis lewat jam tangan pintar akan meningkatkan kesadaran kita akan kebutuhan pola olahraga dan makan yang teratur. Kemampuan untuk memanfaatkan konektivitas hiper ini tentu juga memiliki dampak yang makro seperti pemerintah Kota Dublin yang menggunakan pendekatan tata kelola algoritmatik (algorhythmic governance) untuk mengatur transportasi massal berbasis data waktu nyata.
Kedua aspek itu menunjukkan bahwa kemampuan penggunaan fitur digital belum secara otomatis membuat kita melek akan konsekuensi dan kegunaan dari data digital yang dihasilkan. Tanpa kemampuan untuk menerjemahkan data, maka menerima, memiliki, dan menyimpannya pun mungkin tidak akan ada gunanya.
Ketiga, internet untuk segala bukan hanya identik dengan fenomena disrupsi, melainkan juga gejala distraksi yang ditimbulkan oleh penerimaan informasi dan data yang sangat besar, beragam, dan cepat.
Argumen distraksi ini juga diperkuat oleh studi lembaga riset Qualtrics and Accelyang menemukan bahwa rata-rata generasi milenial mengecek telepon pintar mereka sebanyak 150 kali setiap hari. Perilaku ini menjadikan mereka tidak bisa fokus untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di depan mata. Akibatnya, ponsel digital yang seharusnya membantu manusia untuk meningkatkan dan mempercepat produktivitas malah menjadi penghambat kinerja.
Teknologi pada dasarnya diciptakan untuk memudahkan urusan manusia agar menjadi lebih efektif dan efisien. Namun, apa yang ditawarkan oleh fitur teknologi hari ini membutuhkan kompetensi khusus agar dapat mengoptimalkan fungsinya.
Literasi digital sebagai kompetensi bukan hanya kemampuan penggunaan teknologi, tapi juga meliputi kemampuan menganalisis, berpikir kritis, sampai dengan kontrol dari penggunaannya yang adiktif.
Karena bagaimana pun, bukankah ponsel pintar tidak seharusnya lebih pintar dari penggunanya?
Agie Nugroho Soegiono tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.
Sumber: The Conversation Indonesia