thayyibah.com :: Kewajiban Mengadakan Walimah
Wajib bagi orang yang menikah untuk menyelenggarakan walimah setelah menggauli isteri, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf dalam hadits yang telah disebutkan sebelumnya dan juga hadits yang telah diriwayatkan oleh Buraidah bin al-Hashib, ia berkata:
لَمَّا خَطَبَ عَلِيٌّ فَاطِمَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّهُ لاَبُدَّ لِلْعَرْسِ مِنْ وَلِيْمَةٍ.
“Tatkala ‘Ali meminang Fatimah Radhiyallahu anhuma ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya merupakan keharusan bagi pengantin untuk menyelenggarakan walimah.’”[1]
Ada Beberapa Hal Yang Harus Diperhatikan, yaitu :
Pertama: Walimah hendaknya diselenggarakan selama tiga hari setelah dukhul (sang suami menggauli sang isteri), karena demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata:
تَزَوَّجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَفِيَّةَ وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا وَجَعَلَ الْوَلِيْمَةَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Shafiyyah dan kemerdekaannya sebagai maskawinnya, kemudian beliau menyelenggarakan walimah selama tiga hari.” [2]
Kedua: Mengundang orang-orang shalih untuk menghadiri walimah tersebut, baik dari kalangan orang miskin maupun orang kaya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَتُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا، وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ.
“Janganlah berteman kecuali dengan orang mukmin dan janganlah makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”[3]
Ketiga: Menyelenggerakan walimah dengan seekor kambing atau lebih jika memang ia memiliki keluasan rizki, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu anhu :
أَوْلِمْ وَلَوْبِشَاةٍ.
“Adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” [4]
Dan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu ia berkata :
مَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَمَ عَلَى امْرَأَةٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ، فَإِنَّهُ ذَبَحَ شَاةً.
“Aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelenggarakan walimah bagi isteri-isterinya seperti apa yang beliau selenggarakan bagi Zainab. Sesungguhnya beliau menyembelih seekor kambing.” [5]
Dan tidaklah mengapa jika walimah diselenggarakan dengan hidangan seadanya walaupun tanpa adanya daging, sebagaimana hadits riwayat Anas, ia berkata:
أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ خَيْبَرَ وَالْمَدِيْنَةِ ثَلاَثًا بَنَى عَلَيْهِ بِِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ فَدَعَوْتُ الْمُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ، فَمَا كَانَ فِيْهَا مِنْ خُبْزٍ وَلاَ لَحْمٍ، أَمَرَ بِاْلأَنْطَاعِ فَأَلْقَى بِهَا مِنَ التَّمْرِ وَاْلأَقِطِ وَالسَّمْنِ فَكاَنَتْ وَلِيْمَتُهُ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan Madinah ketika memboyong Shafiyyah binti Huyay. Lalu aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimahnya. Dalam walimah tersebut tidak ada roti dan daging. Beliau menyuruh memben-tangkan tikar kulit, lalu diletakkan di atasnya buah kurma, susu kering dan samin. Demikianlah walimah beliau pada saat itu.”[6]
Tidak boleh bagi seseorang mengundang orang-orang kaya saja tanpa mengundang orang-orang miskin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُولَهُ.
“Sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah yang ia ditolak orang yang datang kepadanya dan diundang kepadanya orang yang enggan mendatanginya. Maka barangsiapa tidak memenuhi undangan tersebut, ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” [7]
Dan bagi orang yang diundang ia wajib menghadiri walimah tersebut, sebagaimana hadits di atas dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيْمَةِ فَلْيَأْتِهَا.
“Apabila salah seorang di antara kalian diundang ke walimah, maka hendaknya ia menghadirinya.” [8]
Ia harus menghadiri walimah meskipun dalam keadaan puasa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيُطْعِمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، يَعْنِي الدُّعَاءَ.
“Apabila salah seorang di antara kalian diundang untuk makan, maka penuhilah undangan tersebut. Jika ia tidak puasa hendaknya makan, sedangkan jika ia sedang puasa, maka hendaknya ia mendo’akan.” [9]
Dan boleh baginya untuk berbuka jika ia sedang puasa sunnah, terlebih lagi apabila diminta oleh orang yang mengundangnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ، وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ.
“Apabila salah seorang di antara kalian diundang untuk makan, maka penuhilah undangan tersebut. Jika berkehendak, maka ia boleh makan atau ia tinggalkan.” [10]
Dan disunnahkan bagi orang yang menghadiri walimah untuk melakukan dua hal, yaitu :
Pertama: Mendo’akan orang yang mengundangnya dengan do’a-do’a yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti di bawah ini:
اَللّهُمًّ اغْفِرْلَهُمْ، وَارْحَمْهُمْ، وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ.
“Ya Allah, ampunilah mereka dan sayangilah mereka serta berikan keberkahan pada rizki yang Engkau berikan kepada mereka.” [11]
اَللّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِيْ، وَأَسْقِ مَنْ سَقَانِيْ.
“Ya Allah, berilah makan kepada orang yang telah memberiku makan dan berilah minum kepada orang yang telah memberiku minum.” [12]
أَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ، وَصَلَّى عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ، وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ.
“Telah makan hidangan kalian orang-orang shalih dan para Malaikat telah bershalawat kepada kalian serta orang-orang yang berpuasa telah berbuka dengan hidangan kalian.”[13]
Kedua: Mendo’akan mempelai laki-laki dan wanita dengan do’a kebaikan dan keberkahan sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan “Tahni-ah (Ucapan Selamat Pernikahan).”
Tidak boleh menghadiri walimah jika di dalamnya terdapat kemaksiatan, kecuali jika ia bermaksud untuk mengingkarinya dan berusaha menghilangkan kemaksiatan tersebut. Apabila kemunkaran itu berhenti, ia boleh terus menghadirinya, namun jika tidak, maka ia harus segera pulang.
Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang permasalahan ini, di antaranya adalah sebagai berikut:
Dari ‘Ali Radhiyalllahu anhu, ia berkata:
صَنَعْتُ طَعَامًا فَدَعَوْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ فَرَأَى فِي الْبَيْتِ تَصَاوِيْرَ فَرَجَعَ، فَقُلْتُ: يَارَسُوْلَ الله، ماَأَرْجَعَكَ بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّي؟ قَالَ: إِنَّ فِي الْبَيْتِ سِتْرًا فِيْهِ تَصَاوِيْرُ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيْهِ تَصَاوِيْرُ.
“Aku pernah membuat makanan dan mengundang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala datang, beliau melihat gambar-gambar di rumahku, maka beliau langsung pulang. Kemudian aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah gerangan yang membuat baginda langsung pulang?’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya di rumahmu ada kain penutup yang bergambar dan sesungguhnya para Malaikat tidak memasuki sebuah rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.’” [14]
Demikianlah yang diamalkan oleh para Salafus Shalih, Diriwayatkan dari Abi Mas’ud -‘Uqbah bin ‘Amr-: Bahwasanya pada suatu saat ada seseorang yang mengundangnya untuk makan, ia berkata :
أَفِي الْبَيْتِ صُوْرَةٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَأَبَى أَنْ يَدْخُلَ حَتَّى كَسَرَ الصُّوْرَةَ، ثُمَّ دَخَلَ.
“Apakah di dalam rumahmu ada gambar bernyawa?” Ia menjawab, “Ya.” Maka ia menolak untuk masuk ke dalam rumahnya sebelum gambar tersebut dihilangkan dan tatkala gambar tersebut telah dihilangkan ia baru mau masuk” [15].
Al-Bukhari berkata, “Pada suatu waktu Ibnu ‘Umar mengundang Abu Ayyub, kemudian ia (Abu Ayyub) melihat kain penutup yang bergambar di dinding. Maka Ibnu ‘Umar berkata, ‘Kami kalah dengan isteri.’ Abu Ayyub berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memakan makananmu.’ Kemudian ia kembali pulang.”
Diperbolehkan baginya untuk mempersilahkan para wanita mengumumkan pesta pernikahan dengan memukul duff (rebana) dan dengan nyanyian-nyanyian yang diperbolehkan, yaitu nyanyian yang tidak terdapat di dalamnya hal-hal yang menyebutkan keindahan tubuh atau yang berbau mesum. Ada beberapa hadits yang menjelaskan tentang hal ini, di antaranya adalah:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَعْلِنُوا النِّكَاحَ.
“Umumkanlah berita pernikahan.” [16]
Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَصْلٌ مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ.
“Pemisah antara yang halal dan yang haram di dalam pernikahan adalah tabuhan rebana dan nyanyian.” [17]
Dari Khalid bin Dzakwan ia berkata bahwa ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afraa berkata:
جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يََدْخُلُ حِينَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ دَعِي هَذِهِ وَقُولِي بِالَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku pada hari aku diboyong dan duduk di atas tempat tidurku sedekat posisi dudukmu sekarang ini. Beberapa gadis sedang menabuh rebana dan mereka meratap sambil menyebut-menyebut kebaikan dan kebenaran bapak-bapakku yang telah mati syahid pada perang badar. Kemudian ada salah seorang dari mereka yang berkata, ‘Di tengah-tengah kita sekarang ini ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi pada esok hari.’ Mendengar itu Nabi bersabda, ‘Tinggalkanlah bait-bait sya’ir lagu itu dan nyanyikan apa yang tadi kamu nyanyikan.’” [18]
Menurut Sunnah, apabila seseorang menikah lagi dengan seorang gadis hendaknya ia berdiam dengannya tujuh hari, kemudian membagi giliran. Dan apabila ia menikah lagi dengan seorang janda, maka hendaknya ia berdiam dengannya tiga hari, kemudian membagi giliran. Demikianlah yang diriwa-yatkan oleh Abu Qilabah dari Sahabat Anas. Abu Qilabah berkata, “Jika aku berkehendak aku akan mengatakan bahwasanya Anas meriwayatkan hadits ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [19]
Seorang suami harus berbuat baik dalam memperlakukan isteri dan membimbingnya dalam hal-hal yang dihalalkan oleh Allah baginya, terlebih lagi jika sang isteri masih muda. Ada beberapa hadits yang berhubungan dengan hal tersebut di atas, di antaranya adalah sebagai berikut:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ.
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap isterinya dan aku adalah yang paling baik terhadap isteriku.” [20]
Dan Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُـمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُـمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik (perlakuannya) terhadap isterinya.” [21]
Dan Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ.
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah, jika ia membencinya karena ada satu perangai yang buruk, pastilah ada perangai baik yang ia sukai.” [22]
Dan Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat haji Wada’ :
أَلاَ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً، أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَأَمَّا حَقُّكُمْ عَلَى نِسَائِكُـمْ فَلاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُـمْ مَنْ تَكْرَهُونَ وَلاَ يَـأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُـمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُـمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِـي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ.
“Ingatlah. Nasihatilah para wanita (isteri) dengan cara yang baik, sesungguhnya mereka hanyalah sebagai pelayan bagi kalian dan kalian tidak berhak apa pun selain dari yang demikian kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji. Jika mereka melakukan itu, maka pisahkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Jika mereka telah kembali taat maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya kalian memiliki hak atas isteri-isteri kalian sebagaimana isteri-isteri kalian juga memiliki hak atas kalian. Adapun hak kalian atas mereka adalah janganlah mereka memasukkan seseorang ke tempat tidur kalian yang tidak kalian sukai, sedangkan hak mereka atas kalian adalah agar kalian memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (isteri) dengan cara yang baik.” [23]
Wajib bagi seorang suami untuk bersikap adil di antara isteri-isterinya dalam hal makan, tempat tinggal, pakaian, dan giliran serta semua hal yang bersifat materi. Apabila ia lebih condong terhadap salah satu di antara mereka, maka ia termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ، يَمِيْلُ مَعَ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى، جَاءَ يَوْمَ الْقِيِامَةِ وَأَحَدُ شِقَّيْهِ سَاقِطٌ.
“Barangsiapa memiliki dua orang isteri dan ia lebih condong kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dengan tubuh miring.” [24]
Akan tetapi tidak mengapa jika ia memiliki kecondongan hati (cinta) terhadap salah satu di antara isteri-isterinya, karena hal itu adalah di luar kemampuannya. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin ber-buat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung…” [An-Nisaa’: 129]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berbuat adil terhadap isteri-isterinya pada apa-apa yang bersifat materi, beliau tidak membedakan di antara mereka. Akan tetapi meskipun demikian ‘Aisyah adalah isteri yang paling beliau cintai dari pada yang lainnya.
Dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَهُ عَلَى جَيْشٍ ذَاتِ السَّلاَسِلِ، فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ: أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ. فَقُلْتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ: أَبُوْهَا. قُلْتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَّطَّابِ. فَعَدَّ رِجَالاً.
“Bahwasanya Nabi Shallallahu alaiahi wa sallam mengutusnya bersama sepasukan ke Dzatus Salasil, kemudian aku mendatangi beliau dan bertanya, “Siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “‘Aisyah.” Aku bertanya lagi, “Dari kaum laki-laki?” Beliau menjawab, “Bapaknya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab.” Lalu beliau me-nyebutkan beberapa Sahabat yang lain.” [25]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaamiishh Shaghiir (no. 2419)], Ahmad (XVI/205, no. 175).
[2]. Sanadnya shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 74], Dikeluarkan oleh Abu Ya’la dengan sanad seperti yang terdapat dalam Fat-hul Bari (IX/199), dan riwayat tersebut juga terdapat dalam Shahiih al-Bukhari dengan maknanya (IX/224, no. 1559). Hal ini disebutkan oleh Syaikh al-Albani.
[3]. Hasan: [Shahiih al-Jaamiish Shaghiir (no. 7341)], Sunan Abi Dawud (XIII/178, no. 4811), Sunan at-Tirmidzi (IV/27, no. 2506).
[4]. Takhrijnya telah lalu.
[5] Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (II/1049, no. 1428(90)) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (IX/237, no. 5171), Sunan Ibni Majah (I/615, no. 1908).
[6]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/224, no. 5159) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/1043, no. 1365), Sunan an-Nasa-i (VI/134).
[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih Muslim (II/1055, no. 1432 (110)), hadits tersebut terdapat dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim secara mauquf dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Shahiih al-Bukhari (IX/244, no. 5177).
Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/240, no. 5173), Shahiih Muslim (II/1052, no. 1429), Sunan Abi Dawud (X/202, no. 3718).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir 539], al-Baihaqi (VII/263) dan ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim (II/1054, no. 1431), Sunan Abi Dawud (X/203, no. 3719 (18)).
[9]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 1955)], Shahiih Muslim (II/1054, no. 1430), Sunan Abi Dawud (X/204, no. 3722).
[10]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1316)], Shahiih Muslim (III/ 1615, no. 2042), Sunan Abi Dawud (X/195, no. 3711).
[12]. Shahih: Shahiih Muslim (III/1625, no. 2055).
[13]/ Shahih: [Shahiih al-Jaamiish Shaghiir (no. 1226)], Sunan Abi Dawud (X/333, no. 3836).
[14]. Shahih: [2708], Sunan Ibni Majah (II/1114, no. 3359), dan Abu Ya’la dalam Musnadnya (I/31, I/37 dan II/39) dan beberapa tambahan.
[15]. Sanadnya shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 93], al-Baihaqi (VII/268).
[16]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah ( no. 1537)], Shahiih Ibni Hibban (313, no. 1285).
[17]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1538)], Sunan an-Nasa-i (VI/127), Sunan Ibni Majah (I/611, no. 1896), Sunan at-Tirmidzi (II/275, no. 1094) tanpa lafazh “فِي النِّكَاحِ”
[18]. Shahih [az-Zifaaf, hal. 108], Shahiih al-Bukhari (IX/202, no. 5147), Sunan Abi Dawud (XIII/264, no. 4901), Sunan at-Tirmidzi (II/276, no. 1096).
[19]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/314, no. 5214), Shahiih Muslim (II/1084, no. 1461), Sunan Abi Dawud (VI/160, no. 2110), Sunan at-Tirmidzi (II/303, no. 1148).
[20]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3266)], Sunan at-Tirmidzi (V/369, no. 3985).
[21]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3265)], Sunan at-Tirmidzi (II/315, no. 1172).
[22]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7741)], Shahih Muslim (II/ 1091, no. 1469), al-Farku artinya al-Bughdhu (membenci), sebagaimana disebutkan dalam Syarh Shahiih Muslim karya Imam Nawawi (X/85) terbitan Qurtubah.
[23]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1501)], Sunan at-Tirmidzi (II/ 315, no. 1173).
[24]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1603)], Sunan Ibni Majah (I/633, no. 1969) dan ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (VI/171, no. 2119), Sunan at-Tirmidzi (II/304, no. 1150), Sunan an-Nasa-i (VII/63).
[25]. Shahih: [Shahiih as-Sunan at-Tirmidzi (no. 3046)], Sunan at-Tirmidzi (V/364, no. 3972).
Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Artikel: https://almanhaj.or.id/1303-kewajiban-mengadakan-walimah.html