Dampaknya seperti apa, kan ada orang yang justru secara sengaja menyebarkan kengerian-kengerian lantaran impact dari sensasinya itu awarding buat dia,” kata Ratih. “Jadi kalau orang takut, orang ngeri, orang kuatir menjadi materi dia untuk kasak kusuk.
Belum lagi respons baliknya ke dia membuat dia lebih senang,” tambahnya. Menurut Ratih, hal ini berkaitan dengan pribadi orang yang menyebarkan berita. Pendapat serupa juga diungkapkan Tri. “Oleh karena perlu hati-hati dalam memberitakan atau menyebarkan informasi,” kata Tri.
Pemberitaan Media Massa
Sedangkan untuk menjaga agar trauma masyarakat tidak menjadi lebih berat, media juga perlu memperhatikan porsi pemberitaan. Ratih mengatakan, cara pemberitaan, obyektivitas, kalimat, dan framing yang digunakan bisa membantu pemulihan trauma masyarakat.
Media juga perlu memunculkan harapan untuk membantu masyarakat merasa lebih aman. “Kita menggelontorkan gerak anti-teroris, bahwa semua bangsa bersatu melawan teroris itu memberikan harapan. Ini lho kita sama-sama nih,” kata Ratih “Apresiasi terhadap korban dihargai sebagai martir.
Itu kan ada empati di situ. Itu membantu (masyarakat) untuk sembuh (dari trauma),” tambahnya. Selain itu, menumbuhkan harapan bahwa keadaan akan segera aman. Bukti dari harapan tersebut juga membantu masyarakat untuk lebih tenang. “Penanganan-penanganan sesuai dengan hukum yang dilakukan dan secara cepat, tanggap, dan tegas. Itu juga membantu masyarakat pulih kembali,” kata Ratih. “Karena ada jaminan rasa aman tadi, dan harapan rasa aman,” tambahnya.
Bentengi Diri
Selain dari orang yang menyebarkan berita dan media, benteng diri sendiri juga diperlukan dalam mengatasi trauma pada masyarakat. “Pertama penting untuk tetap bersikap hati-hati dan waspada, serta mengikuti pengumuman atau informasi dari pihak-pihak resmi dan kredibel seperti pemerintah,” ungkap Tri.
“Jangan bergantung pada sumber informasi dari media atau jejaring sosial,” tegas Tri. Selain itu, Tri juga mengingatkan untuk selalu mengkonfirmasi sumber berita. Tidak langsung percaya pada berita yang beredar juga penting untuk menjaga kita tidak mudah panik atau paranoid.
“Kedua, penting juga untuk membatasi akses informasi negatif. Jangan terlalu ingin tahu dan terus menerus melihat berita atau tayangan terorisme,” ujar Tri. “Itu akan memicu kecemasan berlebih dan menciptakan distorsi penghayatan realita (menganggap keadaan lebih buruk dari realita sebenarnya karena dibanjiri informasi negatif),” sambungnya.
Tri menekankan untuk memfokuskan diri pada aktivitas sehar-hari yang biasa dilakukan untuk mengurangi ketegangan. “Jika tidak ada pengumuman resmi maka silakan tetap mengunjungi tempat-tempat keramaian dan melakukan aktivitas normal,” imbuhnya. []
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Media Berperan pada Trauma Masyarakat Pasca Teror Bom Surabaya”, https://sains.kompas.com/read/2018/05/15/190000623/media-berperan-pada-trauma-masyarakat-pasca-teror-bom-surabaya.
Penulis : Resa Eka Ayu Sartika
Editor : Yunanto Wiji Utomo