Breaking News
Dakwah di dalam keluarga - Ilustrasi gambar

Bekal Mendidik Keluarga, bag. II

thayyibah.com :: Telah berlalu enam poin pembahasan mengenai bekal dalam mendidik keluarga. Maka pada bagian yang ke dua in akan diilanjutkan bekal mendidik keluarga yang tersisa, yang mana poin tersebut tidak kalah penting dari sebelumnya.

 

  1. Waktu yang lama

Lapang dada, tidak terburu-buru, nafas yang panjang dalam mendidik adalah perkara-perkara mendasar. Tidak mudah menghilangkan kemungkaran yang telah bertahun-tahun dibiasakan atau sifat tercela yang awalnya menjadi kebiasaan anggota keluarga, tidak bisa dalam sehari semalam. Dibutuhkan usaha merubah secara bertahap, memulai dengan yang lebih penting lalu yang penting, tidak tergesa-gesa ingin melihat hasil, jalan ribuan kilo diawali dengan langkah pertama. Siapa yang berjalan di atas jalan yang benar maka dia akan sampai ke tujuan, siapa yang rajin mengetuk pintu, maka akan dibuka untuknya. Maka hendaknya kita bersabar menghadapi kekurangan keluarga dan terus mendidik mereka bahkan setelah waktu berlalu cukup lama. Contohlah kesabaran Nabi Nuh alahissalam dalam berdakwah, 950 tahun beliau berdakwah dan berusaha mendidik keluarga dan kaumnya yang membangkang. Semoga bersamaan dengan berlalunya waktu, Allah alirkan pahala yang tiada hentinya.

 

  1. Jangan menunda

Janganlah terlambat mendidik atau menundanya kecuali karena alasan syar’i atau kemaslahatan yang pasti, karena diri manusia harus dididik sejak hari pertama yang dengan itu ia melihat hakikat dan mengenal rambu-rambu jalan kehidupan. Istri mulai dididik sejak ia menginjakan kakinya ke rumah suaminya. Anak-anak di didik sejak hari pertama mereka dilahirkan oleh para ibu mereka dengan tangisan mereka yang melengking.

 

  1. Menjaga penglihatan dan pendengaran

Apa yang didengar, dilihat dan dibaca keluarga bisa menjadi sebab datangnya kemaksiatan dan penyimpangan. Maka membatasi penglihatan dan pendengaran mereka seminimal mungkin dari hal-hal yang terlarang oleh syariat adalah keharusan. Tidak semua buku perlu untuk dibaca, tidak semua kaset, siaran televisi, video dan hal-hal yang terpampang jelas di depan mata pantas untuk dilihat. Saat anak-anak belum mampu untuk membedakan dan menyaring apa yang mereka lihat dan dengar, maka orangtulah yang menjadi filter mereka. Begitupula seorang suami, hendaknya ia memberikan ‘hijab’ untuk istrinya dari tontonan dan pembicaraan yang tidak bermanfaat apalagi telah jelas kemaksiatannya. Pun istri tidak bisa berdiam diri atau bermudah-mudahan membiarkan suami menonton tayangan yang memperlihatkan aurat atau ikut nimbrung pada pembicaraan yang mengandung kesesatan dengan alasan ia telah dewasa sementara ia tidak ikut andil untuk memberi nasehat dan mendakwahinya.

 

  1. Jangan diamkan kemungkaran

Jangan mendiamkan kemungkaran, menerima kemaksiatan atau membiarkan kesalahan keluarga. Diantara wujud kecintaan dan tuntutan kasih sayang kepada keluarga adalah menjaga mereka dari diri yang merupakan musuh pertama mereka dan membentengi mereka dair musuh yang mengintai, menjebak dan memberangus mereka.

 

  1. Tidak melampaui batas

Serius itu harus, dan perhatian itu diperlukan, akan tetapi bila sesuatu melampaui batasnya, maka ia berbalik menjadi sebaliknya. Maka sikap yang keras bukan pada tempatnya, kekuatan bukan pada saatnya, ketat yang berlebih-lebihan, semua itu menghadirkan penentangan dan penolakan, menyebabkan keengganan dan kejauhan. Allah Taala telah menjadikan kadar tertentu bagi segala sesuatu, sikap realistis mengeluarkan seseorang dari krisis sikap was-was, setiap orang berbuat salah, siapa yang tidak salah dan bebas dari kekeliruan setelah Nabi yang ma’shum? Maka bijaklah saat ingin bersikap keras kepada keluarga, kadang ini diperlukan sebagai bentuk pendidikan, bahkan Rasulullah memerintahkan untuk menggantung cemeti di dalam rumah. Namun, menggantung cemeti, bersikap keras dan tegas tidak sama dengan menjadi diktator. Perintah yang disertai kasih sayang dan cinta akan tertinggal di dalam hati, sedangkan perintah yang senantiasa dibumbui kekerasan akan hilang bersamaan dengan perginya sang pemberi perintah.

 

  1. Memberikan apresiasi dan semangat

Saat terjadi kesalahan dan kekeliruan, kita bisa menyalahkan, menyudutkan, mengkritik, dan mempermalukan. Namun kita tidak mampu memuji secara baik kepada anak, istri atau suami yang telah berbuat baik. Kita berhasil menghisab kesalahan dan menghukum mereka, namun gagal dalam memberikan balasan dan dorongan. Kita ahli dalam melemahkan semangat orang, tetapi buruk dalam memompa gairahnya. Saat mendapati kekurangan anggota keluarga, maka nasehati ia dengan baik dan tunjukkan kebenarannya kemudian berilah semangat agar dia percaya diri untuk bisa lebih baik, tawarkan bantuan bila diperlukan. Misalnya seorang anak yang memukul temannya, maka bisa jadi ia salah, biarkan ia memberi alasan dan nasehati apabila ia keliru dalam memahami, tunjukkan bahwa ia adalah anak yang baik dengan membimbingnya meminta maaf atau membuatkan hadiah untuk temannya. Kemudian jangan lupa berikan apresiasi untuknya atas semangatnya memperbaiki kesalahan.

 

  1. Bijak memberi hadiah

Ada kekeliruan lain dalam urusan pemberian hadiah dan insentif. Kebanyakan hadiah yang diberikan bersifat dunia dan materil, kesenangan sesaat dan sesuatu dari dunia yang tidak besar. Hadiah seperti ini tidak masalah, namun siapa yang menggabungkannya dengan hadiah mendasar, yaitu mengingatkan mereka kepada pahala akhirat di hari kiamat, membuat mereka memperhatikan dan memandang kepada apa yang Allah siapkan bagi mereka berupa pahala yang mulia dan kebaikan yang besar bagi siapa yang memperbaiki dirinya, dan meluruskan kebengkokannya, memegang kebaikan dan melakukan kebaikan yang membahagiakan di dunia dan akhirat. Ceritakan kepada mereka kisah Uwais Al-Qarni yang menjadi terkenal di langit atau Asiyah istri Fir’aun yang Allah bangunkan istana di surga. Tanamkan bahwa Allah di akhirat lebih besar dan kekal, adapun hadiah yang diberikan adalah rahmat Allah yang di dunia sebelum di akhirat.

 

Demikiannya beberapa hal yang hendaknya senantiasa menjadi perhatian kita dalam pendidikan keluarga. Penyebutan angka 13 bukanlah pembatasan, namun hal-hal inilah yang penting dan sering sekali dilalaikan seorang pendidik, khususnya saat mendidik keluarga. Semoga Allah berikan keberkahan kepada keluarga-keluarga kaum muslimin yang bersemangat untuk belajar dan istiqamah di atas sunnah.

 

Wallaahu alam

 

Sumber:

  • Al-Quranul Kariim dan Terjemahannya dalam bahasa Indonesia
  • 100 Fikrah li Tarbiyah al-Usrah(Terjemah) oleh Abdul Latif bin Hajis al-Ghamidi, Penerbit Darul Haq cet.1 Okt. 2017, Jakarta.

 

Penulis:  Titi Komalasari Ummu ‘Abdirrahman

Artikel Muslimah.or.id

About A Halia