Oleh : Iramawati Oemar
Pagi tadi saya kaget, membuka medsos dan beberapa grup WA, bertebaran screenshoot dari twitter yang isinya semua membully Goenawan Mohamad.
Menyedihkan, karena seorang jurnalis senior sekelas Goenawan dihujat dan ditertawakan bahkan disamakan dengan Tsamara Amany, politisi muda yang baru belajar berpolitik. Sangat tidak berkelas sebenarnya, Goenawan kok dibandingkan Tsamara.
Siapa yang tak kenal Goenawan Mohamad, alias GM. Namanya sepopuler nama majalah yang dulu dipandeganinya. Di tahun-tahun ’80an hingga ’90an, majalah Tempo yang dirintis oleh GM bisa dibilang satu-satunya majalah berita yang menerapkan jurnalisme investigatif. Sebuah berita khusus diulas dari segala sisi dengan reportase komplit, liputan menyeluruh. Sehingga rasanya tak perlu baca banyak koran untuk tahu dari ‘a’ sampai ‘z’ tentang kasus yang sedang ramai dibincangkan publik. Tempo telah merangkum semuanya secara komprehensif.
Dulu di tahun ’90an, saya masih kuliah dengan kondisi keuangan yang sangat minim tapi ingin bisa membaca majalah Tempo. Akhirnya bersama 4 orang teman seasrama, kami patungan seminggu sekali, untuk beli majalah Tempo yang bagi kantong kami tergolong mahal pake banget.
Sayangnya, patungan beli Tempo ini hanya berjalan beberapa bulan, karena satu demi satu teman berhenti patungan. Ada yang pindah kost, ada pula yang mengalokasikan keuangannya untuk hal lain.
Untunglah ada teman kuliah yang menawarkan meminjamkan majalah Tempo milik Papanya, tapi dengan syarat agak telat seminggu. Kalau Tempo edisi terbaru sudah terbit, maka majalah pekan lalu bisa saya pinjam. Oke, agak telat tak apalah, yang penting tetap bisa baca.
Ketika sudah bekerja dan punya uang sendiri, saya menambah bacaan selain Tempo. Dan saya termasuk yang kecewa ketika Tempo dicabut SIUPP-nya oleh MenPen Harmoko pada pertengahan tahun 1994.
Bagi saya, saat itu majalah Tempo adalah majalah berita yang dijiwai oleh idealisme, bukan semata tujuan komersial. Mewartakan kebenaran dengan segala resikonya, lebih dikedepankan ketimbang pilihan untuk tetap eksis. Padahal untuk di”kelas”nya saat itu, Tempo bisa dikatakan tak ada tandingannya. Segmen pembacanya pun kalangan well educated.
Empat tahun kemudian, kondisi politik berubah drastis. Pasca gerakan reformasi, Presiden BJ Habibie tidak lagi menerapkan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers), semua majalah dan koran silakan saja terbit. Maka, Tempo pun kembali eksis. Sampai disini saya masih melihat Tempo tetap pada pijakan idealismenya. Tetap mampu menjalankan fungsi pilar ke-4 demokrasi.
Sayang sekali, 16 tahun pasca reformasi, Tempo mulai tidak lagi netral. Keberpihakannya nyata sekali dalam ajang Pilpres 2014. Bahkan majalah Tempo pula yang menurunkan tulisan bahwa US dolar akan tembus 13 ribu rupiah per dolar jika Prabowo menjadi Presiden. Sebaliknya, rupiah akan stabil di kisaran 10 ribu rupiah per dolar jika Jokowi yang memenangkan pilpres. Berita ini kemudian disebarluaskan pasukan cyber pendukung Jokowi, dibawa ke forum-forum diskusi di dunia maya. Prediksi yang karena terus digaungkan, dipercaya seolah jadi keniscayaan.
Sebuah prediksi yang kemudian tak pernah terbukti. Karena sejak Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2014, USD yang saat itu nilai tukarnya masih di kisaran 11 ribuan, perlahan naik, naik, naik hingga tembus 12 ribu. Kian lama makin mendekati 13 ribu, lalu tembus 13 ribu, dalam waktu kurang dari setahun. Bahkan menjelang 1 tahun pemerintahan Jokowi, USD sempat melampaui 14 ribu rupiah per dolar, hingga jadi olok-olok nettizen, disamakan dengan call center Mc.D atau bank-bank Pemerintah.
Inilah salah satu dampak media besar yang tidak lagi netral dan terlalu berpihak. Melalui media yang sudah punya nama dan selama ini dikenal kredibel, Tempo telah mempengaruhi publik bahwa hal buruk akan terjadi jika anda membantu memenangkan calon presiden yang bukan dukungan kami. Sebaliknya, hal bagus akan terjadi jika anda mendukung capres jagoan kami.
Ketika prediksi kemudian berbalik 180 derajat, apakah jurnalis-jurnalis Tempo memiliki rasa tanggung jawab moril? Setidaknya, ini harus jadi pelajaran moral yang sangat berharga bagi redaktur Tempo
***
Keberpihakan Tempo yang sangat telanjang itu entah karena kebetulan semua redaktur dan jurnalisnya memang pro Jokowi, ataukah karena kebijakan top manajemennya? Ah, itu bukan ranah kita membahasnya. Yang jelas, Goenawan Mohamad sebagai pendiri Tempo juga terang-terangan mendukung Jokowi. Salahkah GM berpihak dan menunjukkan dukungannya?! Oh tentu saja tidak! Itu hak politik GM. Dia bebas mendukung siapa saja yang menurutnya layak didukung.
Namun dengan kapasitas besar yang dimilikinya, dengan nama besarnya sebagai jurnalis senior, dengan segudang pengalamannya, dengan sederet jaringan yang dimilikinya, selayaknya GM bisa menjadi pendukung cerdas yang mampu memberikan masukan berharga bagi Pak Jokowi.
Bukan sekedar jadi pendukung sebagaimana yang lazim disebut “kecebong” di media sosial.
Orang sekelas GM semestinya bisa menjadi pendukung kritis, tetap mendukung namun bisa “membisikkan” kritik membangun kepada Pak Jokowi.
Sayang sekali, GM terjebak menjadi pendukung yang membabi buta dan hanya bisa memuji, bahkan terhadap hal yang agak konyol sekalipun. Dan inilah yang membuat GM dibully habis hari-hari ini.
Saya kaget ketika GM mengkomentari foto Pak Jokowi dan istrinya yg lagi naik motor hujan-hujanan lalu ada warga yang numpang selfie. Yang bikin kaget bunyi komentarnya. Karena GM seolah kagum dan bangga dengan pencitraan seperti itu, bahkan lebih konyol lagi membandingkan dengan Putin, presiden Rusia. Ckckck…
Mari kita kupas satu demi satu.
Apakah cara pencitraan dengan boncengan naik motor di tengah guyuran hujan, itu bagi orang sekelas GM masih memukau?!
Tidakkah itu mengusik akal sehatnya?! Efektifkah cara seperti itu untuk mendongkrak citra?!
Apakah berbuat seperti itu ada HASIL NYATA buat rakyat?!
Oh come on! Apakah setelah selesai aksi boncengan di tengah hujan plus selfie dengan beberapa orang yang kegirangan bisa berfoto dengan presiden, kemudian harga BBM jadi turun, hutang terpangkas, impor beras dan garam dibatalkan, Perpes yang mempermudah TK Asing bekerja di Indonesia dicabut?! Tidak!!!
Mau seribu orang yang berfoto selfie bareng Presiden pun, tak akan berpengaruh pada nasib rakyat, tak akan membuat rakyat lebih sejahtera dan negara jadi lebih makmur. Mau berhujan-hujan 3 hari 3 malam sekalipun, tidak akan membuat bangsa ini jadi lebih berdaulat, berswasembada pangan, bebas gizi buruk bagi anak-anak, infrastruktur yang pada melorot menjadi kokoh. Tidak, sungguh gimmick-gimmick macam itu gak ada pengaruhnya sama sekali pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Seharusnya, jurnalis kawakan selevel GM tahu betul “public relation” yang lebih efektif dan elegant. Seorang Presiden 24 jam sehari, 7 hari seminggu, keamanan, keselamatan dan kesehatannya dijaga dan dijamin oleh negara. Tidak kenal hari libur. Jadi sungguh konyol menerabas hujan dengan naik motor dan (seolah) sendirian di jalanan. Bagaimana kalau kemudian presiden dan ibu negara sakit?! Bukankah negara juga yang dirugikan?!
Bagaimana kalau motornya tersandung batu atau terperosok lubang yang tak terlihat karena hujan, lalu jatuh dan Presiden serta ibu negara terluka bahkan celaka?! Bukankah negara juga yang terbebani?! Dan Paspampres kita akan jadi bahan gunjingan karena kekonyolannya membiarkan Presiden beraksi seperti itu.
Aneh saja jika seorang GM malah bangga dengan pencitraan model begitu, yang dia anggap dekat dengan rakyat. Padahal, kalau mau dekat dengan rakyat bisa banyak cara dilakukan.
Pak Jokowi bisa menepi, berteduh di rumah warga terdekat, beramah-tamah sembari menunggu hujan reda. Bukankah itu lebih spontan, lebih nature, dan tentu lebih berkesan di hati rakyat ketimbang cuma foto selfie sebentar. Dengan mampir dan mengobrol bersama warga Pak Jokowi justru bisa mendengar keluhan masyarakat apa adanya tanpa settingan, tanpa rekayasa. Dan masih banyak cara lain untuk menggambarkan kedekatan secara fisik dengan rakyat.
Dan orang sekelas GM semestinya bisa memberikan masukan mana yang bagus, efektif, menarik, natural, untuk dilakukan, dan mana yang sebaiknya dihindari karena terlihat terlalu dibuat-buat. Lazimnya orang naik motor kalau mendadak hujan tapi lupa bawa jas hujan ya berteduh, bukan?!
Kedua, soal Putin. Kenapa harus membandingkan dengan Putin? Kenapa harus bawa-bawa kepala negara lain? Bukankah ini mengundang masalah dengan negara lain?! Kalau Tsamara yang melakukan itu tanpa perhitungan, okelah, dia memang “anak kemarin sore” dalam urusan politik dan hubungan antar negara. Tapi kalau seorang GM melakukan hal yang sama, apalagi si Tsamara sudah “kena batunya”, seharusnya GM bisa lebih berhati-hati untuk tidak mengundang reaksi pihak Rusia.
Kalau GM pendukung Jokowi, seharusnya dia ikut menjaga keharmonisan hubungan antara RI dengan Rusia. Tak perlu direcoki dengan kenyinyiran yang tidak perlu di medsos.
Celakanya, justru itulah yang dilakukan GM : menyinyirin kepala negara Rusia, dengan membandingkannya dengan Jokowi, hanya untuk urusan selfie yang menurutnya itu cerminan “dekat” dengan rakyat. Haduuuh konyol!
Alhasil, terciptalah kegaduhan baru. Twitwar konyol yang tidak perlu. Dan itu di-inisiasi dari cuitan tak perlu seorang GM.
Ah sudahlah. Pak GM telah memilih, semakin tua bukan semakin bijak. Setahun yang lalu beliau pernah di”semprot” putri Pak Amien Rais, karena mengunggah foto Pak Amien sedang duduk sambil menunduk, lalu oleh GM diberi caption yang menggiring, framing, seakan Pak Amien sedang tertunduk malu.
Putri Pak Amien Rais pun meradang. Dia menuduh GM mencomot foto itu dari akun miliknya, padahal itu foto Pak Amien ketika khusyuk berdoa saat menunggui putrinya hendak melahirkan. Coba bayangkan, foto seorang kakek yang sedang khusyuk berdoa menunggu kelahiran cucu, kok disalahgunakan dengan caption nyinyir?!
Dan atas ke-gegabah-annya itu, GM pun harus menuai bully, bahkan disemprot oleh seorang anak muda yang umurnya pantas jadi anak GM.
Menyedihkan, bukan?!
Sekali lagi, sungguh disayangkan, nama besar GM kok memilih jadi pendukung yang nyinyir. Bukan mengambil peran yang lebih besar, yang bisa memberi masukan berharga kepada Presiden, agar tidak jadi bahan tertawaan dan sindiran nettizen. Alih-alih memberikan masukan berharga, GM justru menjatuhkan pamornya sendiri sehingga jadi obyek bullyan nettizen. Sayang sekali, Pak GM.