thayyibah.com ::
Saya awali tulisan ini dengan segala puji syukur hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang dari-Nya lah segala sesuatu bermula, dan atas Rahmat dan Rahim-Nya semuanya bermakna. Termasuk apa yang ingin saya tuliskan saat ini, semoga bisa menjadi pelajaran serta pengajaran bagi semua terlebih lagi saya yang masih sangat perlu untuk terus belajar, setiap hal dalam dunia ini mempunyai makna lewat kata maupun realita.
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raaf 179).
Setiap orang yang pernah hadir, singgah dalam kehidupan saya mempunyai kisah nya sendiri, banyak yang mereka berikan; setetes luka, secercah bahagia maupun hanya sebatas prasangkan kaca, semuanya penuh makna. Dari yang dekat tanpa jarak sampai yang hanya sebatas melihat dari jendela perkenalan. Agak canggung memang apa yang ingin saya kisah kan ini, karena ini tentang 2 orang ikhwan yang pernah saya kenal, dan saya katakan sebatas saya mengenal namun mereka meninggalkan kesan dan pelajaran bagi saya khususnya. Mereka mempunyai banyak kesamaan, dan kesamaan ini yang membuat saya ingin bertutur tentang mereka, tidak penting siapa orangnya yang patut diingat adalah pelajaran yang mereka berikan kepada saya khususnya.
Dari dulu saya mempunyai kekaguman kepada siapa saja yang sangat patuh dan taat kepada kedua orangtua khususnya ibu, terlebih lagi betapa kagumnya saya kepada seorang ikhwan yang mencintai ibu-nya, menghormati dan mentaati ibunya selama ketaatan itu berada lurus di jalan Allah azza wa jalla. Karena menurut saya, jika seorang ‘laki-laki’ begitu mencintai ibunya sudah ‘dipastikan’ dia menghormati dan menghargai perempuan. Dan ini tentang mereka berdua, mereka yang sama-sama mempunyai kecintaan dan hormat terhadap ibu mereka.
Di usia mereka yang masih muda, pandai, mapan dan memesona mereka berkeinginan untuk segera menikah. Ya, menikah adalah wujud ketaatan kepada Allah dan mengikuti sunnah nabi-Nya yang utama, niat tulus dan suci untuk semakin taat dan menjaga diri dari tipu daya dunia yang makin melenakan banyak pemuda seusia mereka membuat mereka mengambil keputusan untuk segera menikah. Dan hal pertama yang dilakukan adalah meminta restu dari sang ibu tercinta.
Namun, sang ibu memberikan lampu merah. Ibu yang sangat mereka hormati dan kasihi meminta
Mereka untuk bersabar beberapa tahun ke depan, karena alasan satu dan lain hal sang ibu melarang putranya menikah muda. Betapa kecewanya kedua ikhwan itu, tapi ‘restu Allah, restu orangtua’ sang ikhwan pun tidak bisa berbuat banyak akan keinginannya itu, sepertinya rasa hormat dan kasih sayangnya teramat besar untuk mengikuti apa yang diminta sang ibu tercinta.
“Keridhaan Allah ada pada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan-Nya ada pada kemurkaan kedua orang tua” (Riwayat Tirmidzi dalam Jami’nya (1/ 346), Hadits ini Shahih, lihat Silsilah Al Hadits Ash Shahiihah No. 516)
Mereka sama dalam hal itu, akan tetapi ada perbedaan besar setelahnya, yang saya ketahui dari mereka tentang perbedaan itu adalah sikap mereka dalam menghadapi ‘kesabaran’ penantian untuk mewujudkan keinginan mereka. Anggapan saya tentang, jika seorang ‘laki-laki’ begitu mencintai ibunya sudah ‘dipastikan’ dia menghormati dan menghargai perempuan tidak sepenuhnya benar ternyata, dan dari mereka saya dapatkan kenyataan itu.
Ikhwan A, saya masih memegang anggapan itu secara sempurna insya Allah. Ikhwan A, semakin shalih, memperbaiki diri adalah hal yang selalu ia lakukan dalam penantian, ia teguh pada janji Allah dengan penuh keyakinan.
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Semakin patuh dan taat penuh bakti kepada kedua orang tuanya terlebih lagi ibunya. Rasa hormat bukan hanya diberikan pada orangtua ataupun keluarga tapi juga setiap perempuan dalam kehidupannya, yang dikenal ataupun tidak. Ia menjaga diri dari segala perbuatan tercela.
Sedangkan ikhwan B, yang lebih dahulu saya kenal menorehkan keprihatinan yang begitu membekas. Setelah penolakan ibunya, sikapnya bertambah-tambah. Mungkin dapat dikatakan kebalikan dari sikap ikhwan A. Ikhwan B tidak mampu menjaga dirinya dengan baik, khususnya kepada setiap perempuan, matanya berpedar pada setiap kecantikan perempuan-perempuan yang dilihatnya, bahkan tidak segan-segan menggoda perempuan beristri. Sangat genit dan cenderung tidak sopan jika seksama dikenal. Padahal yang saya ketahui dari ibunya ikhwan B hampir sempurna sebagai seorang ibu, saya sangat mengenalnya, ibu yang shalihah, baik, tangguh dan bersahaja. Dari ibunya pula saya tahu bahwa ikhwan B itu sangat hormat dan patuh pada setiap perintah ibunya.
Dari kisah ini, ada hal yang ingin saya sampaikan walaupun pastinya saya tidak dapat jabarkan secara detail dan sempurna akan tetapi semoga bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja yang membaca.
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir” (yusuf: 87)
Bersedih hati karena gagal bersanding dengan dambaan hati wajar adanya. Tapi jangan menyurutkan kebaikan dalam diri.
Oleh : dakwatuna.com