Breaking News

Para Pencari Tuhan

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
BANYAK ORANG yang tertipu dengan ibadahnya. Merasa tenang kerana melakukan rutinitas ibadah tiap hari. Padahal ibadah yang paling berharga itu bukanlah yang paling banyak, tapi yang paling tulus. Saat hati selaras dengan tujuan ibadah, barulah seseorang benar-benar dekat dengan Allah, seperti kata Imam al-Ghazali, “Jangan tertipu oleh ibadahmu. Yang harus kauperiksa adalah hatimu: apakah ia bersama Allah atau bersama dunia?” Kerana kita bukanlah manusia yang sedang menjalani pengalaman spiritual. Tapi kita adalah mahluk spiritual yang sedang menjalani pengalaman manusia.

BANYAK ORANG yang rutin membaca al-Quran tiap hari. Tapi dirinya tak merasakan sentuhan makna ayat-ayat-Nya yang menegur, menggugah hati atau menuntun. Secara kasat mata, dirinya memang masih bernafas, masih menjalani hari, masih tampak ‘hidup’ di mata manusia. Tapi sejatinya jiwanya kosong, tidak bergerak, tidak peka, tidak mampu mengakses cahaya. Dosa sudah tak mampu lagi menimbulkan rasa takut dan gelisah. Padahal rasa takutlah yang biasanya menjadi garda terdepan atas perbuatan-perbuatan yang merusak diri. Akibatnya rasa rindu untuk bersujud berangsur-angsur meredup. Dan itulah yang namanya kehilangan kehidupan batin. Lagi-lagi Imam al-Ghazali mengingatkan, ‘Ketika engkau tak lagi tersentuh oleh al- Quran, tidak gentar oleh dosa, dan tidak rindu untuk sujud. Maka itu bukan hidup, tapi kematian yang belum dikuburkan”.

BANYAK ORANG yang mencari Tuhan di rumah ibadah dan di majelis kajian, tapi yang diperolehnya kebanyakan malah sekadar cerita atau dongeng dari penceramah. Jika ada yang mengajarkan sesuai dengan al-Quran dan Hadits, malah dicurigai sebagai pengajian wahabi. Kerana itu Mawlana Rumi mengajarkan jika kita hendak mencari Tuhan, berjalanlah menuju keheningan, ke kedalaman batin, ke ruang yang tak tersentuh oleh hiruk pikuk dunia. Di tempat itu, yang akan kita temukan adalah jiwa kita, bukan tubuh, bukan pikiran, tapi kesadaran yang paling inti. Dan di ruang itulah, Tuhan terasa begitu dekat; tidak lagi sekadar menyelami siapa nama kita, pekerjaan apa atau apa yang kita sukai -tapi siapa ‘aku’ di balik itu semua, kerana pencarian sudah masuk ke pusat jiwa yang sunyi. Dan pada titik itu, niscaya kita akan mendapatkan diri ini tidak pernah terpisah dari Tuhan.

BANYAK ORANG yang kemudian sakit hati ketika ia distigma sebagai sosok yang mabuk agama. Padahal tak ada yang mampu menyakiti kita kecuali pikiran kita, kata Mawlana Rumi. Tak ada yang membatasi kecuali ketakutan kita, dan tak ada yang mampu mengendalikan kecuali keyakinan kita. Sesungguhnya kalimat ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cermin untuk melihat diri kita yang paling jernih. Rasa sakit yang kita rasakan seringkali bukanlah akibat peristiwa itu sendiri, melainkan berasal dari narasi dan penilaian yang kita tumpuk dalam benak. Pikiran kitalah yang mengubah sebuah kekecewaan menjadi luka yang berkepanjangan. Kerana hidup yang sejati bukan sekadar bergerak -tapi mempunyai hati yang peka, lembut dan mampu kembali.

Sekian.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur