Oleh : Geisz Chalifah

Donald Trump dan Joko Widodo tampak berbeda — satu blak-blakan, satu berbahasa halus — tapi keduanya punya pola kekuasaan yang serupa: populis yang berubah menjadi tiran. Trump berbicara tanpa topeng. Ia berteriak, menyerang, dan menampilkan wajah kekuasaan yang kasar. Jokowi sebaliknya: menampilkan kesederhanaan, tutur santun, dan citra ayah bangsa. Tapi di balik itu, kelicikannya bekerja jauh lebih senyap dan efektif.
Keduanya sama-sama alergi pada lawan yang tak bisa dikendalikan. Trump membenci Zohran Mamdani — politisi muda New York yang menolak tunduk pada konglomerat. Jokowi menghadapi Anies Baswedan — sosok yang menang di Pilkada DKI 2017 di luar restu kekuasaan.
Pada Pilkada itu, semua kekuatan dikerahkan untuk menjegal Anies. Namun rakyat Jakarta membalikkan permainan: modal dikalahkan oleh aspirasi. Anies menang, dan kemenangan itu menjadi luka politik bagi Jokowi dan lingkar oligarkinya. Dari sanalah semuanya berubah.
Jokowi belajar: kekuasaan tak boleh dibiarkan kalah oleh rakyat lagi. Maka lahirlah strategi baru — sistem harus dikuasai dari dalam.
Mahkamah Konstitusi diubah fungsinya dari penjaga konstitusi menjadi pagar kekuasaan. Putusan yang membuka jalan bagi anaknya, Gibran, bukan sekadar kontroversi; itu bukti bahwa hukum bisa dibelokkan. Tiga hakim menyatakan dissenting opinion, tapi suara mereka tenggelam di tengah orkestrasi politik yang disiapkan dengan rapi.
Lalu Pilpres usai, dan Jokowi berhasil memastikan kendali tetap di tangannya — bukan lewat jabatan, tapi lewat jaringan. Namun satu hal masih mengganggu: Anies belum mati secara politik.
Menjelang Pilkada DKI, skenarionya kembali disusun. Para ketua partai dipanggil dan diarahkan untuk mendukung calon tunggal. Partai yang sempat mendukung Anies diberi sinyal: jangan coba-coba. NasDem mengerti pesan itu; PKB pun paham risikonya. Cak Imin bahkan menggambarkannya dengan jujur: “Mobilnya memang di kami, tapi BPKB-nya ada di sana.”
Kali ini, bukan rakyat yang dihadapi Jokowi, melainkan sistem yang sudah ia tata sendiri — dengan bansos sebagai umpan, aparat sebagai alat, dan tekanan politik sebagai jaring yang menjerat.
Trump gagal menundukkan hukum; Jokowi berhasil menjadikannya alat. Dan bila ukuran tirani adalah seberapa jauh seseorang mampu menjinakkan sistem, maka Jokowi — dengan seluruh eufemismenya — jauh lebih berbahaya dari Trump yang berteriak.
Thayyibah