Breaking News

Makan Nasi dengan Garam

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
SECARA BERSELOROH Gus Dur pernah bilang begini; “Hanya ada dua polisi yang bisa dipercaya, yaitu polisi tidur dan Hoegeng”. Siapa Hoegeng? Beliau adalah mantan Kapolri yang hidupnya jujur dan sederhana, alias tidak kaya raya seperti kebanyakan perwira tinggi Polri saat ini. Ada kalimat menarik dari Pak Hoegeng yang tersimpan dalam ingatanku, “Selesaikan tugas kita dengan kejujuran, kerana kita masih bisa makan nasi dengan garam”. Kata kejujuran yang beliau sampaikan bukan hanya soal moral, melainkan fondasi kehormatan seorang manusia. Martabat tidak diukur dari harta yang dikumpulkan atau fasilitas yang dimiliki, melainkan dari bagaimana seseorang tetap tegak dalam menjalankan tugas meski hidup dengan sederhana. ‘Nasi dengan garam’ adalah simbol kesahajaan, sebuah pesan bahwa hidup sederhana jauh lebih mulia dibanding hidup mewah yang dibangun dari kebohongan, atau lebih terhormat daripada kesederhanaan yang dibuat-buat dan yang ‘lahir dari gorong-gorong’.

JENDERAL HOEGENG menunjukkan bahwa integritas bukan kemewahan, melainkan kebutuhan pokok dalam kehidupan berbangsa. Tanggung jawab publik adalah amanah yang harus dijaga. Ia seakan berkata, “Lebih baik miskin harta daripada miskin moral”. Hoegeng tidak sendirian. Jauh sebelum Indonesia merdeka, para tokoh kebangkitan nasional dan pergerakan kemerdekaan saat itu kebanyakan adalah para kutu-buku dan miskin. Perjuangan mereka bukan cuma di jalan tapi juga di perpustakaan dan ruang diskusi. Ambil contoh Bung Hatta, Bung Karno, Sutan Syahrir dan Tan Malaka. Waktu diasingkan ke Boven Digul, Papua, Hatta tidak menghabiskan waktunya dengan mengeluh. Beliau datang dengan membawa 16 peti berisi buku, bukan koper yang penuh dengan pakaian. Waktu masih sekolah di HBS (setara SMA), Bung Karno sudah menjadi pembaca yang rakus; ia melahap habis buku-buku politik, filsafat, sejarah dan ideologi dari koleksi pribadi HOS Tjokroaminoto, mentor sekaligus bapak kosnya. Sejak remaja Sutan Syahrir sudah tenggelam dalam bacaan filsafat dan sastra. Pas kuliah di Belanda, beliau aktif dalam diskusi-diskusi intelektual, terutama yang berkaitan dengan sosialisme dan politik. Waktu diasingkan di Belanda, Tan Malaka membawa satu peti khusus buku, mulai dari soal agama, ekonomi, politik, sejarah, matematika sampai teori pendidikan. Ia berkata, “Selama toko buku masih ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan yang dikurangi”. Tak ada terbersit sedikit pun di benak mereka untuk mengumpulkan harta, apalagi dengan cara-cara curang atau tidak halal.

DALAM KONTEKS tugas negara, kejujuran bukan hanya menyangkut diri pribadi, melainkan menentukan nasib orang banyak. Seorang pemimpin atau aparat yang jujur akan membawa rasa aman, kepercayaan dan keteladanan bagi masyarakat. Seorang pejabat atau aparat negara mungkin bisa memiliki gaji besar dan rumah megah, tapi jika itu diperoleh dengan cara korup, semua akan kehilangan makna. Pada akhirnya warisan Hoegeng dan para tokoh bangsa di atas, adalah pengingat bahwa kemurnian hati jauh lebih berharga daripada gemerlap dunia. Makan nasi dengan garam mungkin terdengar sederhana, tapi itu adalah lambang kebebasan dari beban rasa bersalah dan penyesalan. Kehidupan yang jujur memberi ruang bagi kita untuk tidur nyenyak, dan berjalan dengan kepala tegak, tanpa rasa takut akan terbongkarnya kebohongan. Pesan sederhananya: ‘kesejahteraan sejati bukan berasal dari materi berlimpah, melainkan dari keberanian menjaga kejujuran, apa pun resikonya’.

BAGIKU, MENJADI pemimpin itu, jangan mohon untuk dihormati. Jadilah seseorang yang tak bisa mereka abaikan. Imam al-Ghazali berkata, “Pemimpin yang paling bahagia adalah yang paling takut kehilangan keadilan, bukan kekuasaan. Ia harus tidur dengan mata terbuka, kerana setiap keputusan adalah pertanggungjawaban di hadapan Tuhan”. Pemimpin harus menjadi aktor terbaik; di depan rakyat, ia harus menjadi ayah. Di depan ulama, ia harus menjadi murid. Di depan lawan, ia harus menjadi teman. Tapi di dalam hati, ia harus menjadi hamba yang paling rendah. Kerana pada akhirnya, yang menari di atas tali tipis kekuasaan tanpa jatuh hanyalah mereka yang tahu kekuasaan: bukan untuk dimiliki, tapi untuk disyukuri.

Sekian.

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.