Breaking News

Kita Tidak Bisa Memilih

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
SEORANG YANG tak kukenal mengirimkan message di akun media sosialku. “Mohon maaf abang, aku hanya ingin share kepada abang. Aku terlahir dari nafsu laki-laki yang lari dari tanggung jawab, yang aku bahkan tak tahu wajahnya seperti apa. Tapi aku diasuh oleh ayah yang rela naik motor menembus hujan badai, untuk putri kecilnya yang menangis ingin burger di malam tahun 2014 kala itu. Yang rela menempuh 50 km pulang pergi untuk mengantarkan obat, kerana katanya ia tak tenang tidur jika putrinya belum minum obat. Aku lahir dari darah manusia yang malu mengakuiku, tapi aku dirawat dan diasuh oleh sepasang kekasih tua yang selalu berteriak lantang “dia anakku!” Aku hanya ingin cerita saja Bang, kenapa ada manusia yang sebejat laki dan perempuan yang membuangku saat masih bayi”. Ia tak melanjutkan tulisannya, aku berharap wanita ini akan baik-baik saja setelah menumpahkan uneg-unegnya.

BEGITULAH KEHIDUPAN ini. Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa dan di mana, tapi kita bisa memilih akan jadi orangtua seperti apa. Bukan cerita burung jika kita membaca ada anak yang sejak lahir sudah terbiasa disambut suara tokek dan aroma tanah basah yang merembes dari retakan dinding kamar tidurnya. Yang terbiasa membaca dalam cahaya remang, menabung dari kepingan uang koin, dan menyimpan mimpi seperti benih dalam botol kecil, menunggu hujan agar ia tumbuh.

BEBERAPA HARI kemudian, perempuan yang tak kukenal itu menulis di akunnya. “Waktu kecil dulu, sering banget mikir: bagaimana rasanya kalau aku bisa memilih sendiri di keluarga mana aku ingin dilahirkan? Aku ingin punya tempat pulang yang bukan hanya bangunan, tapi juga pelukan. Aku ingin tumbuh di tengah hiruk-pikuk yang membuatku merasa dibutuhkan, bukan di tengah diam panjang yang membuatku bertanya sepanjang masa, ‘apakah kehadiranku benar-benar diinginkan? Aku ingin didekap saat takut, bukan dibentak kerana terlihat lemah. Tapi aku tahu, kita tidak bisa memilih dari siapa dan di mana kita dilahirkan. Yang bisa kupilih hanyalah bagaimana aku bertahan”.

DADAKU TERASA sesak jika sudah bicara soal anak-anak yang ditelantarkan, didzalimi atau dikorbankan oleh orangtua mereka. Ajak aku berdiskusi tentang apa pun, tapi jangan soal anak-anak. Akhirnya aku balas pesan perempuan itu dengan singkat, “Jika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang kita mau, artinya kita sedang menjalani apa yang Allah mau. Kerana apa yang terjadi dalam hidup kita adalah bagian dari takdir-Nya yang penuh hikmah”. Aku berharap dia tak lagi mengadu di media sosial atau mengadu pada mahluk. Sebab kita tidak pernah tahu apa yang lebih baik bagi kita, tapi Allah Mahamengetahui. Luka memang menyakitkan, tapi tak ada pertumbuhan tanpa luka dan penderitaan.

Sekian 

About Redaksi Thayyibah

Redaktur