Breaking News

Mental Miskin

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
HARI INI adalah Kamis ketiga supir kantorku izin tidak masuk kerja. Kerana mengantarkan anak sulung lakinya mengikuti tes masuk Kepolisian. Katanya tahun ini akan ada penerimaan 200 dari tamatan SMA dari 800 calon. Enam bulan sebelumnya, anaknya telah mengikuti berbagai pelatihan agar diterima sebagai abdi negara. Semangat anak ini luar biasa, dia bercita-cita ingin memperbaiki ekonomi keluarganya. Kerana hampir tiap hari otaknya dipenuhi dengan kata-kata emaknya, “Belajarlah yang rajin supaya kamu tidak miskin seperti kami”.

SEBULAN kemudian, di hari yang sama, supirku masuk kerja. Aku tanya, “Kok hari ini masuk pak? Bukannya hari ini hari untuk mengantarkan anak ke Polda?” “Gagal pak. Anak saya hanya sampai 250 besar. Katanya untuk nembus 200 besar harus punya jalur”, katanya datar. Ada raut kecewa di wajahnya. Apalagi kudengar dia malah disemprot ama bininya, “Sudah kubilang jangan coba-coba”. Padahal supirku kerja pagi pulang lembur semata untuk keluarganya, “Gitu deh pak, orang perempuan mah kagak ngarti, padahal saya kerja begini kan demi mereka”. Aku mengangguk pelan, coba memahami kehidupan mereka.

KEHIDUPAN SUPIR kantorku adalah potret kehidupan masyarakat kelas miskin di negeri ini. Mereka terjebak dalam waktu yang dihabiskan lebih dari 12 jam sehari, bukan waktu yang dihabiskan untuk investasi. Robert Kiyosaki berkata, “Mereka bangun setiap hari dan bekerja demi uang, tanpa meluangkan waktu untuk bertanya; apakah ada cara lain?” Rata-rata mereka dikatakan atau menjadi miskin kerana terkontaminasi dengan mindset orangtuanya. Mindset orangtua yang miskin biasanya berkata, “Beli rumah sendiri dulu, kerana rumah adalah investasi”. Sementara orangtua yang kaya, akan mengajak anaknya untuk berpikir, “Apa yang bisa kamu bangun, bukan hanya beli?” Mereka bicara tentang ide, arus uang, nilai waktu, bukan sekadar kepemilikan. Kerana rumah yang tak menghasilkan apa-apa hanyalah liabilitas yang menyamar sebagai asset.

SUATU HARI kupanggil pak supir ke ruangan kerjaku. “Apa yang bapak katakan kepada anak bapak setelah dia gagal?” Dia berkata, “saya ajak dia bicara, apa yang dia pelajari setelah kegagalan itu?” “Oh jadi bapak tak marah sama anak kamu setelah menghabiskan biaya untuk ikut pelatihan tempo hari”, tanyaku lagi. “Tidak pak. Orangtua saya sudah mewariskan saya rumah, utang dan sejumlah larangan. Dan itu beban yang harus saya tanggung bertahun-tahun. Saya nggak mau anak saya menanggung beban yang sama pak. Cukup saya saja yang menanggungnya”, jawabnya. “Terus apa kata anak bapak”, tanyaku. “Dia cuma bilang, dia gak akan menyerah, berikutnya dia akan ikut tes masuk kantor imigrasi katanya”. Diam-diam aku kagum dengan cara berpikir bapak dan anak ini. Si bapak telah mewariskan cara berpikir, ketenangan saat menghadapi ketidakpastian, dan keberanian untuk memilih jalan sendiri kepada anaknya.

SEBELUM KELUAR dari ruangan, dia sempat bercerita. Beberapa hari lalu, ada seorang oknum yang datang ke rumahnya, katanya mau mengembalikan berkas anaknya. Kerana dia masih di kantor, oknum tadi diterima sama istri dan anaknya. Si oknum cuma berpesan, “kalau ananda ingin mencoba tahun depan, saya jamin bisa diterima asal menyiapkan dana 200 juta untuk pengurusan”. Whatttt? kataku. Kalau kayak gini siapa yang miskin jadinya ..?!!

Sekian.

About Redaksi Thayyibah

Redaktur