Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
BEBERAPA PULUH tahun lalu, seorang Pengacara Amerika bernama Gerry Spence berkata, “Fungsi hukum bukanlah untuk memberikan keadilan atau menjaga kebebasan. Fungsi hukum adalah untuk menjaga agar mereka yang berkuasa tetap berkuasa”. Padahal untuk menciptakan masyarakat yang adil tidak mungkin dibangun di atas dasar kekuasaan; keadilan hanya akan tumbuh dari kesetaraan dan solidaritas. Dan kebebasan sejati tidak akan ada dalam masyarakat di mana kemajuan dicapai dengan menindas yang lemah demi keuntungan yang kuat.
KETIKA HUKUM bukan lagi sebagai penuntun keadilan, melainkan sebagai pagar berduri supaya kemarahan rakyat tetap di kandang, maka ketidakpatuhan sipil niscaya akan hadir sebagai bantahan. Pembangkangan sipil adalah sebuah kebutuhan fundamental. Ia mengisi sistem politik yang terbiasa menghitung kepala, tapi tak pernah mengukur aspirasi publik. Tapi gelombang protes seringkali dibungkam bukan dengan jawaban, tapi dengan payung hukum yang bertujuan untuk sekadar meredam, bukan untuk memenuhi tuntutan. Kerananya, ketidakpatuhan sipil akan terus bergulir sebagai bantahan bahwa; ‘hukum tidak suci jika kebisuan rakyat jadi jaminan’. Ketertiban tanpa keadilan hanyalah penjara yang menunda letusan kemarahan.
AKHIR-AKHIR INI dunia hukum kita sedang tidak baik-baik saja gegara selembar ijazah yang ‘katanya palsu’. Akibatnya publik terbelah, lebih banyak yang menduga ‘palsu’ ketimbang yang membela keasliannya. Dari sekadar masalah hukum biasa, oleh ‘para pemain politik’ masalah ijazah digeser menjadi ranah politik. Kerana dalam politik, kebenaran sering kalah oleh narasi. Dan narasi paling ampuh adalah menebar ketakutan, dan mengancam melaporkan ke Polisi. Bukan kerana benar, tapi kerana bentuk kriminalisasi seperti itu sangat efektif. Mereka ciptakan ketakutan agar kita lupa bertanya siapa sebenarnya yang menyalakan api. Penguasa biasa memainkan kartu truf ini -mengendalikan opini, menciptakan musuh bersama, dan membungkan pertanyaan kritis, jika sudah merasa terdesak oleh tekanan publik. Tujuannya, untuk membuat publik resah lalu datang menawarkan solusi; ‘demi kemaslahatan bersama dan kemajuan bangsa mari kita sudahi polemik ini’.
DALAM SITUASI seperti ini, solusinya sederhana sih; cukup tunjukkan ijazah aslinya ke publik. Sebab hidupmu adalah keputusanmu sendiri. Jika betah malu pada nuranimu, dan semua sesak di batin menyaksikan drama itu lalu lalang di hadapanmu, maka tak usahlah menghargai kebenaran. Dan sungguh balasan bermain-main menghadapi kebenaran adalah kauakan tetap dipermainkan oleh dunia. Dan balasan dari malu menghargai kebenaran, maka Allah akan mempermalukan hati nuranimu sendiri. Ingatlah bahwa orang dungu akan menganggap dirimu sebagai pahlawan dan menganggap mereka yang kritis sebagai penjahat.
Sekian
Thayyibah