Oleh : Herry Tjahjono

Pada suatu masa, di tengah kobaran dendam yang dibungkus panji-panji agama, dua raksasa sejarah saling berhadapan. Saladin dari Timur, dan Richard si Hati Singa dari Barat. Perang Salib Ketiga meletus—dan dunia bersiap mencatat darah, bukan nurani. Tapi sejarah, kadang menyelipkan embun di sela-sela api.
Richard jatuh sakit. Tubuhnya menggigil, jiwanya limbung. Lawan di hadapannya bisa saja bersorak. Tapi Saladin melihat sesuatu yang lebih jauh dari kemenangan. Ia melihat seorang manusia. Maka dikirimlah tabib terbaik, salju untuk menurunkan demam, dan buah dari tanah Damaskus yang subur–bukan sebagai hadiah, tetapi sebagai hormat.
Saat kuda Richard mati di medan laga, Saladin tak tertawa senang. Saladin malah mengirim dua ekor pengganti. “Perang ini harus adil,” katanya. Kehormatan, bukan hanya terletak di pedang yang tajam–tetapi di tangan yang menahan ketika bisa menebas.
Ketika kesempatan menang datang, Saladin menolak menangkap Richard. “Tak layak bagi seorang raja membunuh raja,” jawabnya. Sebuah kalimat yang lahir dari dada yang telah selesai dengan amarah. Di medan perang, ia adalah lawan. Tapi di dalam hati, ia adalah saudara dalam martabat.
Perang mereka tak pernah menghasilkan pemenang mutlak. Tapi berakhir dengan sebuah perjanjian: umat Kristiani tetap bisa berziarah ke Yerusalem. Bukan hanya darah yang ditumpahkan, tapi juga kebijaksanaan yang diwariskan.
Hari ini, Saladin dikenang bukan sebagai penakluk semata, tapi sebagai kesatria. Di Timur dan di Barat. Bukan karena jumlah musuh yang dikalahkannya, tapi karena cara Saladin mengalahkan egonya.
Kisah ini bukan sekadar lembar sejarah, tapi cermin untuk zaman ini–yang mudah membenci, cepat memukul, mahir memaki, kampiun memfitnah, lambat memahami. Karena di dunia yang kian gaduh dan curiga, mungkin yang kita butuhkan bukan lebih banyak senjata, tapi lebih banyak Saladin: yang memilih menjadi manusia, sebelum menjadi pemenang. Setiap kali membaca kisah ini, saya bukan hanya hormat atas nilai heroisme yang dipertontonkan–tapi juga rasa haru melihat manusia yang telah sampai. Apapun keyakinannya.
(Foto: Ancient history)
Thayyibah