Oleh : Davy Byanca
Sahabat sufiku.
SAAT menghabiskan waktu selama masa rehat atas anjuran dokter. Aktivitasku benar-benar dibatasi. Pokoknya judulnya gabut. Do nothing, kecuali minum obat, konsumsi air putih dan rehat sembari rebahan. Di sela-sela kegabutan itu, aku bongkar diary lama, puluhan tahun lalu, sejak masa kuliah. Isinya puisi, catatan harian dan tulisan pendek yang siap disantap kapan saja, tak lekang oleh waktu. Selembar demi selembar kubuka, sampailah aku pada sebuah puisi lampau ditulis dalam buku sampul karton tebal hitam, di atas kertas yang mulai berganti warna kekuningan; ‘Merindukanmu adalah diksi-diksi yang berjatuhan, lalu aku kumpulkan satu persatu’.
SELAGI asyik membaca puisi dan tulisan lama ini. Ingatanku bergeser pada dialog bersama Emak. Ya, seingatku, dulu banget aku pernah bertanya soal perempuan kepada Emak. Pengetahuanku tentang perempuan minim sekali, kerana kami kakak beradik empat orang laki semua. ‘Mak, apa aja sih yang penting diperhatikan dari perempuan?’ Emak menjawab, ‘Beberapa perempuan, tapi cenderung banyak perempuan, sifatnya menunggu, mengingat dan selalu percaya Nak. Maka saran Ibu, jangan kaumenjadi lelaki yang mudah berucap tapi lalai menepati janji’.
KULETAKKAN buku itu ke sisi ranjang. Sekarang pikiranku entah berjalan kemana, ibarat lorong waktu , ia mencari-cari. Berhenti pada satu frame saat dua kekasih saling bertatapan dalam pertemuan terakhir. Sang dara hendak melanjutkan studinya ke negeri Paman Sam. Lelaki itu memegang tangan kekasihnya, ‘Aku akan menunggumu. Besok pun aku masih akan menunggumu. Jika besok, dan besoknya lagi kamu belum juga datang. Maka setiap hari adalah besok. Dan aku masih menunggu’. Kubuka salah satu diary. Kejadiannya pukul 19.47 tanggal 12 April 1978, tapi aku lupa mengapa aku menulis tentang kisah ini.
AKU bangun dan duduk di tepian ranjang. Kukumpulkan semua buku tersebut, kumasukkan kembali dalam box plastik. Aku rebahkan badan, mencoba untuk tidur, menikmati ngilu seluruh badan yang mulai menghantam. Memang benar Kawan. Hal-hal yang termanis pun akan menjadi paling pahit jika berlebihan, dan hal yang paling pahit akan menjadi lezat apabila hanya bersandar kepada Allah.
Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal mawla wa ni’mannasir.