Oleh: Joko Intarto
Seorang kawan menelepon saya, kemarin siang. Ia mengaku tidak bisa tidur semalaman, karena diteror operator sebuah aplikasi mobile berbasis Android. ”Ini aplikasi apa ya pak?” tanya teman tadi dengan nada ketakutan.
Saya lihat screen shoot itu. Namanya sama dengan sebuah software yang sering digunakan untuk membangun aplikasi turunan. Juga mirip dengan aplikasi yang terkenal dalam bisnis online. Bedanya: Aplikasi itu berformat ”apk” dengan penulis lengkap seperti berikut: xxxxxxx.aplikasi.apk.
Sekedar informasi, ”apk” merupakan sebuah format yang dipakai Android OS untuk mendistribusikan instalasi aplikasi. Format ”apk” ini rupanya banyak disalahgunakan untuk mendistribusikan aplikasi yang berisi virus maupun untuk tujuan jahat lainnya.
Beberapa kasus yang terkenal berkaitan dengan format ”apk” antara lain: Peretasan rekening m-banking menggunakan ”aplikasi undangan”, dengan nama undangan perkawinan, undangan reuni bahkan undangan dari kantor atau lembaga pemerintah.
Nah, kasus yang menimpa teman saya berbeda.
Ia mendapatkan link aplikasi tersebut dari iklan yang berseliweran saat mengakses sebuah situs e-commerce. ”Saya tertarik karena menawarkan peluang kerja yang menurut saya mudah. Hanya memberi respon like dan share untuk status yang ditayangkan principal, saya akan memperoleh uang,” ceritanya.
Benarkah ia memperoleh uang dari principal? ”Benar Pak. Sudah beberapa kali saya menerima transferan. Kadang Rp50.000, kadang Rp100.000. Kalau ditotal saya sudah menerima uang Rp800.000,” jelasnya.
Sepertinya begitu mudah teman saya itu menghasilkan uang. Apakah tidak ada syarat lain? ”Ada. Sebelum mendapat uang itu, saya harus mengisi beberapa formulir keanggotaan, surat pernyataan tidak akan menceritakan keterlibatan saya dalam bisnis ini dan menyetorkan deposit sebesar Rp5 juta,” tambahnya.
Penjelasan hak dan kewajiban tersebut, awalnya diberikan melalui komunikasi whatsapp searah dalam sebuah grup. Hanya admin grup yang bisa mengunggah informasi. Sementara akses pengunggahan konten dari para member ditutup. Super admin menggunakan nomor telepon berkode negara +49 (Jerman). Tetapi admin lainnya menggunakan nomor berkode negara +62 (Indonesia).
Setting grup Whatsapp dengan pola komunikasi searah sebenarnya merupakan modus lama dalam penipuan online. Calon korban menjadi ”tidak berdaya” karena tidak bisa membantah atau menyanggah informasi yang berkembang di grup.
”Anda sudah penuhi semua syaratnya?” tanya saya.
”Sudah,” jawabnya.
”Kalau begitu sudah senang dong….. Lantas apa yang menjadi masalah sekarang?” kejar saya.
”Senang apanya? Saya sekarang ketakutan. Perut saya sampai mules,” jawabnya.
Rupanya, dari sinilah teman saya mulai sadar telah masuk dalam jebakan betmen.
Diceritakan, baru-baru ini, principal mendapat permintaan seseorang di luar negeri yang akan mentransfer dana Rp10 juta kepada seorang kerabatnya di Indonesia. Namun, ”Si luar negeri” itu kehilangan kontak karena sudah bermukim di manca negara cukup lama.
Ternyata orang yang dicari-cari ”Si luar negeri” itu menurut principal berdomisili di dekat alamat teman saya. Maka, principal memberitahu teman saya agar bersedia menyerahkan kiriman sebesar Rp10 juta kepada kerabat ”Si luar negeri”.
Masih menurut principal, ”Si luar negeri” akan transfer dana ke rekening teman saya sebesar Rp20 juta. Perinciannya: Rp10 juta untuk kerabat ”Si luar negeri”. Sisanya yang Rp10 juta untuk komisi teman saya karena sudah bersedia menolong menyerahkan uang tersebut.
”Senang dong? Cuma mengirimkan uang ke alamat orang yang jaraknya dekat, dapat imbalan Rp10 juta,” tanya saya.
Ternyata, untuk mendapatkan imbalan tersebut tidak otomatis. Untuk menikmati imbalan sebesar Rp10 juta itu, teman saya diwajibkan top up deposit kepada principal sebesar Rp4,5 juta.
”Anda percaya, setelah transfer Rp4,5 juta akan ditransfer dana senilai Rp20 juta?” tanya saya.
”Saya tidak yakin. Sepertinya saya sudah masuk jebakan penipu,” jawab kawan saya.
”Kalau gitu masalahnya sudah selesai. Berhenti saja menggunakan aplikasi itu!” saran saya.
Ternyata teman saya takut untuk berhenti. Alasannya, dia sudah membuat surat pernyataan kalau setuju siap bayar denda kepada principal sebesar Rp150 juta bila berhenti sepihak. ”Saya takut dilaporkan polisi karena surat pernyataan itu saya tandatangani di atas materai,” jelas kawan saya.
Setelah berkali-kali saya yakinkan bahwa berhenti menggunakan aplikasi tidak akan berdampak hukum apa pun, akhirnya teman saya benar-benar keluar dari jaringan pengguna aplikasi.
1. Menghapus apk jahat (karena tidak tersedia fitur uninstall)
2. Memutus sinkronisasi data dari Google Chrome dengan aplikasi jahat.
3. Membuka email baru sebagai email utama.
4. Menutup nomor rekening bank lama dan membuka rekening bank baru.
5. Memblokir semua nomor telepon yang meneror secara terus menerus sejak kawan saya berhenti dari jejaring para penipu online itu.
”Saya sekarang diteror terus melalui telepon. Tidak hanya pagi, siang dan sore, tetapi juga tengah malam agar segera top up deposit,” katanya.
Apa pelajaran penting yang bisa diambil dari kasus ini?