Oleh : Davy Byanca
Sahabat sufiku.
DI DARK ROOM sebuah bangunan tua. Berkumpul para singa tua, macan ompong dan sejumlah partisan. Pak Katua angkat bicara, ‘Ingat kawan-kawan, Bung Karno pernah bilang perjuanganku lebih mudah kerana mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit kerana melawan bangsamu sendiri. Kerana itu, demo yang sedang marak akhir-akhir ini bukanlah masalah kita. Masalah kita yang sesungguhnya adalah soal kepatuhan; banyak orang yang patuh dengan kemiskinan, kelaparan dan kedzaliman. Masalah kita adalah kepatuhan kepada penguasa, akibatnya penjara sesak dengan maling kelas teri, sebab maling kelas kakapnya yang berkuasa’. Yang hadir pun berteriak ‘hanya satu kata: LAWAN!’ Terdengar sesekali pekik ‘merdeka ..!’ Setelah pertemuan yang berkeringat usai, peserta bubar jalan dengan semangat menyala-nyala.
DI KAMAR KOS kota Bandung, seorang mahasiswa, aktivis, semester akhir, sedang menulis email kepada teman seperjuangan. Sebuah pesan untuk negeri. ‘Semua akan percuma dan sia-sia kalau toh harus diperintah oleh angkatan tua yang korup dan anak muda bodoh tapi berkuasa. Percuma kawan-kawan. Sepandai-pandainya orang jika berada dalam lingkaran kekuasaan yang bodoh dan korup, niscaya ikut bodoh dan korup. Idealis itu bagus, tapi harus diimbangi dengan kemampuan membaca kenyataan. Jangan sampai kawan-kawan kita mati konyol seperti torehan sejarah’. Anak ini menulis dengan mata berkaca-kaca. Setengah jam lalu, dia baru menerima pesan whattsap dari emak di kampung. Begini tulisannya, ‘Le, bapakmu pernah bilang sama emak. Tak ada laki-laki yang takut dengan kematian. Ketakutan mereka apabila anak istrinya kelaparan, apabila tak bisa makan hari ini’. Singkat, padat dan jelas. Ia tahu benar apa yang tersirat dari kalimat itu. Sudah 3 hari, emak dan bapak di kampung tak ada uang sama sekali buat beli makanan.
BANGSA KALIAN adalah bangsa besar kawan. Bukan hanya besar dalam artian wilayah geografis, tapi juga besar hasil bumi, tambang, mineral dan hasil lautnya. Kenapa kalian minder. Leon Trosky berkata, ‘Hidup ini indah, biarkan generasi masa depan yang membersihkannya dari segala kejahatan, penindasan dan kekerasan. Barulah hidup yang indah itu sepenuhnya dapat dinikmati’. Tidakkah kalian miris dengan pidato terbatuk-batuk dari para singa tua yang cinta tanah airnya, pesan singkat dari kampung soal kemiskinan yang meroket dan idealisme anak muda yang mulai goyah menghadapi realitas penjajahan.
TANAH LELUHUR ini tidak akan habis sampai 10 generasi. Namun ternyata tidak akan pernah cukup untuk 9 orang yang serakah, dan 1 orang yang zhalim. Kenapa? Vijay Prashad dalam bukunya ‘Peluru Washington’ menulis, ‘penduduk asli kerap dianggap biadab. Penjajah menganggap diri mereka beradab, terlepas dari kebrutalan yang mereka lakukan. Penjajah tidak mungkin menjadi teroris, kerana teroris selalu berasal dari kaum biadab’.
Pertanyaannya, siapa mereka yang menjadi ‘penjajah’ saat ini?
Demikianlah