Oleh : Davy Byanca
Sahabat sufiku.
HIDUPKU SAAT ini dipenuhi oleh rasa malu. Malu pada diriku sendiri ketika aku menyadari bahwa hidup adalah pesta bertopeng, tapi aku menghadirinya dengan wajah asliku. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup sebagai manusia yang sebenarnya. Aku ingin sekali memperbaiki keadaan, paling tidak di dunia hukum yang aku geluti saat ini. Aku berhadapan dengan tembok tebal yang berlapis-lapis. Benar sekali, hampir di semua institusi pelayanan publik selalu terpampang poster atau baliho yang bertuliskan ‘dilarang menyogok atau memberi imbalan kepada petugas kami’, lalu diimbuhi pasal-pasal berisi sanksi pidananya. Semua terpasang rapi, baik di lobby atau pintu masuk gedung utama.
AKU BISA membayangkan getirnya perasaan seseorang yang ‘dikorbankan’ dalam sebuah kasus pidana, yang dihukum penjara oleh pengadilan hanya kerana ‘he is nobody’. Aku bisa merasakan bagaimana geramnya rekan-rekan Advokat yang ‘dikalahkan’ dalam sengketa tanah, hanya kerana tidak mau merapat. Sementara sinyal itu sudah diberikan melalui penundaan sidang putusan sampai 7-8 kali tanpa alasan yang jelas. Bagi warga pengadilan tentu faham sinyal penundaan seperti ini. Aku pun faham mengapa rekan Advokat yang idealis sering kalah berperkara melawan kelompok ‘markus’ (makelar kasus). Kerana begitulah potret buram dunia peradilan kita.
SOB, SETIAP HARI ada ribuan para pencari keadilan yang berharap sangat dan menggantungkan nasibnya pada gedung megah yang bernama ‘Pengadilan’ dan ‘Mahkamah’. Orang awam tentu berharap banyak pada kata ‘adil’ yang melekat pada institusi tersebut. Tapi bagi mereka yang berprofesi sebagai Advokat dan penegak hukum lainnya, faham banget bahwa di dalam ruang terang dan ruang gelap gedung tersebut terjadi berbagai percakapan mulai dari keras, lembut dan bisik-bisik. Kami lebih suka menyebut bangunan itu dengan nama ‘the Battle House’. Sebab sebagaimana layaknya pada sebuah pertempuran; ada pihak yang menang, pihak yang kalah dan ada perdamaian. Untuk menang, tentu tergantung dari sejauh mana kesiapan amunisi, logistik, lobby/diplomasi dan personel yang tangguh dari para pihak.
BERTAHUN-TAHUN ada sisi dalam diriku yang terbentuk oleh banyaknya tragedi dari mereka yang terdzalimi secara hukum; mulai dari yang terkecoh oleh mitra bisnis, yang tertipu dengan sejumlah investasi bodong (bahkan dilakukan oleh preman berjubah ustadz), ada yang terjerat utang pada rentenir berkedok koperasi atau bank perkreditan rakyat, ada istri atau suami yang minta cerai kerana geram melihat perselingkuhan yang dilakukan pasangannya. Macam-macam cerita sedih mampir di kepalaku hampir setiap pekan. Sampai-sampai ada teman yang bilang, ‘aaah dasar sampeyan advokat ndeso, ketinggalan jaman. Baperan’.
NAH JIKA Anda melihat aku tersenyum saat kalah dicurangi oleh pihak lawan, itu adalah versi diriku yang sedang berpura-pura bodoh. Instingku sebagai praktisi selama puluhan tahun berkata bahwa para pengambil keputusan saat itu sedang bersembunyi dalam bayangan. Beberapa dari mereka ada yang memetik buah dari perilakunya sendiri; ada yang dimutasi, ada yang diberi peringatan, ada yang diganti saat persidangan sedang berjalan. Laskar langit tidak akan berdiam diri dan berpangku tangan. Kendati demikian aku sependapat dengan Salvador Allende, mantan Presiden Chili yang berkata, ‘Berhentilah bersembunyi di dalam bayangan. Suatu saat nanti jalan keadilan akan terbuka dan rakyat bisa melewatinya dengan merdeka’. Tapi …. entah kapan?
SAAT DITANYA oleh mahasiswa magang di kantor hukumku; ‘Bang lebih baik mana buat seorang Hakim; apakah mengambil resiko menyelamatkan orang yang salah atau menghukum orang yang tidak bersalah?’ Kujawab singkat, ‘Yang penting bagi seorang Hakim adalah apakah dia masih memiliki hati nurani atau tidak’. Aku tahu pertanyaan itu adalah statement dari Voltaire. Bagiku, profesi Advokat sedikit banyaknya telah mengajariku kehidupan dari sisi yang lain. Aku menjadi kuat kerana aku pernah dalam posisi yang lemah, aku menjadi agak pintar kerana aku pernah bodoh, dan aku menjadi berani kerana aku pernah menjadi penakut.
TERAKHIR, kisah ini tentu tak menarik bagi mereka yang berpikiran; menjadi advokat itu harus blink-blink, ‘hedon’ dan dansa-dansi sana-sini. Nah, kalau soal itu, maen-maenlah kelen ke Kedai si Jojon.
Demikianlah