Oleh : Dr. KH. Moch. Syarif Hidayatullah, CDAI
Mulanya saya terhenyak ketika UAH menyampaikan pengartian Syuara’ sebagai “para pemusik”.
Saat itu saya mendapatkan potongan video yang beredar dengan tambahan narasi dari salah satu ustaz wahabi.
Seperti biasa, narasi ustaz wahabi kan seringnya pakai kacamata kuda dalam menggunakan dalil agama. Lalu memonopolinya seolah mereka saja yg benar dan yg lain salah.
Namun, belakangan saya tahu bahwa itu konteksnya adalah terkait penerjemahan dalam bahasa Indonesia untuk konteks kekinian.
Dalam konteks penerjemahan, apa yg disampaikan UAH ada basis argumennya. Persepsi zaman yang berubah bisa mengubah pengartian dan penerjemahan.
Di sinilah perlu dipahami bahwa seperti juga tafsir, terjemah adalah produk ijtihad, termasuk Terjemahan Al-Qur’an. Bisa salah dan bisa benar. Soal benar dan salah di sini kan juga relatif, persis juga dalam membaca tafsir.
Katakan UAH salah dalam hal ini menurut ustaz-ustaz wahabi yang kompak menyalahkan UAH.
Tapi apakah UAH sefatal itu kesalahannya sehingga ada yang berani memvonis kafir dan dianggap sebagai dai yang mengajak ke neraka jahannam?
Mari kita dudukkan masalah ini dengan kaca mata ilmu penerjemahan Al-Qur’an. Kita ambil contoh beberapa kasus. Pertama, dulu para ulama kita mengartikan kata “dzarrah” dengan ‘biji sawi’ atau ‘biji bayam’.
Namun, belakangan kata dzarrah itu diartikan “biji atom” dan bahkan yang terbaru menjadi “sub atom” dengan argumen bahwa persepsi terhadap dzarrah sebagai sesuatu yang paling kecil itu berubah.
Kedua, ungkapan “fitnah lebih kejam daripada pembunuhan” yang merupakan terjemahan dari penggalan ayat QS Al-Baqarah, dulu tak ada yang mempersoalkan bahkan itu dianggap sebagai dalil.
Belakangan baru diketahui bahwa fitnah di ayat itu tidak sama dengan fitnah yang ada dalam bahasa Indonesia. Atas usulan kami dan beberapa kawan pada kegiatan Konsultasi Publik Penyempurnaan Terjemah Al-Qur’an yg diselenggarakan oleh LPMQ Kemenag di Univ Al Azhar Indonesia (UAI) pada 2016, terjemahan fitnah itu diberikan catatan kaki yg lebih lengkap. Bahkan kemudian, di KBBI versi terbaru, kata fitnah ditambahkan arti ketiga, selaras dg yg ada dalam terjemahan Kemenag itu.
Atau bila terkait terjemahan nama surah, ambil kasus terjemahan surah Al-Baqarah.
Sekian lama kita mengartikan Al-Baqarah sebagai ‘sapi betina’. Padahal di surah itu tak ada sedikit pun indikasi substansi yang menandakan bahwa sapi itu berjenis kelamin betina.
Baru kemudian diketahui ta’ marbuthah di surah al-Baqarah itu bukan sebagai pemarkah feminin (muannats), tapi sebagai pemarkah unititis (marrah). Maka terjemahan terkini untuk surah ini menjadi “Sapi”. Lengkapnya “Satu Sapi”.
Masih banyak contoh yang lainnya. Kalau dijlentrehkan semua, bisa satu semester sendiri. Dan itu sdh lakukan baik di UIN maupun di PTIQ, juga di kegiatan-kegiatan Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kemenag RI.
Sebagai orang yg mengajar teori penerjemahan, termasuk penerjemahan Al-Qur’an di beberapa lembaga, dan saat ini sy juga mengajar Ilmu Mufradat Al-Qur’an di Pesantren Bayt Al-Qur’an PSQ, saya menganggap apa yg disampaikan UAH tak bisa dianggap salah atau kalau mau fair tak sepenuhnya salah.
Pengalaman sy terlibat dalam pemutakhiran terjemahan Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan, juga sebagai ahli terjemah yang dimintai pendapat dalam penyempurnaan terjemahan Al-Qur’an Kemenag, termasuk proyek terbaru LPMQ dalam terjemahan Kata Per Kata, sy alhamdulillah memahami banyak sekali perbedaan pendapat di kalangan ulama soal pengartian dan pemaknaan terhadap kosakata Al-Qur’an, dari yg ringan-ringan sampai yg berat-berat berurusan dg akidah.
Singkatnya, tak perlulah sampai mengkafir-kafirkan dan menyesatkan pendapat yg berbeda dg kita, apalagi ini dalam usulan ijtihad yang ada khilaf juga di kalangan ulama.
Ustaz-ustaz wahabi ini perlu belajar meluaskan hati dan wawasan dalam menyikapi perbedaan. Jangan terlalu bernafsu menyalahkan pendapat dan pandangan orang lain. Jangan-jangan buru-buru menyalahkan gegara belum cukup ilmu dan wawasan. Sudut pandang dalam melihat sesuatu juga diperluas, jangan pakai kaca mata kuda.
Ustaz-ustaz wahabi Indonesia juga perlu membuat forum-forum kajiannya dalam dialog yg dua arah, bukan satu arah seperti yg byk kita saksikan di kajian ustaz-ustaz wahabi Indo baik yg off maupun online. Ini penting agar tak menganggap dirinya selalu benar dan selalu tahu segala hal. Kita pun juga perlu mendengar pendapat jamaah. Kadang jamaah kita bisa lebih benar dari kita yang ustaz ini.
Tolonglah ustaz-ustaz wahabi Indo ini segera muhasabah diri. Banyak pendapat dan sikap anda yang tak arif dan tak bijak. Banyak menyalahkan orang lain di wilayah yang masih ijtihad. Giliran ada yg keberatan dan melakukan tindakan sebagai wujud keberatan, lalu playing victim. Seolah jadi korban, padahal penyebab perpecahan ini ya anda-anda itu.