Oleh : Bambang Sujarwanto
Seingatku, aku mulai mengenalnya sejak usia kecilku. Seorang wanita berusia setengah baya berbadan agak gemuk berkulit sawo matang. Rambutnya yg hitam berbau minyak rambut selalu digelung rapi ke belakang. Dengan berpakaian kain batik serta kebaya dan theklek sebagai alas kakinya, Mbok Kromo sering bertandang ke rumah kami di Jln Turisari 27 sembari menjajakan barang dagangannya berupa nasi liwet komplit khas Solo.
Nasi liwet yang hangat dimasukkan ke dalam kuali terbuat dari tembikar berlapis daun pisang lengkap dgn lauk pauknya a.l. ayam kuning, telur pindang dan areh yzng berada di lapisan atas ditutupi dengan tutup kuali berlapis daun pisang tebal. Kesemuanya diletakkan di dalam tenggok bakul terbuat dari anyaman bambu dan digendong di punggung dgn menggunakan selendang terbuat dari kain lurik. Kepingan tempurung kelapa digunakan khusus untuk membikin porsi nasi liwet dalam pincuk (piring terbuat dari daun pisang) dan dimakan dengan menggunakan suru (sendok terbuat dari daun pisang). Di atas tutup kuali diselipkan dhingklik terbuat dari kayu berukuran rendah dan kecil hampir menyentuh tanah yg fungsinya sebagai tempat duduk saat melayani para pembeli.
Semakin sering kuali digunakan sebagai wadah nasi liwet, semakin coklat legam dan hampir hitam warnanya dan menyebarkan bau daun pisang hangat bercampur santen gurih semerbak. Di tangan kanannya memegang panci blirik bertutup berisi sambel goreng labu siam berkuah, lauk pelengkap nasi liwet.
Dengan kepribadiannya yg lugu, gaya bicaranya yang ceplas ceplos dan lucu serta nasi liwetnya yang berasa enak di mulut, Mbok Kromo berhasil merebut hati keluarga kami, terutama eyang buyut K.R.M.T. Iskak Martonagoro, pensiunan Bupati Klaten dan ayahnya nenekku.
Karena rasa kesetiaannya dengan keluarga kami, Mbok Kromo juga merelakan diri untuk menghantarkan eyang buyut Martonagoro di peristirahatan beliau yg terakhir di th 1971. Lima tahun usiaku waktu itu.
Sesudah wafatnya eyang buyut, Mbok Kromo mulai jarang bertandang di Turisari dan dengan perlahan aku kehilangan jejak mbok penjual nasi liwet favorit keluarga kami.
Tanpa Mbok Kromo, keseruan di teras depan rumah terasa sepi.