Oleh: Choirul Aminuddin
Erdogan dan Istri (Foto : Istimewa)
Politik Islam di Turki mulai bangkit sejak 1980-an. Ketika itu, sebagian besar ulama, intelektual dan kaum muda modernis Islam jenuh dengan perkembangan sekulerisme di negerinya.
Mereka merasa bahwa bahwa sekulerisme yang dianut negara sebagaimana diterapkan oleh Bapak Sekulerisme Turki, Mustafa Kemal Attaturk, ternyata tidak membawa negara tersebut kian maju, justru mundur dan tidak setara dengan Eropa seperti yang dicita-citakan.
Pada zaman pemerintahan Attaturk –Bapak Bangsa Turki, Islam dianggap sebagai biang kemunduran negara. Oleh karena itu, nilai-nilai Islam harus dibumihanguskan, termasuk suara azan tidak boleh dikumandangkan di menara masjid. Bacaan salat diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
Untuk menerapkan semua itu, Attaturk menetapkannya dalam undang-undang resmi negara. Bahkan, militer diberikan kewenangan penuh melalui konstitusi membubarkan kegiatan bernilai Islami, termasuk menangkap para tokohnya.
Banyak kalangan meyakini bahwa Atturk adalah seorang agnostic, antiagama dan antiIslam. Sehingga sangat wajar jika kebijakan yang ditetapkan merugikan kaum agama, terutama Islam.
Nah, dari kondisi seperti ini, para ulama konservatif dan intelektual muda Islam di Turki gelisah. Mereka , selanjutnya, melakukan perlawanan politik terhadap negara melalui parlemen.
Untuk itu, mereka berkumpul mendirikan Welfare Party atau Refah Party, dalam bahasa Turki artinya Partai Sejahtera, pada 1983. Menurut mereka, gerakan politik ini satu-satunya cara mengubah konstitusi negara dari sekulerisme menjadi Islam. Partai ini didirikan oleh Ali Turkmen, Ahmet Tekdal dan Necmettin Erbakan di Ankara.
Partai ini sempat sukses ketika mengikuti pemilihan umum pertama kali pada 1991. Bahkan mesin politik Partai Refah meraih 16,2 persen suara secara nasional sehingga berhak atas 62 kursi di parlemen.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, partai ini dibubarkan melalui keputusan Pengadilan Konstitusional Turki pada 1998. Alasannya, karena dianggap memperjuangkan nilai-nilai Islam di Turki, melakuan pemberontakan dan menggelorakan gerakan sparatisme. Militer beranggapan bahwa Partai Refah sangat berbahaya bagi ideologi negara: Sekulerisme.
Apakah aktivis partai berpangku tangan atas keputusan pengadilan? Jawabnya, tidak!
Salah satu mantan anggota Partai Refah, Recep Tayyib Erdogan, tetap melakukan gerakan politik yang konstitusional.
Lantas, Erdogan dibantu Abdullah Gul, mantan Presiden Turki dan Deputi Pimpinan Partai Sejahtera, mendirikan partai politik bernama Partai Keadilan dan Pembangunan, Justice and Development Party (AK Party) pada 2001.
Bertolak dari sini, Erdogan melakukan gerakan politik konstitusional demi memperjuangkan nilai-nilai Islam di Turki melawan sekulerisme yang mendarahdaging di sebagian rakyat negeri itu.
Melalui gerakan ini, karir politik Erdogan menanjak seiring dengan popularitasnya yang ingin melawan sekulerisme, memajukan negara setara dengan negara-negara Barat serta mengembalikan kejayaan Turki sebagai negara Super Power sebagaimana zaman Kekaisaran Usmani.
Ide dan pemikiran Erdogan ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Dia mendapatkan sambutan rakyat Turki. Selanjutnya, Erdogan terpilih menjadi Walikota Istanbul pada 1994-1998. Ini jabatan publik pertama yang dia emban.
Berikutnya, melalui AK Party, Erdogan menjabat sebagai Perdana Menteri Turki pada 2003-2014.
Bukan Erdogan bila dia bukan seorang yang cerdik. Dia bersama mayoritas anggota parlemen dan didukung rakyat Turki mengubah konstitusi negara dari sistem parlemen menjadi presidensial. Dengan demikian kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan presiden.
Setelah sistem pemerintahan Turki berhasil diubah, Erdogan terpilih menjadi presiden pada 2014. Bahkan, jabatan tersebut dipegangnya hingga sekarang melalui pemilihan presiden. Erdogan memimpin Turki untuk ketiga kalinya setelah dinyatakan menang pada 28 Mei 2023. Itu maknanya, Erdogan akan berkuasa lima tahun ke depan hingga 2028. Dia satu-satunya pemimpin Turki yang berkuasa selama tiga dekade.
Kemenangan Erdogan in, tentu saja, bukan hanya disambut meriah oleh kaum konservatif, para ulama dan aktivis gerakan Islam di Turki, melainkan juga oleh negara-negara di Timur Tengah antara lain Qatar, Iran, Suriah serta Rusia sebagai negara mira terdekat.