Oleh: Joko Intarto
Buku ”Menjerat Suap di Sektor Privat” akhirnya masuk percetakan. Halaman isi telah tercetak seluruhnya, kemarin siang. Hari ini mulai cetak halaman sampul. Besok mulai penjilidan. Sepekan lagi prosesnya selesai. Siap dikirim ke kantor klien.
Berkali-kali saya putar video dokumentasi yang dikirim pemilik percetakan. Deru mesin cetaknya mengingatkan saya pada perjalanan hidup di masa lalu: Saat masih menjadi wartawan hingga mengelola perusahaan penerbitan koran. Memang suaranya tidak mirip betul. Mesin cetak ini bertipe offset. Ukurannya kecil. Kecepatannya pun termasuk rendah.
(Foto-foto : JTO)
Mesin cetak koran jauh lebih besar. Mesin pertama yang saya gunakan untuk mencetak koran ”Mercusuar” di Palu, Sulawesi Tengah, adalah mesin web buatan Goss, Jerman. Ukurannya empat kali lebih besar dari mesin cetak offset untuk buku. Mesin tersebut hanya mampu mencetak 8 halaman hitam putih. Untuk mencetak koran 16 halaman harus dilakukan 2 shift. Mesin ini masih manual. Hanya bisa mencetak, memotong dan melipat kertas.
Mesin terakhir yang saya pakai juga buatan Jerman. Saya lupa merknya. Ukurannya sangat besar. Bahkan yang terbesar dari semua mesin cetak di Jawa Pos Group. Panjang rangkaian mesinnya dari ujung ke ujung sekitar 80 meter. Itu pun sudah didesain dua tingkat. Mesin ini mampu mencetak koran 48 halaman full color secara bersamaan dengan kecepatan 60.000 eksemplar per jam. Dari cetak, potong, lipat hingga packing, semua serba otomatis. Dikendalikan komputer.
Sudah 13 tahun saya tidak pernah ke percetakan raksasa yang lokasinya di kawasan Cengkareng, nempel pagar Bandara Soekarno-Hatta itu. Saya membayangkan percetakan itu sekarang pasti lebih sepi. Apalagi koran ”Indo Pos” sudah dua tahun ini tidak terbit lagi.
Zaman telah berubah. Generasi muda membaca buku dari layar digital. Mesin cetak yang sangat canggih pada masanya, sekarang seperti barang usang. Mungkin tak lama lagi akan jadi besi tua.(jto)