Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Hampir setiap bulan Emak pergi ke Pontianak. Ia pergi untuk belanja barang-barang dagangan. Yang paling banyak dijualnya adalah kain batik, baik sarung maupun batik panjang, bersama kain sarung untuk laki-laki. Juga pakaian jadi, untuk laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Selain itu, Emak juga menjual bedak, gincu, dan obat-obatan.
Kalau aku sedang libur sekolah, Emak menawariku untuk ikut. Pergi ke Pontianak bagiku selalu menggairahkan. Pergi ke Pontianak artinya pergi ke tempat baru, yang ramai dan maju. Melihat hal-hal yang tak ada di kampung, seperti oplet dan mobil, becak, sepeda motor, bemo, dan lampu-lampu listrik. Keramaian manusia di pasar juga pemandangan yang tak mungkin ada di kampung. Yang lebih penting, makanan dan minuman yang tak mungkin ada di kampung kami, rupa-rupa es, sate, bakso, dan nasi warung.
Pergi ke kota hanya jadi mimpi bagi sebagian besar orang di kampung kami. Perjalanannya jauh dan lama, biayanya pun tak kecil. Hanya yang berkelebihan uang saja yang pergi. Apalagi anak-anak, sangat jarang ada anak yang pergi. Aku jadi anak istimewa karena cukup sering pergi.
Kami biasanya berangkat subuh dari kampung, naik sampan. Kalau naik kapal motor punya A Sui, kami bertolak sekitar pukul 7 pagi, menuju Batu Ampar. Dari situ kami naik “motor tambang”, sebuah kapal yang jauh lebih besar daripada kapal A Sui, mengangkut penumpang dan barang, memungut bayaran (tambang) dari penumpang. Kapal berjalan sekitar 10 jam, menyusuri selat-selat kecil, dilanjutkan menyusuri sungai.
Tiba di Pontianak hari sudah petang. Aku selalu bergairah saat kapal makin dekat ke tujuan. Tanda-tandanya tampak di sepanjang tepi sungai. Tepi sungai yang tadinya kosong, kini mulai berisi rumah-rumah. Makin lama makin rapat. Lalu tak ada lagi sela. Rumah-rumah berdempetan, penuh sesak. Lampu-lampu rumah berkerlipan di petang hari. Bila sudah nampak pemandangan itu, sebentar lagi kami akan tiba.
Kapal berlabuh di dermaga kecil bernama Seng Hie. Dari situ, di seberang sana tampak Masjid Keraton. Di seberang sini, yang segera terlihat adalah Sekolah Gembala Baik, dengan lambang salibnya menyembul di sekitar bangunan toko-toko. Di kanan kiri berjajar berbagai jenis toko.
Kami turun dari kapal dengan barang bawaan. Sebagian barang itu adalah dagangan Emak yang tak laku dijual, dan hendak dikembalikan. Sebagian lagi adalah perbekalan dan buah tangan. Emak selalu membawa daging ayam dan ikan yang sudah dimasak. Juga beras, minyak kelapa, ikan kering, dan banyak lagi. Apapun yang bisa dibawa, akan dibawa Emak.
Lalu kami menawar becak.
“Pergi mana?” tanya tukang becak dengan logat Madura yang kental.
“Sungai Jawi, Gang Agung.”
Tukang becak menaksir jarak, lalu menyebut ongkos. Biasanya terjadi tawar menawar. Setelah harga disepakati, kami naik becak. Aku disuruh Emak naik dulu, kemudian Emak menyusul. Lalu tukang becak memuat barang-barang kami, di atas pangkuan kami, dan di bagian depan becak yang masih kosong. Becak penuh oleh barang-barang.
Kemudian becak mulai berjalan. Bel-bel kecil yang dipasang di tiang lentur di samping becak gemerincing sepanjang jalan, memberi tahu orang bahwa ada becak lewat. Kami bergerak menyusuri daerah pertokoan, kemudian perlahan bergerak menuju daerah pemukiman di Sungai Jawi. Jalan beraspal berada di sisi kanan, sedang di sisi kiri ada parit besar, memanjang sejajar dengan jalan. Di parit itu orang mandi, mencuci baju, dan berak. Di parit itu juga lalu lalang sampan dan junsun, perahu dengan motor tempel.
Sesekali Madura tukang becak mengeluh. “Jauh ini. Tadi tak kira dekat. Minta tambah ongkos,” katanya. Itu lagu lama yang biasanya diabaikan saja oleh Emak.
Kami menuju rumah De Simon, kerabat Emak yang sudah lama tinggal di Pontianak. Di situ Emak menitipkan De untuk numpang tinggal selama ia sekolah. Rumah berada di sebuah gang kecil. Becak berhenti di depan rumah, dan barang-barang kami diturunkan.
Malam ini aku tidur di kota, di tempat yang berbeda dari biasa. Besok aku akan ikut Emak pergi belanja. Aku tidur dengan perasaan riang.
***
Pagi-pagi aku bangun, lalu mandi bersama orang-orang di parit kecil di depan rumah De Simon. Setelah sarapan kami berjalan menuju ke mulut gang, di tepi jalan besar. Jalan itu tempat lalu lalang kendaraan. Kami menunggu oplet yang membawa kami ke pasar.
Tak lama menunggu, oplet datang. Kalau sedang penuh, aku duduk di pangkuan Emak, agar tak kena ongkos. Oplet melaju, sambil sesekali berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Kami menyusuri Jalan Sungai Jawi, Jalan Penjara, kemudian terus, lalu tiba di stasiun oplet di Pasar Seroja. Lalu kami berjalan kaki menuju toko milik Syekh Husen. Emak menyuruhku memanggil dia Ami Husen.
Ami Husen orang keturunan Arab. Kalau berbicara dengan Emak, dia pakai bahasa Indonesia, bukan bahasa Melayu seperti yang biasa kami pakai. Dia selalu menyambut Emak dengan ramah. Di toko ini Emak belanja kain-kain batik dan kain sarung. Kain-kain di sini harganya agak mahal. Selain itu Emak juga membeli kain-kain potong untuk dibuat kebaya, beserta selendangnya. Karena barang-barang di sini agak mahal, Emak tak belanja banyak. Biasanya hanya berupa belasan lembar kain dan sarung, yang dirapikan dalam kardus. Barang belanjaan ditinggal begitu saja di toko Ami Husen. Kalau sudah hendak naik kapal pulang baru kami ambil. Biasanya keesokan harinya.
Tujuan kami selanjutnya adalah toko A Song di dekat Parit Besar. Toko A Song ini jauh lebih sederhana dibanding toko Ami Husen. Tokonya hanya berupa kios yang penuh sesak oleh kain-kain. Di sini Emak tak membeli kain per lembar, tapi per kodi. Di toko sudah ada beberapa perempuan pedagang seperti Emak, berbelanja barang dagangan.
A Song menyambut kami dengan ramah. Dua gelas teh es manis segera terhidang dari warung sebelah. Sepertinya pelayan warung sudah tahu bahwa setiap orang yang datang belanja harus disediakan teh es. Dia menyajikan tanpa diminta oleh A Song.
Belanja di toko A Song memerlukan waktu yang sangat lama. Aku tak tahan menunggu Emak belanja. Biasanya aku berjalan-jalan di sekitar toko. Ada macam-macam orang dengan segala kegiatannya. Toko-toko berjajar menjual berbagai barang. Di lorong ada juga orang berjualan dengan mengasong. Kebanyakan berjualan jam tangan yang ia jajakan kepada orang-orang yang lalu lalang. Ada juga penjual obat yang bicara pakai Toa kecil, memainkan sulap untuk menarik pengunjung.
Menjelang tengah hari baru aku kembali ke toko A Song. Emak sudah hampir selesai belanja. Kadang-kadang juga belum selesai. Ia harus berhenti sejenak untuk makan siang. Emak mengajakku pergi makan di sekitar toko. Ada macam-macam makanan tersedia. Tapi pilihan utamaku selalu sate sapi.
Tukang sate mangkal dengan gerobaknya di depan warung kopi. Ketupat besar-besar bergelantungan di gerobak. Di samping gerobak ada pemanggang sate yang mengebulkan asap. Belasan tusuk satu berjajar di atas api yang membakar arang, menyebarkan bau yang menerbitkan air liur.
Tukang sate dengan sigap memotong ketupat, menuang kuah untuk membasahi ketupat, lalu meletakkan beberapa tusuk sate di atasnya. Kemudian ia tambahkan beberapa potongan mentimun, dan ia siram dengan bumbu kacang. Penutup, ia taburkan bawang goreng. Sate dibawa ke meja pemesan.
Rasa manis bumbu kacang, beradu dengan aroma kuah, serta empuknya potongan ketupat berbalut bumbu kacang. Sedap betul. Ini rasa makanan yang tak mungkin dapat kunikmati di kampung. Segelas teh es manis membuatnya sempurna. Kadang-kadang Emak bermurah hati menambahkan sepotong roti srikaya, membuatku benar-benar kekenyangan.
Usai makan siang kadang Emak kembali ke toko A Song, melanjutkan kegiatan belanja. Kadang pula belanja di situ sudah selesai. Kami lalu berjalan di sepanjang jalan Parit Besar, membeli barang-barang kecil. Tujuan kami selanjutnya Pasar Kapuas Indah. Ini pasar besar, 3 tingkat. Ada beberapa toko kecil yang kami kunjungi. Emak membeli obat-obatan, dan berbagai barang riasan berupa bedak, gincu, pensil alis, wig, dan macam-macam barang lagi.
Selesai belanja, kami berjalan kaki menuju stasiun oplet di Pasar Seroja. Kami menenteng kotak kardus berisi belanja barang-barang kecil. Dengan oplet kami pulang.
Esok paginya kami naik oplet kembali. Kami menyusuri jalan yang kami lalui kemarin. Kini Emak tak lagi belanja. Hanya datang untuk mengambil barang belanjaan. Kuli pikul yang ditugaskan pemilik toko mengiringi kami, membawakan barang-barang kami menuju Seng Hie.
Pukul 10 pagi kapal berangkat meninggalkan dermaga menuju kampung kami.
Pekan lalu sengaja aku susuri jejak kami dulu. Dengan mobil punya Kakak aku jalani jalur yang dulu kami tempuh. Pasar Seroja kini tak seramai dulu. Kalah oleh ramainya mal. Stasiun oplet juga sudah tak ada. Aku tak ingat di sebelah mana toko Ami Husen berada. Tak yakin aku kalau dia masih berdagang sekarang.
Mobil kuarahkan ke Parit Besar. Kuparkir di dekat Pek Kong di samping Kapuas Indah. Lalu aku berjalan menyusuri deretan toko-toko. Tak banyak berubah. Yang bertambah hanyalah dermaga panjang di tepi sungai yang diberi nama keren “water front”. Toko-toko di Parit Besar seakan membeku dalam perubahan zaman. Bentuknya masih serupa dengan penampilannya 45 tahun yang lalu. Hanya tampak sedikit menua saja.
Aku berjalan, mengenang rasa itu. Rasa saat bersama Emak. Merasakan betis yang sakit karena lelah berjalan, jari-jari yang sakit menjinjing sebagian belanja Emak. Tapi hatiku riang, karena aku berkesempatan menikmati pemandangan dan pengalaman yang tak pernah dinikmati rata-rata anak kampung kami.
Kini aku berusia lebih tua dari Emak kala itu. Mengenang Emak. Dari berdagang itulah Emak membukakan bagi kami harapan: sekolah di kota, sampai bangku kuliah. Itu tak mungkin bisa kami nikmati kalau hanya mengandalkan hasil kebun.
Emak yang buta huruf, menyimpan dendam masa kecil karena tak boleh ikut belajar. “Pokoknya anakku harus sekolah,” begitu tekadnya. Apapun ia lakukan untuk mencapai itu.
Semangat itulah yang membawa aku pada hidupku saat ini.