Oleh: Setyardi
Saya baru lulus SMA Negeri 2 Tanjungkarang. Saat itu salah satu kampus favorit anak kampung seperti kami yakni STAN. Itu kampus ikatan dinas milik Departemen Keuangan. Alasannya simpel: sekolah gratis, dapat uang saku dan langsung jadi pe-en-es Depkeu.
Saya daftar di Pusdiklat Depkeu, di Jalan Purnawarman Jakarta. Antre sejak pagi, dapat nomor tes masuk sore hari. Saya kebagian tempat ujian di Stadion Senayan. Ada juga peserta tes di tempat-tempat lain. Itulah pertama kali saya ke Senayan. Stadion yang sangat besar — apalagi dibanding Stadion Pahoman di kampung saya.
Singkat cerita saya diterima di jurusan Pajak, sesuai pilihan awal. Orang tua saya bilang pilih jurusan itu saja. Saya tak soal, yang penting sekolah gratis. Saya berangkat dari Lampung bersama Supadi, teman sekolah yang juga diterima di STAN. Supadi selalu memilih bangku paling belakang di bis. Alasannya agar terlihat bahwa bis itu besar. Dasar orang kampung. (Sekarang Supadi dinas di KPK).
Di Jurang Mangu, dekat Kampus STAN, saya tinggal sekamar dengan Supadi. Maklum kami sama-sama kere. Tak punya duit. Dinding kos dari triplek. Kamar sempit. Pokoknya murah. Untuk menghemat duit, bahkan saya dan Supadi bergantian mencukur botak rambut, saat MPK (masa pengenalan kampus) — itu istilah ‘opspek’ di STAN.
Tapi garis tangan saya berkata lain. Belum lama di STAN, saya keluar dari kampus itu. Pangkal soalnya saya berkelahi dengan seorang senior. Penyebabnya dia melangkahi tas saya. Padahal sudah saya bilang di tas ada Quran dan tarjamah, yang memang diwajibkan dibawa setiap mahasiswa baru yang Muslim. Saat saya tegur, senior ini menyergah. “Mau jadi jagoan kau rupanya”, ujar Senior ini. Kebetulan dia non-Muslim.
Ya, jelek-jelek begini saya ini lahir dan dibesarkan di Lampung. Pantang disergah seperti itu. Apalagi ini menyangkut kitab yang saya sakralkan. Tanpa bicara saya keluar mengambil batu. (Saat itu Kampus Jurang Mangu masih baru. Banyak batu berserakan). Saya pukul senior itu dengan batu. Terjadi kehebohan. Senior yang saya pukul hendak membalas. Tapi saya terlanjur dikerubuti Raka-Rakanita (kakak tingkat) Muslim. Salah satu pentolan Raka yang melindungi namanya masih saya ingat: Jihad Maulana.
Singkat cerita saya kemudian diminta ke Gedung Pajak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Seorang Bapak setengah baya mengembalikan ijazah SMA saya, yang sebelumnya disimpan di Depkeu sebagai syarat ikatan dinas. Sejak saat itu saya resmi tak bisa melanjutkan sekolah di STAN. Saya, dengan sisa uang di saku, pulang kampung.
Saya sampai rumah di Lampung sekitar jam 5 pagi. Mamak yang membukakan pintu sangat terkejut karena saya pulang. Saya ceritakan semua yang terjadi. Mamak cuma komentar, “Oooalahhhh, sudah enak mau jadi PNS Depkeu, kok malah berantem”.
Sekarang, 34 tahun kemudian, saya justru besyukur drop out pegawai pajak. Meskipun saat ini saya tak punya Rubicon dan Moge.