Oleh: Setiyardi
Tadi siang setelah Jumat saya tak sengaja bertemu kawan di parkiran SD Al Azhar Rawamangun. Dia menjemput anaknya, yang sekarang kelas 4 di SD itu. “Mas, saya bangkrut. Tagihan saya di BUMN anu sudah 5 tahun tak dibayar. Semua pekerjaan beres dan sudah BAST. Jumlahnya 8 miliar. Bagi pengusaha kecil seperti saya itu segalanya,” ujarnya.
Sang kawan pun bercerita bahwa dia kerap menghadap kepala sekolah SD Al Azhar untuk meminta penundaan pembayaran SPP anaknya. Alhamdulillah pihak sekolah paham situasi sulit yang dihadapi. Saya lihat kawan ini naik motor butut. Mobilnya telah lama dijual. Saya mengenalnya sebagai anak baik. Tak putus puasa Senin Kamis.
Tahun lalu saya pernah mencoba membantu kawan ini agar tagihannya cair. Bukan untuk untung, tapi agar kawan ini tak makin terpuruk. Saat itu, saya mendapat penjelasan klasik. “Abang tau, kontrak kami dengan mitra itu back to back. Artinya kalau kami belum dibayar bohir (government), kami juga tak membayar ke mitra,” ujar pejabat tinggi BUMN itu, yang kebetulan saya kenal sejak sekolah dulu.
Siang tadi tiba-tiba darah saya mendidih karena melihat kondisi kawan itu. Saya tahu para pejabat di BUMN itu banyak yang kaya raya. Kerap dapat bonus, dan beragam fasilitas. Tapi sangat kontras dengan nasib mitra mereka yang bangkrut. Saya segera kirim WA ke pejabat tinggi BUMN itu. Saya bilang akan meramaikan soal ini di media dan secara hukum. Saya tahu, bisa jadi secara hukum BUMN itu “tak salah”, karena kontraknya back to back. Selama mereka mengaku belum dibayar bohir (govervment), mereka merasa boleh tak membayar mitra. Soal mitra bangkrut bukan urusan. Tapi jelas, itu DHOLIM kuadrat. Itu sangat merusak citra BUMN yang katanya mengusung AKHLAK. Tai kucing lah.
Untunglah, via komunikasi telpon, seorang bawahan pejabat BUMN ini, seorang GM, menjanjikan kepada saya tagihan yang sudah 5 tahun mangkrak ini akan segera dibayar. “Saya optimis dibayar bulan Januari ini, Mas Bro,” ujarnya.
Saya tunggu janji mereka. Saya bukan sedang menolong pengusaha kaya dengan mata khas yang menguasai divisi tersebut di BUMN besar itu — sebut saja namanya Cah dan Wag. Saya berusaha membantu boemi poetra yang baik, lulusan FE Universitas Indonesia, yang sudah bertahun bangkrut, dan kesulitan membayar SPP anaknya. Kalau BUMN itu masih dholim, tak segera membayar, saya akan menggunakan segala kemampuan untuk perang-perangan dengan mereka. Apapun risikonya.
Itu saja.