Oleh: Didin Amarudin
Kemarin seorang kawan lama menelpon saya. Ia bercerita bahwa ia masih saja tidak bisa menahan air mata saat berziarah ke makam suaminya yang dimakamkan di kampung halamannya itu.
Termasuk saat pekan lalu ia pulang kampung. Berbagai kenangan indah seperti bermuculan. Padahal sudah tiga tahun berlalu ditinggal wafat belahan jiwanya.
Tentu saja saya mendengarkan penuh empati. Saya bisa merasakan apa yang ia rasakan.
Jadi, saya tidak mungkin menyalahkan perasaannya misal dengan mengatakan,
“๐๐ฐ๐ฎ๐ฆ ๐ฐ๐ฏ, ๐ญ๐ถ๐ฑ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ช๐ข!”
Atauย “๐๐บ๐ฐ ๐ฎ๐ฐ๐ท๐ฆ ๐ฐ๐ฏ!”
“๐๐ข๐ฌ ๐ถ๐ด๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ฐ๐ธ๐ญ๐ข๐ฉ!”
“๐๐ฉ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ข๐บ ๐ข๐ฎ๐ข๐ต ๐ด๐ช๐ฉ”.
Menurut saya perasaan itu tidak salah. Memang terkadang orang memandang tidak ๐ฎ๐ฐ๐ท๐ฆ ๐ฐ๐ฏ ketika kita masih saja mengenang atauย menyebut-nyebut nama kekasih yang telah tiada.
Padahal, menurut saya hal itu semestinya tidak dipandang demikian.
Adalah hal yang bisa diterima sejauh itu tidak mengganggu aktivitas kesehariannya. Tidak ada yang salah selama ia masih produktif, masih bekerja, tetap gembira atau tertawa pada saat memang harus tertawa. Masih bisa bisa bersosialisasi alih-alih mengurung diri dan tidak jatuh terpuruk seperti yang ditulis Ebiet G. Ade dalam syairnya “๐๐ถ๐ณ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ต๐ข๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐จ๐ข๐ช๐ณ๐ข๐ฉ. ๐๐ฆ๐ฉ๐ช๐ญ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ด๐ช๐ฏ๐ข๐ณ. ๐๐ฆ๐ฉ๐ช๐ญ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ช๐ฏ๐ข๐ณ” (Yang Terluka)
Justru cinta yang terus hidup bisa melukiskan keindahan dan kuatnya hubungan mereka semasa mereka hidup bersama. Hubungan erat yang saling mencintai, saling mendukung, saling memberi dan saling membutuhkan. Dalam bahasa agama kita mengenal terminologi yang lengkap: pasangan yang ๐ด๐ข๐ฌ๐ช๐ฏ๐ข๐ฉ, ๐ฎ๐ข๐ธ๐ข๐ฅ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ธ๐ข ๐ณ๐ข๐ฉ๐ฎ๐ข๐ฉ. Maka pasangan yang demikian ketika salah satunya tiada, akan ada rasa kehilangan yang dalam.
Berbeda dengan pasangan yang penuh dengan drama percekcokan, saling curiga, saling berlomba dengan ego masing-masing, atau kehilangan bara cinta. Kehilangan salah satunya, jangankan dikenang, malah bisa jadi wafatnya adalah hari kemerdekaannya.
Cinta yang tak pupus oleh perpisahan bisa juga menggambarkan perjuangan untuk menyatukan cinta itu sendiri. Seperti teman saya itu.
Sedikit banyak saya tahu kisah cinta mereka berdua. Mereka sudah saling kenal sejak kecil. Ketika remaja mereka saling jatuh cinta. Namun takdir tidak menyatukan mereka saat itu. Orang tuanya menjodohkannya dengan pria lain yang tidak dicintainya.
Namun akhirnya cinta yang dipaksakan itu membawa biduk rumah tangga mereka kandas juga di tengah jalan.
Begitulah jalan takdir. Ketika cinta keduanya harus bersatu. Secara tidak sengaja teman saya ini bertemu dengan kekasih lamanya. Padahal mereka sudah putus kontak sejak ia menikah dengan pria lain. Padahal ribuan mil samudra memisahkan mereka selama beberapa tahun. Dan akhirnya mereka bersatu dalam satu pernikahan selama 19 tahun.
Suami terakhir inilah yang ia katanya sebagai cinta pertama dan terakhirnya.
Saya percaya ucapannya itu. Suaminya barunya itu pasti memperlakukan dan mencintainya sepenuh hati. Walau sekilas, saya sempat mengenal suaminya ketika sama-sama masih remaja. Saya pernah ke rumahnya dan ia pernah ke rumah saya. Kesan saya ia adalah seorang yang baik, ramah, sopan dan ceria.
Takdir juga yang merenggut kekasihnya. Penyakit kronis menyebabkan hampir setiap dua pekan sekali suaminya masuk ke ICU rumah sakit. Proses sakit yang lama. Hampir empat tahun. Merawat keluarga yang sakit itu tidak mudah. Kalau tidak ada cinta dan rahmah. Jadi saya bisa merasakan kedekatan emosional mereka berdua yang begitu kuat.
Jadi, itulah mengapa saya bisa memahami kondisi psikologisnya. Selain itu, tentu karena saya pun pernah mengalami kehilangan kekasih belahan jiwa.
Memang sebagian orang di luar sana menyangka bahwa ditinggal wafat pasangan hidup sama seperti ditinggal wafat kakak, adik atau orang tua.
Betul orang tua tidak ada bandingannya dan tidak tergantikan. Segala kebaikan dan cintanya tidak akan terbalas. Kehilangan orang tua adalah kehilangan terbesar dalam hidup.
Tapi ada yang berbeda. Pada pasangan hiduplah kita melabuhkan beban atau mencurahkan perasaan di saat kita menghadapi tantangan dalam kehidupan. Yang seringkali kita tidak pernah bercerita kepada siapa pun termasuk kepada orang tua.
Dengan pasangan hiduplah kita berbagi suka dan duka. Cerita dan cinta. Satu meja saat makan dan satu selimut saat tidur.
Tidak ada kedekatan fisik yang melebihi kedekatan dengan pasangan belahan jiwa. Kita tidak akan pernah lupa harum wangi tubuhnya, debaran detak jantungnya dan hembusan hangat napasnya.
Gambaran kedekatan fisik dan jiwa ini dilukiskan dengan permisalan yang indah dalam Al Qur’an:
“๐๐๐ซ๐๐ค๐ (๐ฉ๐๐ซ๐ ๐ข๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข) ๐๐๐๐ฅ๐๐ก ๐ฉ๐๐ค๐๐ข๐๐ง ๐๐๐ ๐ข ๐ค๐๐ฅ๐ข๐๐ง (๐ฉ๐๐ซ๐ ๐ฌ๐ฎ๐๐ฆ๐ข), ๐๐๐ง ๐ค๐๐ฅ๐ข๐๐ง ๐๐๐๐ฅ๐๐ก ๐ฉ๐๐ค๐๐ข๐๐ง ๐๐๐ ๐ข ๐ฆ๐๐ซ๐๐ค๐”
(QS 2:187)
Jadi benar orang tua adalah pintu dari salah satu pintu menuju surga. Tapi pasangan yang baik adalah surga itu sendiri. Surga di dunia sebelum surga sebenarnya di akhirat.
Namun demikian, saya mencoba memahami dan menanggapi dengan senyuman -karena saya tahu maksudnya baik- ketika salah seorang teman baik saya mengatakan,
“๐๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐จ๐ข๐ฌ ๐ถ๐ด๐ข๐ฉ ๐ฏ๐ถ๐ญ๐ช๐ด ๐ฌ๐ช๐ด๐ข๐ฉ-๐ฌ๐ช๐ด๐ข๐ฉ ๐ช๐ด๐ต๐ณ๐ช ๐ญ๐ข๐จ๐ช. ๐ ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ต๐ช๐ข๐ฅ๐ข ๐บ๐ข ๐ด๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ด๐ข๐ซ๐ข.” Karena, ๐ฒ๐๐ง๐ ๐๐๐ฅ๐ฎ๐ฆ ๐ฉ๐๐ซ๐ง๐๐ก ๐ฆ๐๐ง๐ ๐๐ฅ๐๐ฆ๐ข ๐ญ๐๐ง๐ญ๐ฎ ๐ญ๐ข๐๐๐ค ๐๐ค๐๐ง ๐ฆ๐๐ซ๐๐ฌ๐๐ค๐๐ง.
๐๐ฆ๐ฑ๐ฐ๐ฌ, 4 ๐๐ฆ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ฆ๐ณ 2022
Didin Amarudin