Oleh: Salim A. Fillah
Lahir pada 18 September 1060, di Baisy-Thy, Genappe, Belgia, Raja ini akan dikenang sebagai pemimpin para Bromocorah bertanda Salib Merah yang memasuki gerbang Jerusalem pada tahun 1099.
Tentara Salib pimpinan Godfrey dari Bouillon membanjiri kota dengan darah hingga genangannya selutut. Tak memerdulikan keyakinannya, Muslim, Yahudi, Kristen Ortodoks, seluruh penduduk kota bahkan yang sudah menyatakan menyerah dibantai dan dirampok.
Ahli sejarah Inggris, John Stuart Mill menyebut pembantaian juga terjadi di Kota Antioch. “Usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak, dan kelemahan kaum perempuan tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan masjid dipandang sebagai pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman,” kata Mill.
Tak hanya di Antioch, mereka juga bergerak ke kota-kota lain di Syria dengan jejak darah yang sama, membunuh penduduknya, membakar perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan termasuk ‘Kutub Khanah’ atau Perpustakaan Tripoli yang masyhur itu. “Jalanan penuh aliran darah, hingga keganasan itu benar-benar kehabisan tenaga,” lanjut Mill.
Pemandangan itulah yang tak terlihat 88 tahun kemudian, selama pembebasan kembali Baitul Maqdis oleh Shalahuddin Al Ayyubi. Karen Amstrong dalam ‘The Holy War’ menulis, Shalahudin dan pasukannya tak membunuh satupun orang Kristen, juga tak ada harta yang dianggap sebagai rampasan perang. “Tebusan disengaja sangat rendah dan Shalahuddin menangis karena keadaan mengenaskan akibat keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia pun membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an,” paparnya.
Amstrong juga menilai Shalahuddin sebagai panglima perang yang jujur serta menjauhi niat balas dendam. “Shalahudin menepati janjinya, dan menaklukkan kota itu menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi,” ujar Amstrong.
Bertemu patung Godfrey di titik terpenting kota Brussels, Belgia, memang mengesalkan. Maaf.