Oleh: Ahsan Jamet Hamidi
Tangis Jayeng begitu keras saat keluar dari rahim ibu Jamilah yang merintih kesakitan. Mbok Salamah, dukun bayi yang membantu persalinan itu terus mengusap darah dengan handuk kecil. Ia memijat-mijat pinggul, paha dan kaki sambil terus melafalkan “Alhamdulillah” berulang-ulang. Ia mengajak Nyai Jamilah mengikuti lafalnya berkali-kali, sebagai tanda syukur, bahwa ia telah berhasil melahirkan bayi laki-laki dengan selamat.
Suara tangis bayi itu memecah kesunyian sore menjelang gelap. Sinar lampu teplok di ruang tengah rumah berdinding bambu itu tidak mampu memberikan pencahayaan yang lebih terang. Para perempuan di sekitar Nyai Jamilah dibuat bingung, benarkah bayi laki-laki itu lahir tanpa kaki ?. Lampu remang itu akhirnya didekatkan, hingga mampu memberikan jawaban pasti. Betul, ternyata bayi laki-laki itu dengan kaki kecil dan pendek tanpa jari–jari. Pak Jamiludin dan Nyai Jamilah memberi nama bayi itu Jayeng.
Belajar Menerima Prasangka
Jayeng tumbuh menjadi anak-anak pada umumnya. Ia tidak pernah dibeda-bedakan oleh kedua orang tuanya. Setiap habis maghrib, Jayeng harus berjalan dengan tongkat kayu khusus buatan Pak Tohir. Ia harus menembus kegelapan malam berbekal lampu senter kecil, hanya untuk bisa mengaji di rumah Pak Soeroso. Seorang pegawai Kantor Urusan Agama, lulusan Pondok Tebuireng Jombang. Pak Soeroso memiliki kesabaran ekstra dalam mengajar anak-anak mengaji. Atas jasanya, puluhan anak-anak di kampung itu cukup berhasil. Mereka bisa melek huruf arab, lengkap dengan bacaan berbasis ilmu tajwid. Jayeng, adalah salah satunya.
Setiap hendak berangkat ngaji, Pak Jamiludin selalu berpesan:
“Bapak tidak akan mampu membiarkan matahari terus bersinar sehingga jalanmu terang. Juga tidak bisa mengaspal agar jalanmu mulus. Ini ada lampu senter untuk menerangi jalanmu. Hati hati di jalan”. Sebuah pesan yang tak pernah terlupakan.
Pada pertengahan tahun 1970 an, jangan membayangkan bahwa di desa itu ada lampu penerangan jalan dari PLN. Satu-satunya penerang jalan dan rumah adalah lampu teplok. Sesekali ada lampu petromak berbahan minyak tanah.
Setiap pagi Jayeng sekolah umum di Madrasah dekat rumah. Malam dia mengaji. Begitulah rutinitas Jayeng hingga tamat sekolah dasar. Jayeng tidak bisa meneruskan sekolah tingkat menengah. Letak sekolahnya jauh di kecamatan. Jayeng tidak bisa naik kendaraan sendiri. Bapak-ibunya harus bertani dan tidak punya sepeda motor. Mereka tidak mampu membayar orang yang secara khusus bisa mengantarkannya sekolah. Akhirnya ia mengalah, berhenti sekolah.
Jayeng memilih untuk kerja membantu-bantu Pak Sukarta yang punya bengkel las karbit. Pilihannya bekerja di tempat itu tepat, karena tidak perlu mobilitas tinggi. Pulang dari bengkel las, ia lebih memilih tinggal di rumah neneknya, Mbah Birah, orang yang selalu ingin sempurna dalam semua hal. Apa saja yang dikerjakan Jayeng tidak pernah dinilai baik. Ada saja yang kurang pas.
Setiap malam, Jayeng mengasah keikhlasan hidupnya dengan memijat dan membuka telinga lebar-lebar menerima omelan Mbah Birah. Ia sudah sangat terbiasa menerima ejekan teman, guru, warga sekitar selama hidupnya. Ia mampu menerimanya dengan ikhlas tanpa beban. Omelan dan makian Mbah, ia bisa terima dengan diam. Ia menganggapnya seperti angin yang akan selalu lewat. Ketika sehari saja tidak menerima omelan, maka si Mbah pasti sedang sakit. Saat itu, ia akan berhenti bekerja, menunggu dan melayani semua kebutuhan si Mbah.
Mbah Birah punya kebun kosong tandus seluas 800 m2. Letaknya dekat kuburan, berbatasan dengan dinding pabrik panci. Tanah itu tidak punya akses jalan. Satu-satunya jalan hanya bisa ditempuh dengan melewati pagar pabrik. Tanah itu bernilai rendah sekali harganya. Mengingat kondisi keterbatasan fisik Jayeng, Mbah Birah berpesan secara lisan kepada anak-anaknya, salah satunya Ny Jamilah, Ibu Jayeng. “kebun kosong itu kelak akan kuberikan kepada Jayeng”.
Semua diam, menyepakati pesan tak tertulis itu.
Menapaki Ujian
Dua puluh tahun kemudian, Jayeng hidup mandiri. Dia punya usaha las karbit sendiri dan menikahi perempuan pujaanya, hingga memiliki 2 anak. Ia menempati rumah peninggalan almarhumah nenek. Perlahan-lahan rumah itu dibangun hingga menjadi rumah bertembok kokoh lengkap dengan akses jalan dan kamar mandi yang familiar bagi yang berkebutuhan khusus. Rumah kecil dan nyaman sekali.
Kepahitan hidup yang dijalani Jayeng, membuatnya tumbuh menjadi orang yang tidak banyak bergaul dengan warga lain. Ia membatasi pergaulannya hanya dengan para pelanggan las karbitnya. Salah satu teman karibnya adalah Pak Guru Syaiful. Guru SLB yang juga berkebutuhan khusus. Secara intelektual, Pak Guru Syaiful sangat melek literasi. Ia sarjana pendidikan. Gemar membaca dan sering menulis. Karya tulisanya banyak dimuat di media remaja pada awal tahun 80 an. Ia aktif memperkuat jejaring sesama penyadang kebutuhan khusus. Kemana-mana Pak Guru menggunakan sepeda motor roda tiga.
Suatu hari, Jayeng minta diantar Pak Syaiful untuk pergi ke kantor kelurahan. “hendak menandatangani kesepakatan”. Katanya.
Ingat kebun kosong seluas 800 m2 dekat kuburan yang diberikan oleh nenek Jayeng dulu?. Ternyata, tanah itu hendak dibeli oleh pabrik panci sebagai perluasan area pabrik. Harganya tentu lebih tinggi dari 25 tahun lalu, ketika tanah itu diberikan.
Mendengar kabar tentang rencana itu, 2 orang Pakde dan Paklek Jayeng yang selama ini sudah hidup mapan secara ekonomi, ramai-ramai turun gunung. Mereka tiba-tiba kompak. Menggunakan berbagai cara, termasuk menggunakan ilmu fara’id dan berbagai dalil agama versi mereka, untuk menekan Jayeng.
Mereka berpandangan, bahwa Jayeng tidak punya hak sepenuhnya atas tanah itu. Tetapi, mereka berdua plus Nyai Jamilah (almarhumah ibu Jayeng) lah yang paling berhak. Jayeng akan memperoleh bagian tanah tersebut sebagai cucu. Sebagai anak perempuan, Nyai Jamilah juga hanya akan menerima separo dari bagian para laki-laki lainya.
Nyai Jamilah sudah wafat puluhan tahun silam. Jayeng hidup bersama istri dan kedua anaknya. Ia sama sekali tidak memberikan komentar atas desakan dan tekanan berkali-kali Pakde dan Pakleknya. Jayeng akhirnya meminta kepada mereka untuk bertemu di kantor kelurahan. Untuk itulah, ia mengajak Pak Guru Syaiful menemaninya.
Pakde dan Paklek Jayeng merasa tidak mau kalah cerdik. Mereka menyewa pengacara ahli bidang waris dan pertanahan dari kota. Ia dikontrak secara khusus untuk mematahkan argument Jayeng, jika nanti ia tidak menerima keputusan keluarga versi mereka.
Mewujudkan Keikhlasan
Sampai di kantor kelurahan, Jayeng dan Pak Guru Syaiful turun dari motor roda tiga. Dengan tongkat dan kursi roda, keduanya sangat bersusah payah untuk bisa masuk ruang rapat kantor kelurahan, yang akses jalannya sangat tidak familiar untuk para penyandang kebutuhan khusus.
Pak Lurah, Sekretaris Kelurahan sudah duduk kursi mengelilingi meja besar. Paklek dan Pakde Jayeng sudah terlebih dahulu hadir ditemani seorang pengacara necis. Kepalanya plontos, bajunya rapi, namun jasnya kekecilan, karena tidak seimbang dengan lingkar pertunya. Sedari awal, pengacara itu sudah menyiapkan peluru yang siap digunakan menghantam argument Jayeng. Saking seriusnya, keringatnya terus bercucuran, nafasnya terengah-engah seperti habis lari 2 km. Ia duduk dengan sangat gelisah sambil terus mengisap rokok.
Pertemuan dibuka Pak Lurah dengan pengantar basa-basi yang panjang sekali. Setelah hampir 10 menit, Jayeng mengangkat tangan:
“Permisi Pak Lurah, saya sudah memahami maksud pertemuan ini. Sekarang langsung pada inti masalah. Tanah itu dibeli berapa dan pembagiannya seperti apa ?”
Sontak nafas pengacara bertubuh tambun itu semakin ngos-ngosan. Dia sudah akan mengangkat tangan hendak berbicara. Sekretaris Kelurahan menghentikanya. Lalu ia membacakan skema pembagian hasil penjualan tersebut menurut versi Pakde dan Paklek.
Dengan sangat tenang, Jayeng menyampaikan pesan tegas:
“Saya menerima semua usulan Pakde dan Paklek saya. Saya juga memberikan semua bagian saya sepenuhnya kepada mereka berdua”.
Byarrrr. Suasana pertemuan hening. Sementara kekagetan itu berselang, Jayeng meneruskan pernyataanya:
“itu belum cukup. Saya juga menyerahkan surat girik rumah si Mbah yang selama ini saya tempati kepada mereka berdua. Saya minta waktu 2 hari untuk pindah rumah. Pak Lurah menjadi saksi atas pernyataan saya ya. Terima kasih. Saya mohon pamit”.
Jayeng dan Pak Guru Syaiful bergegas meninggalkan ruang rapat dengan sangat susah payah. Tidak ada satupun para peserta rapat yang berkaki dan bertangan lengkap itu membantunya. Mungkin mereka tengah larut dalam kegembiraan.
Menyempurnakan Keikhlasan
Pak Guru Syaiful terguncang dengan keputusan Jayeng. Dia menaiki motor roda tiga itu sambil menangis menahan amarah. Mereka berdua berhenti saat melintasi WTS (Warung Tengah Sawah). Dua kopi hangat dan rokok gudang garam filter mendamaikan emosi keduanya.
Pak Syaiful : “Kamu gendeng ta, sudah kelebihan duit ta kamu?”
Jayeng : “Pak Guru pernah mengalami sakit perut dan mules hendak BAB? Itulah yang selalu saya rasakan selama 45 tahun ini. Pagi ini, saya telah bebas dari rasa mules itu. Saya sudah keluarkan semua kotoran dari dalam perut saya secara sempurna. Plong”.
Pak Syaiful : “Terus, kedepan kamu mau tinggal dimana?”
Jayeng : “Pak Guru carikan kontrakan rumah di dekatmu ya. Kita bersaudara sampai mati”.
Jayeng hanya mengontrak rumah type 36 itu selama dua tahun. Ia mampu membelinya secara tunai. Rumah di komplek perumahan itu ia tempati bersama anak-anak dan istrinya.
Bagaimana nasib Pakde dan Pakleknya?
“Sebagaimana kotoran, setelah dibuang, maka kita harus segera melupakanya”. Pesan Jayeng dengan santai.