Oleh: Edgar Hamas
Jalan Sudirman beberapa waktu ini berbeda. Sorak sorai yang biasanya lebih banyak dilewati kendaraan, kini menjadi ramai dengan anak-anak muda. Mereka berduyun menjajaki ibu kota dengan pakaian unik dan fesyen yang tidak biasa dipandang mata. Itulah anak-anak Citayam Fashion Week.
Dan buum! Mereka viral di jagat media. Banyak orang yang merekam aktivitas fashion show ala-ala itu hingga tersebar luas sampai diperhatikan se-Indonesia. Nama-nama unik bermunculan; mulai dari Jeje, Kurma, Bonge, hingga Roy. Belakangan muncul Baim dan Paula yang akan mendaftarkan Citayam Fashion Week ke HAKI setelah ia jadi trending topic berhari-hari di TikTok.
Kita terbagi dua ketika melihat anak-anak muda yang melenggang di trotoar Sudirman itu. Ada beberapa yang mengapresiasi, tapi tak sedikit pula yang kaget, khawatir, bahkan menyayangkan kenapa anak-anak muda zaman sekarang begitu cepat reaktif pada trend.
Mungkin termasuk kita yang membaca ini. Sebagian dari kita merespons anak-anak muda Citayam dengan sinis; menganggap mereka tak punya masa depan lah, korban FOMO (Fear of Missing Out) lah, contoh rusaknya moralitas bangsa hingga ada yang bilang ini konspirasi global. Hehe.
Respons seperti itu memang sah-sah saja apalagi ketika kita melihat betapa mudahnya mereka gonta-ganti pacar hanya dalam beberapa hari trend Citayam Fashion Week itu berjalan. Kamu juga akan temukan laki-laki yang bangga dengan busana perempuan. Cara bicara dan gayanya pun lebih mirip perempuan dibanding laki-laki. Dan, itu pasti membuatmu khawatir.
Tapi kalau sampai kita menghakimi anak-anak remaja itu dengan penghakiman yang tak enak didengar telinga, itu bukan solusi yang baik. Kalau kita melempar kata-kata tajam seakan mereka bakal jadi beban buat masyarakat dan agama, itu sepertinya terlalu berlebihan. Khawatir boleh, mengingatkan bahwa ada yang salah itu sangat baik; tapi jangan sampai kita menjadi hakim atas masa depan mereka, apalagi masih remaja tanggung yang masih suka main dan bercanda itu.
“Kita harus melihat manusia dengan pandangan optimistis”, tutur seorang guru beberapa hari lalu. Seringkali kita yang lagi senang-senangnya baru ngaji dan hijrah, merasa bahwa kita menjadi orang yang tinggi dan memandang orang lain begitu lusuh dan penuh noda. Hal seperti itu tidak diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Terlebih ketika Rasulullah ﷺ berdakwah ke Kota Thaif. Rasul ﷺ benar-benar menggunakan bahasa yang baik untuk mengajak mereka pada kebenaran. Itu pun ternyata direspon negatif oleh para pembesar Thaif. Bukannya menyambut baik dakwah Rasul ﷺ, mereka malah mengusir beliau dengan tajamnya hujatan, ejekan, dan lemparan batu yang menyakitkan.
Jibril dan malaikat penjaga gunung sampai menawarkan pada Rasulullah ﷺ agar Thaif dihancurkan dengan dua gunung terbesar di Jazirah Arab. Namun apa respons Rasulullah ﷺ ? Benar-benar optimistis beliau memandang umatnya…
بل أرجو أن يخرج الله عز وجل من أصلابهم من يعبد الله عز وجل وحده لا يشرك به شيئًا
“Justru aku berharap agar kelak Allah menjadikan keturunan mereka orang-orang yang menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain…” (HR Al Bukhari)
“Allah saja memandang hamba-Nya dengan pandangan optimistis, masa kita melihat manusia dengan nyinyir dan pandangan negatif terus-terusan?” kata guru saya dalam satu kajiannya. Allah berfirman, ‘Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS Al Isra: 70)
Kecewa boleh, khawatir boleh, siaga sangat baik; tapi jangan sampai kita menunjuk-nunjuk mereka dengan ujung jari kita sembari mengatakan bahwa mereka orang yang jauh dari agama dan masa depan yang cemerlang. Justru kita perlu rangkul mereka jika mereka tidak tahu, ajak mereka jika mereka belum paham, arahkan mereka jika memang belum sadar.