Oleh: Setiardi
Saya makin kerap membaca berita negatif terkait ASUransi. Berdasarkan informasi orang dalam, saya juga mendengar ada perusahaan ASUransi besar di Indonesia yang sebentar lagi gulung tikar — menyusul Jiwasraya dan Bumi Putra. Tentu tak bisa saya ungkap perusahaan yang nyaris bangkrut itu. Sebut saja namanya Mawar. Saya kasih bocoran dikit: kantornya di dekat patung. Dan karena tak kunjung mengantuk, saya ingin menulis tema ini. Tentu ini tulisan suka-suka saja, tapi secara logika saya yakini kebenarannya.
Pertama, sejak lebih dari lima tahun saya dan keluarga tak menggunakan ASUransi apapun. Yang terakhir hanyalah ASUransi kesehatan yang diberikan kantor istri di BRI Syariah. Sejak istri berhenti kerja pada 2017, praktis kami tak punya ASUransi apa pun. Itu pilihan. [Terkecuali yang tak bisa dihindarkan, karena sudah menjadi satu paket. Misal: saat beli tiket penyeberangan Merak – Bakauheni dan saat bayar pajak tahunan kendaraan bermotor].
Lantas, apakah hidup saya jadi tak terlindungi? Sama sekali tidak. Semua baik-baik saja. Bulan Januari 2022 saya dan si bungsu dirawat di rumah sakit. Saya bulan lalu malah sempat dirawat di 3 rumah sakit — RSUD Samarinda Kaltim, RS THT Proklamasi dan RS Mitra Keluarga Kemayoran. Total, ya, puluhan juta. Sedangkan Si Bungsu Rishad bulan lalu terpaksa dirawat di RS Hermina Jatinegara. Lima hari habis sekitar 30 juta. Semua bayar pribadi, tanpa ASUransi. Alhamdulillah kami dimampukan Allah dan saat ini sehat.
Kedua, ada yang bilang tak semua ASUransi buruk. Mereka bilang ada juga yang bonafide, jadi tak perlu ragu membayar premi ke mereka. Buktinya, laporan keuangan perusahaan ASUransi itu positif. Meraup keuntungan bermilyar, bahkan triliun.
Nah, di sini masalahnya. Mereka lupa pada hakikatnya semakin besar keuntungan, artinya semakin banyak ‘mengambil’ dari para nasabah. Kok bisa? Simpel sekali. Dari mana keuntungan itu diperoleh. Jawabnya dari selisih akumulasi premi dengan akumulasi [klaim + fixed cost + variable cost]. Semakin besar selisihnya, semakin besar keuntungannya. Selisih ini sebenarnya dana dari nasabah juga. Saya sengaja mengabaikan soal investasi dana nasabah oleh perusahaan ASUransi agar kalkulasi lebih sederhana. Lagipula, investasi pun tetap pakai duit nasabah.
Kalau masih belum ‘ngeh’, saya uraikan dengan angka. Katakan ASUransi P dapat pembayaran premi per tahun 100 miliar. Ternyata, tahun itu ASUransi P hanya mengeluarkan dana 40 miliar untuk bayar klaim, fixed cost dan variable cost. Mereka cuan 60 miliar. Uang ini dari mana? Ya, itu duit nasabah yang tak punya klaim apapun. ‘Mubazir’ alias ‘rugi’. Tentu saya harus memakai tanda kutip di kata: mubazir dan rugi. Ahli aktuaria, atau statistika bisa menghitung kok.
Memang pendapat saya ini bisa diperdebatkan. Silakan saja. Lagi pula ini sudut pandang saya. Orang lain, termasuk para pendukung asuransi, boleh berpendapat lain. Perdebatan, pertukaran pemikiran, itu sehat dan baik.
Ketiga, ASUransi dalam pandangan Agama Islam. Ah saya tiba-tiba ngantuk. Tidur dulu ya. Besok saya lanjut.