Oleh: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)
Terdengar kabar dari Timur Tengah bahwa Arab Saudi akan menormalisasi hubungannya dengan Israel. Tentunya Arab Saudi akan menjadi negara Arab ke-7. Arab Saudi menyusul UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Sedangkan Mesir sudah mengakui Israel sejak 1979. Lalu pada tahun 1994, Yordania mengakui Israel.
Hanya saja bisa dibilang bahwa Arab Saudi masih malu-malu kucing. Saat Pangeran Muhammad bin Salman dikunjungi Mike Pompeo, Menlu AS, yang mendesak agar Arab Saudi segera menormalisasi hubungan dengan Israel. Pangeran Saudi itu tidak merasa gerah dengan desakan tersebut. Termasuk Muhammad bin Salman tidak menolak proposal tentang normalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel. Artinya sikap Pangeran Arab Saudi ini menunjukkan kerelaan untuk menormalisasi dengan Israel. Jadi maksud normalisasi dengan Israel adalah menjalin hubungan diplomatik.
Sikap Arab Saudi sedemikian diperkuat juga dengan penjelasan Menlunya. Adalah hal yang positif tatkala Arab Saudi menjalin menormalisasi hubungan dengan Israel, menurutnya. Paling tidak, Arab Saudi akan mengalami stabilisasi ekonomi, sosial dan keamanan, imbuhnya.
Sebenarnya apa yang disampaikan Menlu Arab Saudi terkandung tujuan yang sebenarnya. Menormalisasi hubungan dengan Israel sejatinya adalah memperbaiki hubungan dengan AS. Paling tidak mitra strategis di timur tengah bagi AS masih tetap terjalin.
Keuntungan yang diperoleh Arab Saudi saat menormalisasi hubungan dengan Israel terlihat dari desakan AS sendiri. AS menawarkan penjualan persenjataan dengan kuat kepada Arab Saudi bila bersedia menyusul UEA dan lainnya. Ini merupakan salah satu keuntungan yang akan diperoleh.
Padahal di masa Trump, tak henti-hentinya AS menawarkan kepada Arab Saudi guna menormalisasi dengan Israel. Waktu itu Arab Saudi masih tidak bergeming. Arab Saudi bersikukuh memegang Arab Initiative 2002.
Di dalam Arab Initiative 2002 memberikan beberapa rekomendasi yang disebut-sebut sebagai garis perdamaian Arab. Israel harus menghentikan pendudukannya atas Palestina di wilayah yang dikuasainya setelah 1967, termasuk menyerahkan Yerusalem Timur kepada Palestina. Inilah beberapa rekomendasi yang dicanangkan sejak 2002.
Arab Saudi berkomitmen dengan kemerdekaan Palestina dengan solusi 2 negara. Menurut Arab Saudi, hal demikian adalah keadilan. Bahkan Arab Saudi menyampaikan bahwa bila Israel setuju dengan Arab Initiative 2002, niscaya Israel akan diakui oleh 57 negara OKI.
Pernyataan Arab Saudi ini hanyalah basa-basi. Sejatinya Arab Saudi ingin menuju normalisasi penuh dengan Israel. Akan tetapi akan terlihat tidak elok bila vulgar.
Indikasi yang nyata adalah Bahrain, Maroko, Sudan dan UEA sudah lebih dahulu menormalisasi dengan Israel. Padahal mereka adalah anggota OKI. Sementara tujuan dari OKI di antaranya adalah akan mewujudkan perdamaian dan keamanan internasional dan melindungi tempat-tempat suci umat Islam. Lantas, apakah dengan menormalisasi tersebut mampu menghentikan Israel? Mengapa mereka tidak diberi sangsi padahal jelas melanggar Arab Initiative 2002?
Adapun Arab Initiative 2002 itu didesain oleh barat. Pada Konferensi 212 di Paris, Perancis, dicanangkan solusi 2 negara yang berdampingan guna mengakhiri konflik Palestina Israel. Dan poin solusi 2 negara ini yang diambil oleh OKI.
Selanjutnya apakah Arab Initiative 2002 ataupun Konferensi 212 di Paris akan mampu menekan Israel? Jawabannya tidak. AS sebagai penyokong Israel mengabaikan Arab Initiative 2002. Pada sidang PBB, perwakilan AS untuk PBB, Kerryl Craft menyatakan dalam pidatonya bahwa Arab Initiative 2002 tidak diperlukan. Dengan pongahnya, Kerryl Craft menyatakan bahwa Trump mempunyai rancangan perdamaian yang sudah detail. Yang berlaku menurutnya adalah rancangan AS.
Komitmen pada solusi 2 negara juga adalah basa-basi Arab Saudi, termasuk OKI. Mengapa sejak 2002 tidak ada upaya dari negara-negara OKI untuk memperjuangkan keadilan bagi Palestina? Yang terjadi justru adalah pelanggaran-pelanggaran oleh Israel atas tanah Palestina. Saat ini wilayah Palestina tinggal seluas 6000 km persegi. Wilayahnya terdiri dari Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem timur. Miris kalau saat ini bicara Arab Initiative 2002. Wilayah Palestina semakin sempit. Agresi militer Israel terus terjadi. Tidak akan pernah berhenti hingga muslim Palestina terusir dari negerinya sendiri. Lantas apakah pada saat demikian Arab Saudi dan OKI berteriak dengan solusi 2 negara. Jika demikian, Arab Saudi telah menusuk kaum muslimin dari arah belakang. Tidak ada bedanya dengan negara-negara arab lainnya yang menormalisasi hubungan dengan Israel.
Tentunya guna mempercepat bergabungnya Arab Saudi dengan Israel, AS terus melakukan desakan. Isu Iran dimainkan. Iran yang mengobarkan perang dengan Israel dan Arab Saudi. Tuduhan yang disematkan kepada Iran di antaranya adalah Iran itu mendukung pemberontak Houthi. Di samping itu, Iran dituduh mendalangi konflik Yaman yang berkepanjangan.
Padahal sejatinya Iran itu menjadi pion-pion AS di wilayah Arab. Iran akan tetap dipelihara guna menyuburkan sentimen perseteruan Sunni-Syiah. Hasil yang dipetik AS adalah wilayah timur tengah semakin dalam masuk dalam dominasi AS. Negara-negara Arab yang mayoritasnya sunni akan didesain untuk menjadi latah ikut menormalisasi dengan Israel.
Akhirnya rencana Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel akan direalisasikan pada tahun depan. Bahkan normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel didesain bersifat penuh.
Demikianlah para pemimpin kaum muslimin saat ini. Mereka sudah tidak takut lagi kepada Allah SWT. Mereka lebih takut kepada penguasa-penguasa kafir penjajah. Para penguasa Arab tersebut berusaha keras meraih Ridho manusia dengan membuang Ridho Allah SWT.
Urusan mereka akan bercerai berai. Mereka telah mengkhianati kaum muslimin. Mereka telah menyerahkan nyawa kaum muslimin untuk dibantai para penjajah, baik AS maupun Israel.
Solusi yang ditawarkan oleh kafir penjajah dengan solusi 2 negara hanyalah isapan jempol. Secara logika sehat solusi 2 negara tidak bisa diterima. Israel itu pihak yang merampas tanah Palestina. Pertanyaannya, bagaimana mungkin perampas itu diberi legitimasi untuk menguasai tanah orang lain? Bahkan yang lebih parah adalah pemiliknya diminta mengakui sahnya perampas dan hidup damai dengan perampas.
Tidak ada solusi lain selain dengan jihad dan Khilafah guna menyelesaikan krisis Palestina. Kaum muslimin tidak bisa lagi berharap pada pada penguasanya. Kaum muslimin harus segera berjuang bagi tegaknya Khilafah. Berikutnya Khilafah yang akan membebaskan Palestina dari tangan-tangan kotor para perampas dan basa-basi para komprador.